Jumat, 11 Maret 2011

Pangeran Ke 4

TIGA TAMSIL MANGKUNEGARA IV*)

Tiga Ksatria

Oleh : Sulung Prabuwono 

Selain Wedhatama, Mangkunegara IV menghasilkan karya sasteranya dalam judul Serat Tripama (Serat Tiga Tamsil). Dalam Serat Tripama ini Mangkunegara IV menyoroti watak watak dari tokoh tokoh wayang untuk pendidikan karakter bagi para prajurit dan rakyatnya.

Tiga tokoh dalam dunia pewayangan yang disorot tersebut adalah; Basukarno, Kumbakarno dan Bambang Sumantri. Tiga tokoh kesatria itu meski pandangan umum di tempat yang dikatakan tidak tepat tetapi dalam baktinya kepada negara/kerajaan mencerminkan sifat-watak utama kesatrianya.

1. BASUKARNO

Basukarno atau Suryaputera adalah tokoh yang lahir dari ibu Dewi Kunti Talibrata yang lahirnya lewat telinga. Persoalan benar atau tidak melalui telinga  pada umumnya tidak perlu menjadi pembahasan yang serius karena maksud pujangga sebenarnya untuk menerangkan bahwa secara bisik bisik alias desas desus Dewi Kunti telah bermain mata dengan Dewa Matahari Sang Hyang Bathara Surya sampai melahirkan Basukarno. Pemberitaan yang bisik bisik ini para kawula juga mendengarnya dari telinga ke telinga lewat mulut ke mulut.

Kisah hidup Basukarno melukiskan tentang kesatria yang secara umum menarik iba lantaran  begitu sang ibu melahirkannya kemudian membuang bayi tersebut di sungai. Sang ibu terpaksa merelakan pembuangan itu karena tradisi putri putri kerajaan mengharuskan untuk senantiasa suci dihadapan calon calon suami yang dipilih oleh ayahandanya.

Basukarno yang senyatanya adalah dari kalangan bangsawan sejak kecil terbuang dari kalangan ningrat dan ditemukan oleh keluarga seorang kusir kerajaan bernama Adirata. Tumbuh kembang dan dewasanya Basukarno berada dalam keluarga kusir kerajaan sampai pada waktu di Hastinapura diadakan adu ketangkasan keprajuritan antara Pandawa dan Kurawa dalam asuhan Maharesi Durna Kumboyono, Basukarno tampil menantang Arjuna.

Berdebar rasa hati sang ibu Kunti Talibrata melihat dua kesatria di panggung perlombaan. Tampilnya Basukarno yang menantang Pangeran dari Hastinapura ini membuat terkejut hadirin yang rata rata adalah kerabat kerajaan sampai kemudian Sang Maha Guru Durna menghampirinya dan menyatakan bahwa perlombaan adu ketangkasan ini hanya untuk bangsawan dan karena Basukarno adalah anak Adirata seorang kusir kerajaan maka pertandingan tidak bisa dilanjutkan.

Basukarno yang senyatanya adalah bangsawan tidak bisa mengikuti pertandingan karena sejarah hidupnya berada dalam lingkungan non bangsawan.Kelompok Kurawa yang meski terkenal ugal ugalan untuk kasus Basukarno bisa dikatakan lain. Ada kacamata batin dari kelompok ini yang melihat bahwa seorang Basukarno yang berani menantang Pangeran Pandawa dalam adu ketangkasan keprajuritan menandai bahwa sang kesatria tentu berasal dari lingkungan yang sama dengan dirinya.

Suyudana dari Kurawa dengan cekatan menghadap ayahnya raja Destarata untuk segera memberikan sertifikat kebangsawanan kepada Basukarno supaya mewakili Kurawa  bertanding dengan jago Pandawa yaitu Arjuna. Suyudana berhasil merayu ayahnya dan Basukarno diangkat menjadi adipati di Ngawangga. Pengangkatan Basukarno sekaligus juga perintah untuk menaklukan Ngawangga yang diperintah oleh Prabu Karnomandra kemudian menggantikannya sebagai raja.

Basukarno kini sejajar dengan lawan tandingnya sehingga kesempatan mencoba dan mengadu ketangkasan dapat dijalaninya.Pertandingan kedua kesatria itu tidak lepas dari pengamatan ibunya dan ketika usai pertandingan tanpa ada kalah dan menang sang ibu menemui Basukarno.

Secara prinsip ibu dan anak ketemu kembali dan saling mengakui tetapi ketegaran Basukarno untuk tidak berkianat kepada Kurawa adalah suatu nilai tersendiri yang dicermati oleh Mangkunegara IV. Dalam tembangnya Basukarno dikemukakannya sebagai berikut:

Yogya malih kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga,
Lan Pandhawa tur kadange,
Len yayah tunggil ibu,
Suwita mring Sri Kurupati,
Aneng nagri Ngastina,
Kinarya gul-agul,
Manggala golonganing prang,
Bratayuda ingadegken senapati,
Ngalaga ing Korawa.
Terjemahannya:

Baik pula untuk teladan,
Suryaputera raja Ngawangga,
Dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya,
Berlainan ayah tunggal ibu,
(ia) mengabdi kepada Sri Kurupati,
Dijadikan andalan,
Panglima di dalam perang Bratayuda,
(ia) diangkat menjadi senapati,
Perang di pihak Korawa.


Dalam perang saudara Bharata Yudha, Basukarno berdiri di pihak lawan Pandawa yaitu Kurawa sebagai Panglima perang kerajaan.Di tangan Arjuna akhirnya Basukarno tewas dalam meneguhkan sumpah setianya kepada negara/kerajaan yang telah memberikannya tanggung jawab dan kepercayaan kepadanya.

Dunia pewayangan bagi masyarakat di jawa pada umumnya menempati posisi sebagai dunia wacana untuk memberikan pencerahan dan pendidikan kepada warganegara kerajaan. Lewat pewayangan sebuah pesan pesan disampaikan untuk menjadi teladan dan lukisan segala kejadian yang menyangkut kehidupan negara pada waktu itu.
Dalam kasus peperangan antara Kurawa dan Pandawa seringkali stigma negatif ditujukan kepada Kurawa padahal dalam soal Pandawa-Kurawa tidak bisa begitu saja disikat habis Kurawa yang salah dan Pandawa yang benar. Dalam jajaran Kurawa berkumpul pula para petinggi petinggi kerajaan dan tokoh yang tidak bisa dibilang hitam dan berkualitas rendahan baik dalam keprajuritan maupun dalam kerohanian spiritual. Dalam jajaran Kurawa berkumpul petinggi petinggi seperti; Bisma, Durna, Basukarno ( Suryaputera), Kakrasana (Baladewa), Salya, Krepa, Dewi Gangga (Ibunda Resi Bisma).

2. KUMBOKARNO

Kumbokarno adalah anak kedua dari Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Kumbokarno dalam peperangan mengalami luka parah dengan terpotong potong nya lengan tangan dan kaki sehingga hanya tinggal badannya. Suatu nasib yang menurut penulis Ramayana yang asli sebagai buah dari kutukan Jambu Mangli kepada Wisrawa yang mengalahkannya.

Dalam kisahnya, Wisrawa sebelum mendapatkan Dewi Sukesi telah memenuhi sayembara yang diadakan oleh Jambu Mangli yang adalah paman Sukesi sendiri karena sang paman adalah adik ayahnya Prabu Sumali. Wisrawa menghadapi dua sayembara; pertama yang diadakan oleh Jambu Mangli dengan jalan perang tanding dan kedua adalah sayembara yang diadakan oleh Dewi Sukesi.

Sayembara yang diadakan oleh Jambu Mangli dibaliknya ada maksud untuk mempersunting Sukesi keponakannya sendiri karena Jambu Mangli sangat yakin tidak akan ada seorang Kesatria manapun juga dapat mengalahkannya. Sukesi yang tidak rela diperisteri oleh pamannya tak kalah sigap untuk meniadakan taktik perang tanding sehingga dibuatlah persyaratan bahwa untuk mendapatkan dirinya semua peserta harus bisa menjabarkan "Sastera Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu Barang Sakalir''.

Kisah selanjutnya Jambu Mangli tewas ditangan Wisrawa dengan kaki dan tangan terpotong potong dari tubuhnya dan sebelum tewas sumpah kutukan terucap dimulutnya bahwa Wisrawa bakal menuai akibat yaitu keturunannya akan mengalami nasib yang serupa sebagai pembalasan.

Dalam perang Alengka rupa rupanya menemui kecocokan dengan sumpah Jambu Mangli. Kumbokarno meski hanya tinggal badan dan kepalanya tetap maju ke medan laga dengan menggunakan badannya untuk menggulung lawan lawannya.

Semula dalam percakapan dengan kakaknya Rahwana, Kumbokarno menyatakan tidak mau maju perang membela kakaknya yang salah dan angkara murka.Mendengar jawaban adiknya yang keras kepala Rahwana tersinggung dan marah sampai kemudian menagih segala macam jasa dan kehidupan yang telah diberikan kepadanya. Kumbokarno mendengar tagihan itu lantas memuntahkan semua isi perutnya sebagai suatu bahasa ia tidak sudi makan pemberian kakaknya. Rahwana terperangah namun akalnya tidak berhenti dan tagihan kedua soal air susu ibunya Dewi Sukesi supaya dikembalikan. Kumbokarno tidak berkutik dan dalam kemarahannya kepada kakaknya mengatakan bahwa dirinya maju perang bukan membela Rahwana melainkan membela negara/Kerajaan.

Dengan prinsip Right or Wrong is my Country Kumbokarno maju ke medan laga.Kumbokarno maju dengan rasa Nasionalisme yang tinggi yang tidak rela negaranya di injak injak dan dirusak pasukan Rama. Gugurnya Kumbokarno di medan laga diberi catatan yang sangat mengesankan; " Dewa-dewi menangis dan bunga bunga berguguran dari langit, tangisan pilu membahana menyapu padang laga yang senyap, semua rakyat Alengka meratapi dan duka yang mendalam melibas beberapa saat pada pasukan Sri Rama dan dirinya, para pertapa dengan khusuk mendoakan arwahnya.

Pesan Nasionalisme dan bela negara dari Kumbokarno yang menjadi tokoh dalam Tripama ini oleh Mangkunegara IV dikemukakannya sebagai berikut:

Wonten malih tuladan prayogi,
Satriya gung nagari Ngalengka,
Sang Kumbakarna namane,
Tur iku warna diyu,
Suprandene nggayuh utami,
Duk awit prang Ngalengka,
Dennya darbe atur,
Mring raka amrih raharja,
Dasamuka tan keguh ing atur yekti,
De mung mungsuh wanara.


Terjemahannya;


Ada lagi teladan baik,
Satria agung negeri Ngalengka,
Sang Kumbakarna namanya,
Padahal (ia) bersifat raksasa,
meskipun demikian (ia) berusaha meraih keutamaan,
sejak perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya),
ia mengajukan pendapat,
kepada kakandanya agar selamat,
(tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik,
Karena hanya melawan (barisan) kera.



3. SUMANTRI

Raden Sumantri adalah putra Maharesi Suwandagni dengan Dewi Darini di pertapaan Ardisekar. Selain Sumantri sang Resi juga memiliki putra lagi yang menjadi adik Sumantri yakni Raden Sukasrana.Oleh ayahnya Sumantri diarahkan untuk mengabdi kepada raja Maespati Prabu Arjunasasrabahu. Dengan mendapat restu dari ayahnya berangkatlah Sumantri menuju kerajaan Maespati.

Dihadapan Prabu Arjunasasrabahu diperkenalkanlah diri dan maksud kedatangannya untuk mengabdi kepada sang raja. Sebelum pengabdiannya diterima Sumantri diwajibkan untuk mengikuti sayembara di kerajaan Magada untuk memperebutkan Dewi Citrawati. Sumantri menyanggupi tuntutan dan melaksanakan tugas dengan berhasil.

Keberhasilan Sumantri menggoda jiwa dan pikirannya karena dirinya yang berpeluh keringat dan darah mengapa hasil jerih payah begitu saja dipersembahkan kepada raja? Demikian gejolak Sumantri yang mendorong dirinya untuk menantang Arjunasasrabahu sebelum menyerahkan hasil sayembara. Sang raja yang bijak dan tahu akan keraguan Sumantri menerima tantangan dengan rasa gembira dan melayani perang tanding. Dua Kesatria yang sama sama titisan Sang Hayang Wisnu bertarung untuk memenuhi keraguan dan keyakinan.

Sumantri harus menerima keyakinan bahwa raja yang bakal diabdi  memiliki kualitas lebih dari dirinya sehingga keraguan lenyap dalam dirinya. Arjunasasrabahu sebagai raja yang bijak meyakinkan kepada Sumantri bahwa dirinya tidak salah dalam mengabdi. Dalam pertarungan ini Sumantri kalah dan bersumpah setia kepada sang raja.

Sumantri menjadi yakin akan keunggulan rajanya dan dengan kepasrahan dan loyalitas tinggi menerima tugas yang dibebankan kepadanya termasuk ketika Dewi Citrawati minta pengiring berjumlah 800 puteri dan pemindahan taman Sriwedari.

Tugas mendatangkan 800 puteri terlaksana sedang pemindahan taman Sriwedari membuat kalut dirinya. Dalam kekalutan itu muncul Sukasrana adiknya yang telah kabur dari pertapaan menyusul dirinya.Tugas Sumantri diambil alih Sukasrana dan taman Sriwedari seketika pindah di kerajaan Mahespati. Sumantri tanpa adiknya kemudian dipercaya menjadi Patih di negeri Mahespati sebagai andalan kerajaan.

Gugurnya Sumantri dalam membela kehormatan dan Maespati bermula rencana penyerangan Rahwana yang telah memobilisasi pasukannya bergerak sampai diperbatasan Mahespati. Rahwana mengistirahatkan pasukannya dan berkemah diperbatasan namun perkemahannya porak poranda kena terjang luapan air. Rahwana mencari penyebab luapan dan diketemukan bahwa raja yang akan diserbu sedang membendung sungai sehingga permaisurinya dalam kegembiraannya bermandi disungai.

Rahwana yang sudah mendapat ilmu Pancasonya dari resi Subali bermaksud menyerang langsung Arjunasasrabahu namun terhalang oleh Sumantri sang patih Maespati. Niat menggempur Maespati kian bulat tatkala yang didepan mata adalah rajanya. Sumantri yang mengetahui gelagat dan maksud Rahwana menyerbu Mahespati tanah airnya tak kepalang basah tanpa konsultasi dengan rajanya langsung memerintahkan siaga kepada pasukan untuk membendung penyerbuan. Rahwana dihadapinya sampai dirinya tersungkur gugur di tangan lawan.

Mendengar dan melihat andalannya gugur, Arjunasasrabahu marah bukan kepalang dan Rahwana pun dilabraknya. Rahwana kena batunya dan menjadi tawanan Mahespati. Ketidak terimaan atas gugurnya Sumantri ditumpahkan kepada Rahwana yang secara kejam disiksanya.

Kesetiaan - loyalitas Sumantri kepada raja dan negara Maespati oleh Mangkunegara IV disajikan dalam tembang sebagai berikut:


Yogyanira kang para prajurit,
Lamun bisa samya anulada,
Kadya nguni caritane,
Andelira sang Prabu,
Sasrabau ing Maespati,
Aran Patih Suwanda,
Lalabuhanipun,
Kang ginelung tri prakara,
Guna kaya purunne kang denantepi,
Nuhoni trah utama,


Terjemahannya:


Seyogianya para prajurit,
Bila dapat semuanya meniru,
Seperti masa dahulu,
(tentang) andalan sang Prabu,
Sasrabau di Maespati,
Bernama Patih Suwanda,
Jasa-jasanya,
Yang dipadukan dalam tiga hal,
(yakni) pandai mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya,
Menepati sifat keturunan (orang) utama.

*) Pernah dimuat di  www.legiunmangkunegaramuda.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar