Selasa, 16 Agustus 2011

Wawancara A. Sudewo: "Sabda Pandita Ratu Hanya Ada di Wayang dan Panggung Ketoprak"

Sejarawan Taufik Abdullah pernah berujar: bangsa Indonesia dikuasai oleh dendam sejarah. Sejarah tidak lagi dijadikan guru yang bijak. Ia malah digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka. Maka, tumbuh suburlah budaya feodal di masyarakat dan bangsa ini. Akibatnya, bisa ditebak, semangat demokrasi berkembang.
Menurut peneliti dan dosen sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr. A. Sudewo, 59 tahun, bibit demokrasi telah ada dalam tradisi kerajaan Mataram, yakni pada masa kekuasaan Hamengkubuwono V. Kala itu, sudah ada dewan pangeran yang tugasnya memberikan nasehat kepada raja untuk menentukan suatu kebijakan. Dewan pangeran inilah yang bisa mengoreksi kebijakan raja. Jadi tidak benar kalau perkataan raja menjadi hukum tanpa melalui musyawarah. 

Ungkapan sabda pandita ratu, bagi Sudewo, merupakan mitos kerajaan yang hanya ada di dunia pewayangan. Bukan di dunia konkrit. Repotnya, banyak ungkapan berbau mitos seperti ini yang justru dijadikan alat legitimasi kekuasaan petinggi Jawa. Benarkah? Lalu, apa kaitan ungkapan suci dunia Jawa itu dalam situasi politik di tanah air dewasa ini? 

Berikut wawancara Edy Budiyarso dari TEMPO Interaktif dengan A. Sudewo 59 tahun, doktor bidang ilmu-ilmu humaniora UGM yang telah menerjemahkan beberapa buku sastra seperti Serat Paniti Sastro yang berkisah tentang keluarga Yosodipuran di awal abad ke-19 dari keraton Surakarta Ia juga menerjemahkan Serat Iskandar Zulkarnaen yang ditulis pada zaman Kartasura. Apa pandangannya soal suksesi yang bersumber pada wayang yang dicontohkan oleh Pak Harto? Petikannya: 



