Minggu, 29 Agustus 2010

Sejarah-Kebudayaan

  Dari Perjanjian ke Perjanjian

Oleh : Sulung Prabuwono


A. Perjanjian Giyanti

Ketika kerajaan Mataram berada di Keraton Kartasura, terjadi pemberontakan oleh Mas garendi (Sunan Kuning). Alasannya karean ia mendesak Pakubuwana II (anak dari Pangeran Puger) yang berkuasa tahun 1726 sampai 1749, agar tidak berkerja sama dengan Kompeni Belanda. Kebijakannya diantaranya, Belanda diizinkan untuk membuat Benteng-benteng di Karatasura. Begitu juga pemberontakan dilakukan oleh Pangeran Sambernyowo (R.M. Said), karena daerah Sukowati yang diberikan pada ayahnya di cabut pada tahun 1742.

Akibat dari pemberontakan tersebut, akhirnya Pakubuwana II lari ke Ponorogo untuk meminta bantuan kepada Bupati Ponorogo dan kompeni Belanda. Atas bantuan Mayor Baron Van Hanendrof dan Adipati Bagus Suroto (Ponorogo), akhirnya pemberontakan dapat dipadamkan. Karena keadaan keraton Kartasura yang hancur, maka PB II mengutus Tumenggung Tirtowijoyo dan Pangeran Wijil untuk mencari tempat baru. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pada tahun 1745, Sala dipilih sebagai tempat baru kerajaan dan berubah nama menjadi “Surakarta Hardiningrat”.

Campur tangan Belanda dalam setiap urusan di Mataram Surakarta membuat bangsawan kerajaan Surakarta pecah menjadi dua kelompok yaitu setuju dengan Belanda. Dan yang tidak setuju dengan Belanda. Yang tidak setuju termasuk adalah R. M Said (Pangeran Sambernyowo). Ia sering kali mendatangi tangsi-tangsi Belanda dan Merebut senjata mereka. Belanda dibuat pusing dengan pemberontakan tersebut dan Belanda menghadap PB II untuk meminta bantuan. Akhirnya PB II memberikan sayembara, siapa yang dapat mengatasi pemberontakan tersebut, maka akan di beri hadiah sebidang tanah di Surakarta (Mataram). Kemungkinan itu juga tidak lepas dari desakan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi (adik PB II; dan menjabat sebagai penasehat raja Mataram) menyanggupi untuk memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyowo tersebut.

Selain Raden Said, ada juga Ki Martapura (bekas Bupati Grobogan) yang bergabung dengan Raden Said untuk melawan Kompeni Belanda. Sebenarnya Pangeran Mangkubumi juga tidak suka terhadap Belanda. Akhirnya ia berbalik arah, yaitu dengan bergabung dengan Raden Said yang sudah selama sembilan tahun (1743-1752) melawan Kompeni Belanda. Pangeran Mangkubumi mengkabarkan ke Keraton bahwa pemberontakan sudah dipadamkan. Alangkah terkejutnya Pangeran Mangkubumi ketika diadakan Paseban Agung (upacara besar) yang dihadiri oleh segenap pembantu PB II dan pejabat Kompeni Belanda. Dalam acara tersebut Kompeni Belanda mengusulkan agar sebidang tanah tersebut diberikan kepada patih mataram bukan penasehat raja (Pangeran Mangkubumi).

Atas usul tersebut PB II bingung dan meminta pengertian dari adiknya (Pangeran Mangkubumi) untuk bisa menerima. Pangeran Mangkubumi meminta restu kepada PB II, bahwa ia akan mengusir Kompeni Belanda dari bumi Mataram. Mulai sejak itu Pangeran Mangkubumi menghimpun kekuatan dengan mendirikan Pasenggerahan di Sukowati. Selain itu juga ia bergabung denga rakyat Mataram di sebelah barat dan dengan Raden Said. Akhirnya Pemberotakan yang sudah direncanakan matang terjadi, pihak Kompeni Belanda dan Mataram mengalami kekalahan.

Akhirnya Belanda mengangkat topi dan memenuhi janjinya yaitu menyerahkan sebagian wilayah Mataram kepada yang dapat memadamkan pemberontakan (Pangeran Mangkubumi). Diadakan di Giyanti, pada tanggal 13 Februari tahun 1755, diadakan suatu perundingan perdamaian (Perjanjian Giyanti). Intinya Mataram di bagi menjadi dua. Wilayah sebelah timur disebut Kasunanan Surakarta dengan Pakubuwana II sebagai raja dan wilayah Barat disebut Kasultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Hamengku Buwono I (HB I).

