Kamis, 02 September 2010

Kisah Spartacus Indonesia

TERBUNUHNYA KAPTEN TACK, KEMELUT DI KARTASURA ABAD KE-XVII Penulis: Dr. H.J. de Graaf Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989, 150 hlm. SEJARAWAN Belanda, H.J. de Graaf, wafat pada 1984, dikenang karena karya-karyanya tentang sejarah Mataram. Buku ini adalah karya disertasinya yang ditulis pada 1935. 
 
Pada buku ini termuat sebuah "In Memoriam H.J. de Graaf 1899-1984" yang ditulis sejarawan M.C. Ricklefs, pengajar di Universitas Monash (Australia). Karangan ini sangat berharga bagi para siswa sejarah karena memuat penilaian atas karya De Graaf dan cara kerja kritisnya. Selain itu ada daftar karangan yang ditulis De Graaf, suatu kontribusi lain yang sangat berharga. 
 
Terbunuhnya Kapten Tack pada Februari 1686 oleh pemberontak Surapati memang sangat dikenang sebagai peristiwa sejarah oleh golongan elite, rakyat, atau para sejarawan. Sampai kini lukisan-lukisan rakyat Jawa atas kaca sering menggambarkan terbunuhnya Kapten Tack, dan berbagai sejarawan Belanda menulis mengenainya. Namun, kalau kita teliti, terbunuhnya Kapten Tack tidak mengubah dengan sangat mendalam hubungan kekuasaan VOC, Mataram, dan Blambangan, serta struktur kekuasaan politik di Jawa pada zaman tersebut. Juga tidak ada hubungan yang secara radikal terputus antara VOC dan Mataram. 
 
Sebenarnya, yang mendominasi seluruh peristiwa pembunuhan Kapten Tack ini bukan Kapten Tack atau Susuhunan Amangkurat II (1677-1703), tetapi Surapati. Surapati, atau lengkapnya Untung Surapati, adalah seorang budak di Batavia -- menurut legenda ia seorang pangeran Bali, anak raja, dari kasta kesatria yang ditawan dalam salah suatu peperangan dan dijual sebagai budak ke Batavia. 
 
Ada cerita bahwa dia dapat memikat hati putri tuannya, seorang Belanda, dan ada hubungan cinta. Karena itu, dia dipenjarakan, lolos, dan memimpin gerombolan yang mengganggu Batavia. Karena VOC tidak dapat menangkapnya, dia dibeli dengan pangkat militer untuk membantu VOC. Ia kemudian membunuh atasannya. Untung Surapati lalu menjadi pemberontak terkenal, dan dimulailah kisah Spartacus Indonesia ini. Surapati dengan lebih dari 100 orang gerombolannya pergi ke daerah Susuhunan Amangkurat II di Mataram. Ia dan gerombolannya merupakan unsur kuat dan musuh VOC yang juga kuat. Sunan mengizinkan Surapati menetap di daerahnya mungkin sebagai perimbangan kekuasaan, atau memang karena tidak berdaya kalau dihadapkan dengan unsur fisik yang kuat. Belanda/VOC ataupun sejarawan De Graaf hanya melihat segi akal tipu muslihat Mataram dan Amangkurat II ini. 
 
Di Mataram selalu ada persoalan raja yang makin tua dan pangeran mahkota yang muda yang berambisi menggantikan ayahnya, sebelum proses alam mengakhiri kekuasaannya. Masalah ini selalu menyangkut pro dan anti-VOC. 
 
Pada masa akhir Amangkurat II, sang pangeran mahkota adalah anak lelaki tunggal yang cacat, entah dalam hal apa, karena uraian De Graaf kurang jelas. Sementara Amangkurat II sakit-sakitan dan pikun, pangeran mahkota tidak sabar menanti habisnya riwayat ayahnya. Cacat pangeran mahkota menjadikan mahkota menjadi bahan intrik, yang tentunya melibatkan unsur-unsur politik-militer kuat, yakni VOC dan Surapati dengan gerombolannya yang diam dekat keraton. VOC menuntut ditumpasnya gerombolan Surapati dan menuntut dibayarnya utang-utang raja pada Belanda. Kapten Tack, ipar Gubernur Jenderal, dikirim sebagai duta ke Mataram. Sebelum duta VOC datang, masalah Surapati rupanya akan diselesaikan. 
 
Menurut cerita, 10.000 tentara Mataram dimobilisasi untuk menangkapnya, bila perlu membunuh Surapati. Entah bagaimana Surapati dengan gerombolannya dapat lolos dari pengepungan, bahkan membuat mereka kocar-kacir. Menurut Belanda dan H.J. de Graaf, ini hanya permainan sandiwara tentara Mataram. Namun, mungkin sekali tidak ada permainan sandiwara dalam kasus ini. Pada malam hari bulan Februari, setelah lolos dari pengepungan tentara Mataram, gerombolan Surapati mengepung Kapten Tack dan rombongannya. Surapati dan kawan-kawan membunuh Kapten Tack beserta puluhan tentara Belanda lainnya. Setelah membunuh Tack, Surapati dan gerombolannya melarikan diri ke Jawa Timur -- Kediri, Pasuruan, dan Blitar. Surapati tewas pada 1706, tapi gerombolannya tetap bertahan dan terus melawan Mataram dan VOC. 
 
Imperium Mataram, menurut sebutan Belanda, memang sepanjang sejarahnya selalu diganggu oleh pusat-pusat perlawanan, saingan, dan pemberontakan di daerah-daerah, seperti Kediri, Pasuruan, dan Banyumas, yang kadang-kadang merembet ke daerah pinggiran Keraton Kartasura. Peristiwa pembunuhan Kapten Tack mengkristalisasikan atau memolakan, biarpun tidak digarisbawahi De Graaf, antara apa yang oleh dia disebut sebagai golongan "nasionalis" (anti-VOC tanpa kejelasan lebih lanjut) dan pro-VOC. Akhirnya, VOC menyokong tuntutan atas tahta dari Pangeran Puger, yang bukan keturunan garis lurus Amangkurat II. Puger menamakan diri Paku Buwono I. Terjadilah perang suksesi tahta Mataram I yang dimenangkan oleh Puger, dan berakhir dengan dibuangnya Amangkurat III ke Sri Lanka. Sejak itu legitimasi suksesi Mataram kacau.
 
Akhirnya Kerajaan Mataram harus dipecah dalam perjanjian Gianti 1755, yang menurut M.C. Ricklefs menyebabkan krisis kebudayaan Jawa. Akibat krisis monarki ini, konsep keutuhan kebudayaan peradaban Jawa terganggu. Dan ini belum terselesaikan oleh penggantian kekuasaan Mataram oleh VOC/Hindia Belanda, pendudukan Jepang, juga oleh Orla dan Orba. Sebab, sejarah Jawa tidak lagi dapat bersifat siklus sejarah, yakni pergantian dinasti demi dinasti, pusat kekuasaan bergantian dengan pusat kekuasaan, tetapi memasuki zaman perkembangan. 
 
Onghokham
Sumber : Majalah TEMPO,  31 Maret 1990

Tidak ada komentar:

Posting Komentar