Sejarawan Taufik Abdullah mengatakan bangsa ini diliputi oleh dendam sejarah. Anda setuju?
Ada benarnya pendapat itu. Memang bangsa ini dikuasai oleh dendam sejarah. Misalnya saja, kita sering mengatakan penjajah Belanda itu kejam, tanpa kita rinci apa-apa saja kekejaman yang dilakukan Belanda. Baru-baru ini Presiden Soeharto sendiri juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia pernah dijajah selama 300 tahun oleh Belanda. Padahal dalam kenyataannya, apakah memang benar 300 tahun Belanda menjajah Indonesia? Kan tidak. Karena 300 tahun yang lalu VOC datang ke Indonesia itu untuk berdagang, tidak datang langsung menjajah. Dalam beberapa hal, penjajahan Belanda itu juga membawa keuntungan bagi bangsa Indonesia. Oleh karenanya, kita tidak perlu dendam, tidak perlu menerima sejarah secara emosional.
Keuntungan apa yang diterima bangsa Indonesia dari penjajah Belanda?
Belanda bisa menjaga stabilitas politik, terutama kerajaan-kerajaan di Jawa. Sebelum pecah perang Diponegoro, ketika Belanda belum memegang kartu politik di Mataram, Mataram selalu kacau menjelang suksesi. Setelah perang Diponegoro, Mataram relatif stabil. Struktur politik stabil dan ekonomi mengalami kemajuan, meskipun tetap diekploitasi oleh Belanda.
Mengapa suksesi di Kerajaan Mataram selalu diwarnai dengan pertumpahan darah?
Sebelum Belanda bercokol di Mataram, hal itu terjadi. Karena memang tidak ada institusi suksesi di dalam kerajaan itu. Pendidikan putra mahkota tidak ada. Pendidikan itu baru stabil setelah tahun 1830. Saat itu sebenarnya tidak ada putra mahkota. Yang ada hanyalah dicari putra dari permaisuri yang diberi kekuasaan oleh raja, tetapi tidak dididik oleh raja. Maka yang terjadi, setiap pergantian kekuasaan selalu terjadi konflik berdarah.
Apakah karena sejarah yang mengajarkan suksesi berdarah ini yang menyebabkan kini sulit sekali terjadi suksesi?
Sebetulnya tradisi suksesi di Mataram itu sudah ada dan benar-benar dilakukan oleh Sultan Agung. Ia mendirikan makam di Bukit Imogiri agar ahli warisnya mengerti bahwa pada akhirnya ia akan mati. Dengan kata lain, raja juga mengusahakan selalu ada pergantian kekuasaan. Untuk itu raja selalu mengusahakan adanya putra mahkota. Tetapi putra mahkota ini seringkali tidak terdidik dengan baik. Ia malah manja dan menjadi raja kecil. Setelah Sultan Agung diganti oleh putranya, Amangkurat I. Ia terkenal sebagai raja yang kejam. Ia menginginkan pemerintahan yang benar-benar baru, sehingga ia melakukan pembunuhan besar-besaran. Saat itu banyak pejabat-pejabat senior kerajaan dibunuh oleh Amangkurat I. Dengan kata lain, Sultan Agung gagal mewariskan tahtanya kepada putranya sendiri. Dari sini usaha untuk mempertahankan tahta kerajaan dengan permainan politik yang keji terus berlangsung.
Inikah yang kerap disebut sebagai budaya "tumpas kelor" yang belakang ini juga terjadi di Indonesia dengan disingkirkannya tokoh-tokoh oposan?
Istilah tumpas kelor itu muncul dari para pengkritiknya. Terutama setelah pembunuhan para ulama dari Bayat dan pejabat-pejabat senior kerajaan Mataram.
Benarkah suksesi yang gagal ini membuat kekuatan asing dengan mudah mengintervensi Mataram dan juga Banten?
Kekuasaan Belanda memang masuk bersamaan dengan pergantian raja-raja Jawa. Sehingga setiap ada pergantian kekuasaan raja-raja Jawa, kekuasaan Belanda bercokol dengan lebih mantap lagi di Jawa. Inilah yang disebut kecelakaan sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa dan hampir terjadi di seluruh Nusantara. Apalagi kalau melihat sekarang ini pendidikan khusus untuk calon kepala daerah juga tidak ada lagi. Dulu ada sekolah kepamongprajaan yang ternama, Binnenland Bestuur (BB) yang sangat favorit. Sekolah itu juga menerbitkan buletin yang terkenal dengan nama Tijdschrist Binnenland Bestuur berisi pengalaman-pengalaman para pamong praja. Dengan terbitnya buletin itu, semua pejabat pamong praja selalu bercermin dengan tulisan-tulisan di majalah itu. Sekarang ini tidak ada lagi.
Dalam pandangan Jawa dikenal harmonisasi kosmis yang ditandai bersatunya raja dengan rakyat. Mengapa pergolakan raja dengan rakyat juga terjadi?
Itu sebetulnya suatu mitos dari filsafat hidup orang Jawa tentang alam semesta kosmis. Sedangkan falsafat hidup yang sebenarnya tidak seperti itu. Untuk hidup kongkrit di alam yang nyata, manusia itu harus selalu berusaha untuk memenuhi hidupnya sendiri. Sehingga tidak benar orang Jawa selalu dicekam oleh harmonisasi kosmis. Pandangan kosmis itu hanya berlaku pada filsafat yang sangat tinggi, sedangkan masalah suksesi, persoalan ekonomi adalah praktis. Dan itulah yang harus dibedakan.
Bukankah harmonisasi itu disimbolkan ke dalam bentuk keraton atau istana negara dan semua aktivitas kegiatan warga terpusat di sana?
Hal itu sekarang ini memang masih terjadi, tetapi itu adalah sisa dari peninggalan Jawa Hindu. Sedangkan setelah terjadi perubahan konstelasi kekuasaan oleh pengaruh asing, maka paham kosmos itu berubah. Sehingga orang mulai berani menentang paham-paham itu. Hal itu yang menimbulkan gerakan penentangan rakyat terhadap "ndoro-ndoro" feodal. Karena ini pandangan tradisional kuno yang masih dipegang oleh kaum tradisionalis yang oleh sejarawan banyak disingkirkan. Tetapi dalam perkembangannya sekarang ini, kenyataan seperti itu muncul kembali.
Dalam kondisi seperti apa pengulangan sejarah itu bisa terjadi?
Itu disebabkan karena masih adanya orang-orang yang merindukan masa lampau, akan tetapi tidak mempelajari masa lampau itu dengan baik. Ia belajar sepotong-sepotong saja. Dan menurut saya, ini adalah kesalahan para ilmuwan kita juga yang sering menganggap bahwa tradisi Jawa itu mandeg dan tidak berkembang menyesuaikan dengan kondisi yang terus berbeda. Di dalam tradisi keraton, sebenarnya ada juga penyesuaian-penyesuaian itu. Misalnya Raja Hamengkubuwono V, memiliki dewan pangeran untuk membahas kebijaksanaan-kebijaksanaan raja. Naskah pertimbangan-pertimbangan raja ketika akan membuat keputusan dan perdebatan dengan dewan pangeran yang terdiri atas patih, pangeran, dan residen Belanda itu sampai sekarang masih tersimpan di dalam keraton, dan jarang dikupas oleh para sejarawan. Sehingga, masyarakat kita hanya mengenal kekuasaan raja yang mutlak. Padahal kenyataannya, arsip-arsip musyawarah zaman dahulu itu ada, dan raja tidak mutlak bisa menentukan keputusannya sendiri.
Kenapa yang terjadi justeru suara raja dianggap sebagai kebenaran atau "sabda pandita ratu" yang tidak boleh diganggu gugat?
Sabda pandita ratu itu ucapan yang menjadi mitos. Raja sebagai pandita ratu itu hanya ada dalam pewayangan dan dunia panggung ketoprak. Di dalam arsip-arsip keraton itu dapat ditemukan dokumen musyawarah raja dengan patih, para pangeran, termasuk residen Belanda. Hal ini tidak pernah diekspos karena orang tidak pernah mempelajari sejarah dengan kaca mata mikro. Apalagi banyak studi tentang keraton yang hanya mengandalkan para dalang, bukan pada arsip-arsip catatan sejarah. Inilah kesalahan para sejarawan.Termasuk yang dilakukan oleh Ben Anderson dengan metodologi penelitian politik raja Jawa berdasarkan wayang. Padahal wayang itu hanya ada di panggung, itu dunia imajinatif. Kesalahan para sejarawan kita, mereka meniru-niru Ben Anderson hanya karena ia orang Amerika.
Jadi tidak tepat kalau suksesi bangsa Indonesia harus berkiblat kepada cerita pewayangan?
Ya, seharusnya tidak seperti itu. Sejarah itu kongkrit terjadi beberapa abad yang lalu dan ditulis untuk dijadikan pelajaran buat kita. Mengapa kita harus melihat kepada wayang? Yang melihat suksesi dengan wayang itu kan hanya untuk menguntungkan dirinya sendiri saja. Karena raja-raja Jawa tidak pernah tergantung pada pewayangan, tetapi pada praktis situasional. Jadi tidak betul ada mitos-mitos sabda pandita ratu. Itu hanya ratu ciptaan para dalang saja. Menurut saya, pendapat Pak Harto tentang suksesi yang berdasarkan kepada cerita pewayangan itu tidak benar. Mosok legitimasi kekuasaan berdasarkan cerita wayang?
Dengan kata lain bibit demokrasi itu sudah ada dalam kehidupan keraton Jawa? Apakah ini tidak karena pengaruh Islam di kalangan keraton?
Sejarawan kita seringkali meneladani orang-orang Barat, padahal orang barat itu seringkali tidak melihat potensi Islam. Islam itu penting sekali, karena ia membawa konsepsi bahwa semua orang itu sama atau egaliterian. Sehingga feodalisme kita berubah karena kekuatan Islam. Feodalisme yang ada di Jawa, berbeda pada masa Hindu dengan masa masuknya Islam. Meskipun perubahan itu hanya menyangkut pada elite-elite intelektualnya saja, seperti yang terjadi sekarang ini, tapi perubahan hanya dapat ditangkap oleh elite intelektual. Tapi toh ada perubahan. Yang menyebabkan suksesi di Mataram menjadi berdarah juga karena terjadinya benturan antara feodalisme dengan semangat egaliterian. Semangat egaliterian ini ingin membongkar tradisi lama. Jadi pengaruh Islam memang sangat positif mengantarkan kita kepada semangat demokrasi. Dan ini yang tidak disukai oleh orang Barat, mereka selalu menganggap remeh kekuatan Islam.
Dalam kehidupan Islam di keraton, aktivitas keagamaan Islam mistik, tasawuf, dan Islam syariat, juga dijalankan. Dan menurut saya, Islam syariat itu sangat mempengaruhi gerakan perlawananPangeran Diponegoro
Sumber: 
www.tempo.co.id/ang/min/02/38/nas3.htm


Tidak ada komentar:

Posting Komentar