Setelah diadakan perjajian Giyanti, Pangeran Mangkubumi menghentikan pemberontakannya. Kemudian hidup tentram tanpa gangguan Belanda. Sedangkan Raden Said tetap melakukan pemberontakan terhadap Kompeni Belanda di Surakarta.

B. Perjanjian Salatiga

Wilayah Mataram sudah dibagi menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi sudah mengakhiri pemberotakannya. Namun tidak begitu dengan Raden Said (Pangeran Sambernyowo; 1725-1795), ia tetap melanjutkan pemberontakannya terhadap Belanda di Surakarta. Raden Said sangat membenci terhadap Kompeni Belanda dan menginginkan adanya persamaan hak dan kewajiban rakyat Mataram. Sejak kecil ia sudah membenci Kompeni belanda. Pada umur 16 tahun ia sudah memberontak bersama Sunan Kuning terhadap belanda. Tepatnya pada 30 Juni 1742.

Dengan adanya perjanjian Giyanti sebenarnya ditentang oleh Raden Said, karena hal tersebut adalah rekayasa Kompeni Belanda untuk memecah mataram. Setelah Pangeran Mangkubumi sudah menjadi Raja Yogyakarta, Raden Said berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan yaitu, Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), padahal Pangeran Mangkubumi dulunya adalah temannya dalam melawan Kompeni Belanda, serta perlawanan pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Raden Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Karena pemberontakan yang dilakukan terus menerus, akhirnya terjadilah perdamaian dengan Sunan Paku Buwono III. Dengan ditanda tanganinya Perjanjian Salatiga, pada17 Maret 1757 di Salatiga. Isinya adalah untuk menetapkan wilayah kekuasaan Mangkoenagoro. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, dan sedikit wilayah di Yogyakarta) dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran.

Dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I (Patih Danurejo) dan Kumpeni Belanda, juga disepakati bahwa, Raden Said (pangeran sambernyowo) diangkat menjadi Mangkoenagoro I dan menjadi penguasa kadipaten Mangkunegaran. Mangkunegoro hanya sebagai Adipati Miji (alias mandiri) dan tidak menyandang gelar Sunan atau sultan. Walaupun sebagai Adipati mijil, kedudukan hukum mengenai Mangkunagoro I, tidaklah sama dengan Kasunanan surakarta.

C. Pecahnya Yogyakarta

Ketika Jendral Deandles memerintah di Jawa (1808-1811), ia mengirimkan utusan ke Yogyakarta. Tapi utusan tersebut ditolak oleh Hamengkubuono II (HB II). Karena sejak awal kebijakan Deandles mengenai upacara penerimaan Residen di Istana Surakarta dan Yogyakarta. Menurut perturan tersebut Residen di kerajaan harus diberi penghormatan dan menempatkan sejajar dengan raja-raja. Berarti raja diturunkan martabatnya, dari raja yang merdeka menjadi raja bawahan.

Di Istana Surakarta usul tersebut di terima, namun tidak begitu di Yogyakarta. HB II menentang peraturan ini. Karena menentang peraturan ini, maka pada tahun 1810, HB II diturunkan jabatannya dan bergelar “Sultan Sepuh”. Tetapi tetap boleh tinggal di Istana. Sebagai gantinya diangkat putra mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (Sultan Rojo; berkuasa tahun 1810-1811). Dalam masa pemerintahan HB III keadaan pemerintah semakin mundur dan menguntungkan Belanda. Sultan Sepuh sangat merasakan hal ini, dan ia ingin mengambil tahta kembali tanpa adanya keruntuhan pemerintahan. Peristiwa ini juga memberi kesempatan kepada Deandles untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta untuk menerima peraturan tersebut pada tahun 1811, yang menyebabkan keduanya kehilangan sebagian wilayahnya.

Karena kebijakan Deandles yang terlalu kejam, diantaranya pembangunan jalan dari Panarukan sampai Anyer sepanjang 1000 km dan penyempitan wilayah kerajaan-kerajaan. Sebagian raja-raja jawa (termasuk sultan sepuh) secara diam-diam menjalin hubungan dengan Inggris yang pada saat itu berada di India untuk berdagang dengan bandar dagang bernama EIC (East Indian Company). Pada waktu yang bersamaan tahun 1810, kekuasaan Louis Napoleon dicabut kembali oleh Napoleon Bonaparte (Prancis). Jadi Belanda di bawah kekuasaan Prancis Karena prancis terlibat konflik dengan Inggris (setelah revolusi Prancis, seluruh Eropa terkena pengaruh Prancis kecuali Inggris), maka Prancis mengirimkan Gubernur Jendral Jansens ke Jawa untuk mempertahankan tanah jawa. Sementara itu Deandles dipanggil ke Belanda pada tahun 1811.
Karena kekalahan Prancis dalam perang melawan Inggris di Eropa. 

Gilirannya Inggris datang ke Hindia Belanda. Dengan ditanda tangani Kapitulasi Tuntang yaitu perjanjian penyerahan kekuasaan di Nusantara atau Indonesia dari pemerintah Hindia-Belanda kepada Pemerintah Britania-Raya pada tahun 1811 di sebuah desa yang bernama Tuntang, sekarang berada dibawah kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Tempat ini dipilih karena merupakan tempat peristirahatan para pembesar Hindia-Belanda, terletak di tepi danau Rawa Pening dan mengalir sungai Tuntang yang bermuara ke Laut Jawa di Demak. Waktu itu Belanda sedang diduduki oleh Perancis yang di bawah Jendral Jansens.

Sejak Ingris berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1811,dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral. HB II bisa naik tahta kembali, walaupun hanya satu tahun. Ternyata Inggris tidak jauh beda dengan bangsa Eropa lainnya. Karena kebijakan sistem sewa tanah yang memberatkan rakyat Mataram Khususnya. Pada tahun 1812, HB II mengajak Kasunanan untuk mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Melalui Pangeran Notokusumo (saudara HB II) Raffles bisa lebih mengetahui gerak gerik HB II.

Setelah mengetahui rencana Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, akhirnya Ingris mengambil jalan kekerasan dengan menyerbu Yogyakarta. Dan menurunkan jabatan HB II. Peristiwa ini berhasil memaksa Sultan dan Sunan untuk menandatangani perjanjian baru pada tanggal 1 Agustus 1812. Isinya antara lain, Kedu, sebagian dari Semarang, Rembang dan Surabaya menjadi milik Inggris. Setelah itu HB II atau Sultan Sepuh ditangkap pada tahun 1812 dan diasingkan ke Pulau Pinang.

Kemudian Raffles mengangkat Putra Mahkotanya menjadi Hamengku Buwono III (berkuasa untuk kedua kalinya tahun.1810-1814) dan dipaksa untuk memberikan sebagian wilayahnya kepada Pangeran Notokusumo sebagai tanda jasa Raffles kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1813. Seperti Surakarta, Yogyakarta juga dibagi menjadi dua. Yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan HB III sebagai Raja, dan Pakualaman dengan Pangeran Notokusumo sebagai raja dengan gelar “Kanjeng Gusti Pakualaman I”. karena jasanya, Inggris juga membantu pembangunan Istana dan tiap bulan memberikan bantuan kepada pakualaman. 

D. Perang Diponegoro

Setelah dilakukan perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam konversi London tahun 1814. Daerah jajahan Hindia Belanda (Indonesia) dikembalikan pada Belanda, bukan Prancis. Untuk mengurusi daerah jajahan tersebut dikirim komisi jendral yang terdiri dari Van der Capellen, Elout dan Buyskes. Ketika Pulau Jawa dikembalikan pada Belanda, raja-raja Jawa berharap bisa memulihkan keadaan Kerajaan. Tetapi ternyata Belanda memperrbarui kebijakan-kebijakan yang dilakukan Inggris.

Puncaknya di Yogyakarta, terjadi peperangan yang besar yaitu perang diponegoro (Perang Jawa) yang terjadi tahun 1825 sampai tahun1830. Disebut Perang Jawa, karena peperangan ini melanda hampir di seluruh Jawa. Peperangan ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (putra mahkota Pangeran Adipati Anom). Penyebab perang adalah kerena Belanda selalu ikut campur permasalahan di Mataram. Perang ini merupakan puncak kebencian kerajaan sejak awal kedatangan Belanda di Jawa Tengah, yang menyebabkan kemerosotan di Mataram. Wilayah Mataram makin sempit karena banyak dianeksi oleh Belanda sebagai imbalan atas bantuannya.

Selain itu juga penyebabnya adalah terjadinya pembagian Mataram menjadi empat wilayah yaitu, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman. Dan penderitaan rakyat yang semakin berat, dengan adanya kerja Rodi dan pajak tanah. Selain sebab-sebab tersebut, terdapat sebab khusus mengapa Pangeran Diponegoro melakukan peperangan. Yaitu adanya proyek pembuatan jalan yang melalui makam makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Rejo. Patih Danuharjo (kaki tangan Belanda) memerintah pemasangan patok-patok di jalur itu. Pangeran Diponegoro memerintah untuk mencabutnya, tetapi di pasang kembali. Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga patok-patok tersebut diganti dengan tombak oleh Pangeran Diponegoro untuk berperang melawan Belanda.

Dalam peperangan tersebut Pangeran Diponegoro tidak sendirian. Selain dengan pasukannya, beliau juga dibantu oleh Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasa Prawiradiraja, dan Kiayi Mojo dari Surakarta. Kiayi Mojo berhasil mengobarkan jihad di daerah Yogyakarta, Surakarta, Bagelen dan sekitarnya. Tahun 1826, Pangeran Diponegoro memperoleh kemenangan gemilang di Ngalengkong. Kemenangan ini merupakan kemenangan terbesar dalam peperangan Gerilya (bawah tanah) yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Rakyat menobatkan Pangeran Diponegoro dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herutjokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”. Penobatan ini dilakukan di desa Dekso.

Selain kemenangan gemilang, dalam perang gerilya selanjutnya terjadi konflik intrnal antara Pangeran Diponegoro dengan Kiayi Mojo. Yaitu mengenai permasalahan pemerintahan dan keagamaan. Dalam perselisihan tersebut Kiayi Mojo berpendapat bahwa kedua masalah tersebut harus dipegang secara terpisah, bukan dipegang oleh satu tangan. Seperti pendapat Pangeran Diponegoro. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena usulan perang terbuka yang diusulkan Kiayi Mojo tidak diterima oleh Pangeran Diponegoro.
Tidak hanya dengan Kiayi Mojo. Sentot Alibasa juga meninggalkan pangeran Diponegoro. Alasannya karena Sentot alibasa mengingginkan perang terbuka, bukan perang gerilya. 1829 merupakan tahun yang kritis bagi Pangeran Diponegoro. Kerena satu demi satu pengikutnya mulai meninggalkannya. Anehnya Sentot Alibasa menyerah kepada Belanda dengan berbagai syarat diantaranya pemberian pinjaman sebesar 10.000 Ringgit, diberikan senapan dan tetap memeluk Islam. Hal tersebut disambut gembira oleh belanda. Sentot diangkat menjadi Letnan Kolonel dan langsung dibawah pimpinan Jendral De Kock.

Setelah kehilangan para pengikutnya, perang gerilya yang dilakukannya selama ini agak menjadi lemah. Hingga pada akhirnya pada bulan februari tahun 1830 terjadi perundiang antara Belanda dan Pangeran Diponegoro. Dari pihak Belanda diwakili oleh Jendral De Kock. Dalam perundinga tersebut Pangeran diponegoro meminta agar berdirinya negara yang merdeka dibawah pimpinan Sultan dan juga ingin menjadi Amirulmukminin diseluruh tanah jawa. Melihat sikap beliau yang teguh, Belanda tidak dapat memenuhi permintaannya.

Kemudian Pangeran diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia, kemudian dipindahkan ke Menado. Selanjutnya dipindahkan ke Makasar di Benteng Rotterdam. Dengan ditangkapnya Pangeran diponegoro, maka berakhirlah perang Jawa. Dalam perang ini belanda banyak sekali mengeluarkan biaya untuk peperangan. Tidak hanya itu, pada waktu yang bersamaan Belanda juga menghadapi “Perang Paderi” di sumatra Barat. Belanda mengakui Perang Diponegoro merupakan perang yang paling berat yang pernah dihadapi. Pangeran Diponegoro meninggal di Makasar tanggal 8 Januari 1855.


Daftar Pustaka

Nugroho, Notosusanto.dkk.1993.Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta; Balai Pustaka
Sartono, Kartodirjo. 1998. Dari Imperium sampai Emporium Jilid II. Jakarta: Gramedia
Wayan, Badrika. 1999. Sejarah Nasional dan Umum Jilid 2. Jakarta; Erlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar