Senin, 30 Agustus 2010

Sejarah Dengan Dialog Kethoprak

Tan Jin Sing, cukong Keraton Mataram, berperan dalam menyingkirkan HB I dan membawa Raffles menemukan Borobudur yang terkubur. Cukong Cina ada di semua keraton. TAN JlN SING, DARI KAPITEN CINA SAMPAI BUPATI YOGYAKARTA Penulis: T. S. Werdoyo Penarbit: Grafiti Pers, Jakarta, 1990, 147 hlm. 
 
GRAFITI Pers telah menerbitkan beberapa buku karangan Dr. H.J. de Graaf mengenai sejarah Mataram. Mulai berdirinya keraton ini, di bawah rajanya yang pertama Panembahan Senopati, sampai krisis politik dan militer pertama yang besar dari dinasti Mataram pada 1678, dengan pemberontakan Trunojoyo dan invasi Bugis ke Jawa. Tulisan De Graaf memakai sumber babad-babad dan arsip VOC. 
 
Ada banyak perdebatan mengenai penggunaan babad-babad sebagai sumber sejarah. Baik mengenai fungsi babad dalam penulisan, legitimasi sumber, maupun yang lainnya. Bahan dari sumber-sumber itu memang harus diuji dan dinilai kebenarannya oleh setiap sejarawan yang mau memakainya. Sama halnya dengan sumber arsip Belanda. 
 
Bahan dari sumber itu merupakan laporan para duta, residen, militer, pelaut, atau pengamat VOC di Keraton Mataram. Apa yang dilaporkan belum tentu benar atau faktual. Banyak gosip, kabar angin, isu politik dari kalangan keraton yang dijadikan bahan laporan. Ini tentu saja jauh dari realitas sejarah atau peristiwa.
 
Sebagai perbandingan, bisa kita lihat betapa jauhnya gosip, isu, kabar angin -- misalnya yang termuat dalam berbagai karangan tahun-tahun terakhir zaman Soekarno -- dari kenyataan atau peristiwa sesungguhnya. Bayangkan, betapa sulitnya seorang sejarawan pada tahun 2100 nanti bila harus menulis sejarah akhir masa kekuasaan Soekarno, misalnya hanya mengandalkan sumber Surat Politik, 1964-1966 oleh Iwan Simatupang, atau dari karangan Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, atau Soe Hok Gie. 
 
Sebagai ahli sejarah, De Graaf sedikit banyak bersikap kritis dan selalu menguji sumber-sumber babad maupun arsip VOC. Kita harus mengacungkan jempol bila Grafiti Pers rajin menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya De Graaf itu. Namun, apa yang harus kita katakan tentang buku Tan Jin Sing ini. Saya tak melihat adanya sumber-sumber yang jelas dan diuji secara kritis. 
 
Ada banyak percakapan bak buku novel antara si pelaku utama -- Tan Jin Sing -- dan tokoh-tokoh sezamannya seperti Sultan Hamengku Buwono II, patih, Raffles, residen Inggris di Yogya Crawford, Pangeran Dipanegara, istri dan pembantunya. Ada sakit pilek, ketemu teman main kelereng waktu kecil atau membawa bunga. Yang menjadi pertanyaan, dari mana sumber itu dikutip. Bisa saja kita mengatakan bahwa kejadiannya mungkin seperti yang tertulis itu. Namun, sebagai catatan sejarah, itu semua harus diuji dan dibuktikan kebenarannya. Bukan semata agar buku enak dibaca. 
 
Mungkin saja sumber-sumber itu ditemukan dalam tradisi kisah keluarga. Namun, tentunya bahan yang didapat tak mungkin rinci sekali, seperti tertulis dalam buku itu. Memang, di Jawa Tengah dan Yogya ada semacam tradisi budaya yang mungkin bisa dijadikan sebagai sumber tulisan Tan Jin Sing oleh T. Werdoyo ini. Bentuknya adalah pergelaran ketoprak yang bersumber dari babad, lengkap dengan dialog tokoh-tokohnya. Artinya, sumber itu tetap saja sebagai naskah ketoprak, seperti halnya tulisan Shakespeare atau Molliere, dan bukan naskah sejarah. 
 
Tan Jin Sing dalam sejarah Mataram memang pernah ada. Dalam buku disebutkan, kapiten Cina ini punya peran penting dalam "kudeta" atas Hamengku Buwono II, pengangkatan Hamengku Buwono III, atau membawa Raffles "membenahi" Keraton Yogya, dan menemukan Candi Borobudur yang dikubur. Puncaknya, ia diangkat menjadi bupati dengan gelar K.R.T. Setjadiningrat dan mendapat wewenang mengutip pajak.
 
Dalam tradisi keluarga saya sendiri -- walau saya bukan keturunan langsung -- Tan Jin Sing bukan tokoh asing. Namun, agaknya terlalu berlebihan bila harus menceritakan peran Tan Jin Sing dalam proses sosialisasi dan Indonesianisasi. Dalam tradisi keluarga Tan Jin Sing, berkembang pula nama "Tjoa" Jin Sing. Namun, berdasarkan arsip kolonial, yang benar adalah nama "Tan". Saya sendiri pernah meneliti berbagai arsip Inggris dan Belanda tentang riwayat Tan Jin Sing. Ternyata, bahan yang bernilai sejarah mengenai Bupati Setjadiningrat dari Keraton Yogya itu sangat sedikit. Satu hal yang bisa saya simpulkan, Tan Jin Sing adalah cukong -- orang berduit seperti Liem Sioe Liong -- pada zaman Mataram. 
 
Ia menyediakan logistik dan duit baik bagi keraton, sultan, patih, Raffles, residen Yogya Crawford, maupun kemudian para penguasa Belanda. Dalam kerajaan tradisional, tokoh-tokoh cukong semacam ini, yang mendapat gelar bupati atau kanjeng raden tumenggung (KRT), sudah lumrah. Kekuasaan tradisional sering memakai "unsur asing" itu. Selain Kapiten Tan Jin Sing, ada beberapa bupati Cina di Keraton Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, Paku Alaman. Juga di daerah lain seperti Bangil, Sidoarjo, atau Semarang. Syaratnya, mereka mau mengabdi dan ... menguntungkan raja. 
 
Onghokham 
 
Sumber : Majalah TEMPO, 13 Juli 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar