Senin, 30 Agustus 2010

Jawa yang Jaya, Jawa yang Menderita

*P Swantoro

PADA bagian akhir pemerintahan Raja Mataram Amangkurat I (1645-1677), ditulislah dalam Babad Tanah Jawi: 

"Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kalijan adatipun, asring misesa tiyang, tansah nggelaraken siyasat. Para bupati mantri tuwin para sentana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung resah tataning negari. Tiyang sa-Matawis sami miris manahipun, sarta asring grahana wulan tuwin srengenge; jawah salah mangsa, lintang kumukus ing saben dalu katingal. Jawah awu utawi lindu. Akatah delajat ingkang ketingal. Punika pratandanipun , yen negari bade risak... " (Babad Meinsma, h. 154)


(Ketika itu, paduka raja bertindak sekehendak hati, tidak sebagaimana biasa. Ia sering menyengsarai orang dan selalu bermain siasat. Para bupati, menteri, dan kerabat istana bertindak sekehendak hati dalam kedudukan mereka.
Tata aturan kehidupan negara menjadi berantakan. Penduduk seluruh Mataram selalu dirundung rasa takut. Sering terjadi gerhana bulan maupun matahari. Hujan bukan musimnya. Bintang kemukus muncul setiap malam.
Hujan abu dan gempa.
Banyak pula komet kelihatan
Itu semua pertanda negara akan rusak...)
 
Lukisan yang kelam mengenai keadaan mikrokosmos ("dunia manusia") dan makrokosmos (alam-semesta) itu dilatar-belakangi pendapat bahwa seorang raja mestinya adalah penopang mikrokosmos dan makrokosmos, sehingga segalanya berjalan lancar tanpa gangguan, tertib teratur sebagaimana mestinya. 

Ada dua faktor yang menyebabkan seorang raja mampu menjadi penopang mikrokosmos dan makrokosmos, yakni wahyu dan kasekten atau kesaktian. Wahyu atau pulung adalah kehendak atau desain Ilahi yang memastikan seseorang pantas menjadi raja. Akan tetapi, kehendak Ilahi ini harus diimbangi oleh upaya orang yang bersangkutan agar ia pantas menerima wahyu tersebut. Ia harus berusaha membangun kepribadian dan kemampuan yang sesuai dengan tugas yang diterimanya sebagai seorang raja. Upaya ini tidak pernah boleh mengendur, apa pun alasannya. Justru ia harus semakin memacu kualitasnya. 

Itulah justru yang tidak dilakukan oleh Amangkurat I. Kekacauan pada mikrokosmos dan makrokosmos seperti yang dilukiskan dalam Babad Tanah Jawi terpapar di atas itu adalah yang menjadi akibatnya. Karena wahyunya sebagai raja pun dicabut oleh Pemberinya. Kerajaan Mataram yang dibangun oleh Panembahan Senapati (1575-1601), dan diangkat ke puncak kejayaannya oleh Sultan Agung (1613-1645), mulai menurun menuju terpecahnya Kerajaan Mataram. 

Setelah dikacau berbagai pemberontakan, seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Suropati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), akhirnya Mataram terjerumus dalam tiga perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757). 

Dengan Perjanjian Giyanti, kerajaan dibagi antara Susuhunan Surakarta (Pakubuwono III) dengan pamannya, Pangeran Mangkubumi, yang selanjutnya menjadi Sultan Yogyakarta, dengan sebutan Hamengku Buwono I. Lewat Perjanjian Salatiga, Sunan Pakubuwono III menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said, yang menegakkan diri sebagai Mangkunegoro I. 

Adalah menarik, apa yang ditulis oleh Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya (Le Carrefour Javanais) jilid III: "Perjanjian tahun 1755 dan 1757 jelas merupakan peristiwa penting dalam sejarah Mataram. Hilanglah impian akan pembentukan kesatuan Jawa yang diusahakan oleh raja-raja pertama. Seluruh Jawa Barat, seperti juga pesisir utara dan ujung timur Pulau Jawa (Oosthoek) dikuasai Kompeni. Sisanya terpecah-pecah bagaikan kain tambal seribu dan terbagi di antara tiga kerajaan, yang sekalipun tenteram dan damai, diam-diam tetap bersaing". 

Bagaimana kehidupan rakyat di Kerajaan Mataram, yang puncak kejayaannya tercapai pada masa pemerintahan Sultan Agung? Yang jelas, banyaknya perang untuk memperluas wilayah Mataram dan mengatasi perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Raja Mataram yang absolut, menjadi beban berat bagi rakyat. Ini terutama akibat sistem pengerahan tenaga dalam operasi militer. 

HJ De Graaf, yang dalam seri bukunya mengenai Raja-raja Mataram banyak menggunakan sumber-sumber Babad maupun sumber-sumber Belanda menulis sebagai berikut mengenai tentara Mataram: Senjata Sultan Agung yang paling diandalkan adalah tentaranya. Menurut perkiraan Balthazar van Eyndhoven yang pada 1614 mengunjungi Mataram, jumlah tentara Sultan Agung sekitar tiga ratus ribu orang. Perkiraan ini, menurut De Graaf, terlalu tinggi. Mungkin jumlah itu mencakup seluruh pria yang dapat dikerahkan ke medan perang. Sebab, sebagian besar tentara Mataram memang terdiri dari "milisi". "Tentara reguler" hanyalah para pengawal raja dan para penjaga gerbang-gerbang tol. 

SISTEM pengerahan tenaga untuk kepentingan militer demikian itu, rupanya juga sudah dilaksanakan di zaman Kerajaan Kediri (1050-1222). Mobilisasi dilakukan, hanya apabila diperlukan. Penduduk yang dihimpun untuk kepentingan militer itu, tidak dilatih khusus sebagai prajurit. Bahkan para komandannya pun memegang posisinya itu ex officio, dalam kedudukannya sebagai kabayan, juru wereh, buyut, hadyan ,dan angkrangkepi

Akan tetapi, seperti halnya di Mataram, di pusat kerajaan dibentuk pasukan militer reguler atau profesional. Mereka dipilah-pilah atau dikelompokkan menurut keahliannya. Contohnya: kelompok atau pasukan mamanah (para pemanah), magalah (pasukan tombak), maliman (pasukan bergajah) makuda (pasukan berkuda atau kavaleri). Mereka memang dilatih sebagai militer profesional. 

Dr Edi Sedyawati yang memberikan informasi itu dalam bukunya Ganesa Statuary of the Kadiri and Singhasari Period, memperkirakan bahwa sistem mobilisasi militer di Kediri tersebut, erat kaitannya dengan situasi politik pada waktu itu; khususnya terjadinya persaingan antara Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Jenggala. 

Dan, publikasi karya-karya sastra seperti Bharatayuddha dan Smaradahana oleh Raja-raja Kediri, rupanya ada hubungannya pula dengan situasi itu. Bharatayuddha mengisahkan perang saudara antara Pandawa dan Kurawa (Panjalu dan Jenggala adalah dua kerajaan , yang lahir akibat dibaginya Kerajaan Airlangga), sedangkan Smaradahana menampilkan heroisme Ganesa, yang sebagai pemimpin pasukan Siwa, dapat pula dipandang sebagai seorang panglima. 

Karena sebagian besar tentara Kediri maupun Mataram itu terdiri dari "milisi", dan mereka itu umumnya petani, maka sang raja harus selalu memperhitungkan pola kerja petani dalam mengerahkan tenaga mereka. Akan tetapi, agaknya dalam praktik, perhitungan itu tidak selalu bisa ditepati, mengingat kepentingan perang sering punya dinamiknya sendiri. Lagipula, mereka yang diberangkatkan ke medan perang, banyak pula yang meninggal, setidaknya sebagian adalah akibat jeleknya perawatan. 

Dengan demikian, banyaknya perang di masa kerajaan Mataram tetap merugikan rakyat. Apalagi, pengerahan pasukan itu tidak hanya dilakukan di daerah-daerah sekitar ibu kota Mataram, akan tetapi juga di wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan Mataram. Dari daerah Madiun misalnya, harus dapat dihimpun 50.000 orang; dari Blitar 40.000; dari Cirebon 100.000; dari Pati 40.000; dari Madura, Tuban, Demak, dan Pemalang, masing-masing 20.000 orang. 

Beban berat akibat pengerahan tenaga untuk berperang itu menjadi lebih menekan lagi, apabila pada saat yang sama ada "pukulan" lain, seperti yang terjadi antara 1625 sampai 1627 dengan meluasnya penyakit menular, yang dalam laporan Belanda hanya disebut borstziekte atau "penyakit dada". Rupanya, perang terus-menerus melemahkan pula kondisi fisik penduduk, sehingga tidak saja terjadi kelesuan semangat untuk bertempur, tetapi juga menyebabkan orang lebih mudah terserang penyakit. 

Dilaporkan, di Kendal, Tegal, Jepara, dan di semua daerah pantai utara Jawa sampai Surabaya, maupun di beberapa daerah pedalaman, jumlah orang yang meninggal "tidak terhitung" jumlahnya ("ontallycke" mensen gestorven). Pada tahun 1626 di banyak tempat, bahkan duapertiga penduduknya tidak tertolong jiwanya. Tidak mengherankan, kalau banyak tanah pertanian terbengkalai, sehingga kemiskinan pun menimpa penduduk di mana-mana. 

Raja Perancis Louis XIV, yang hidup kurang lebih sezaman dengan masa Kerajaan Mataram dan yang ketika menjadi raja pun getol berperang dalam melaksanakan politik luar negerinya demi la gloire (keagungan bangsa Perancis dan keagungan pribadinya sebagai raja), akhirnya di tempat pembaringannya terakhir toh memperingatkan penggantinya agar menjauhi perang dan kemewahan. Raja yang berpendirian bahwa negara adalah dirinya (l'etat c'est moi) itu, lahir tanggal 5 September 1638, dan sudah resmi menjadi raja Perancis setelah ayahnya meninggal pada tahun 1643, tiga tahun sebelum Sultan Agung berpisah selamanya dari keagungan Mataram yang dibangunnya dengan peperangan yang tiada henti (Februari 1646). 

Seperti halnya Raja-raja Mataram sepeninggal Sultan Agung semakin merosot keagungannya, dan negaranya pun terpecah-pecah, demikian pula Raja-raja Perancis pengganti langsung Louis XIV juga semakin kehilangan pamornya. Bahkan Louis XVI di akhiri hidupnya dengan guillotine dalam Revolusi Perancis, tanggal 21 Januari 1793. 

Bahwa rangkaian peperangan menyengsarakan kehidupan rakyat, dan bahwa sebaliknya, negara dalam keadaan damai membawa kesejahteraan, terbukti dari situasi di Jawa sebelum dan sesudah Perjanjian Giyanti 1755 dan Perjanjian Salatiga 1757. Masa perdamaian di Jawa yang bermula pada tahun 1755 dan berlangsung selama tujuh puluh tahun, yakni sampai pecah Perang Diponegoro (1825), sangat meningkatkan produksi pertanian dan mempertinggi kesejahteraan rakyat. 

Kata John Crawford, yang pernah dua kali menjadi residen Yogya semasa pemerintahan Raffles: "A traveller could now (1812) pass a hundred miles without encountering an uncultivated spot". Dan, seperti halnya raja-raja di kerajaan-kerajaan Jawa Timur sebelumnya, Hamengku Buwono I (1755-1792) dan Hamengku Buwono II pun memerintahkan pembangunan bendungan untuk meningkatkan lagi hasil pertanian. Lahirlah bendungan di Kali Winongo untuk mengairi daerah Krapyak, dan bendungan di Kali Bedog, yang terletak antara Gamping dan Ambarketawang. 

Upaya perluasan wilayah dengan peperangan-peperangannya di masa Kerajaan Mataram rupanya menyebabkan terbengkalainya pelaksanaan salah satu "politik agraris" yang sangat penting itu, dan yang di masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur-termasuk di zaman Majapahit- mendapat perhatian besar. Pembangunan bendungan-bendungan dengan saluran-saluran airnya yang paling tua, menurut beberapa prasasti, ternyata terdapat di lembah Sungai Brantas. Ada lima sistem irigasi yang telah ditemukan sampai sekarang. 

Proyek-proyek yang paling tua terletak di hulu Sungai Konto, yang bersumber dari lereng Gunung Kawi dan mengalir ke barat sampai bermuara di Kali Brantas, di utara Kertosono. Prasasti berangka tahun tahun 921 (pemerintahan Tulodong) yang ditemukan di Desa Harinjing, dalam bagian pertamanya mengulangi teks sebuah prasasti tahun 804, yang menyebut penggalian sebuah saluran oleh para kepala desa serta pembangunan sebuah dam atau bendungan (dawuhan) di salah satu anak Sungai Konto. 

Dalam bagian kedua prasasti itu, dikemukakan pengakuan terhadap hak-hak para pembangun, dan dapat dikatakan memperkuat teks terdahulu. Tidak jauh dari tempat itu juga ditemukan Prasasti Kandangan dari tahun 1350. Prasasti ini untuk memperingati dilakukannya perbaikan bendungan tersebut oleh seorang rangga Sapu. Juga dinyatakan dalam prasasti itu, bahwa untuk selanjutnya bendungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di sebelah timur Daha atau Kediri. 

Sistem irigasi lain dibuat di Kali Pikatan, yang mengalir dari lereng-lereng Gunung Welirang ke arah barat laut, dan bermuara di Kali Bangkal, salah satu anak Sungai Brantas. Daerah ini, menurut Prasasti Sarangan (929) maupun prasasti Mangibil (934) sudah dikembangkan pada awal abad ke-10, dan sistem persawahan sudah dilakukan secara sistematis berkat adanya tiga bendungan yang dibangun di sungai-sungai kecil yang mengalir dari Gunung Welirang. Di daerah itu terdapat sebuah waduk 175 x 350 m, yang menurut perhitungan H Maclaine Pont, berkapasitas 350.000 m3. (Nusa Jawa III, hal. 19-20). 

Sistem persawahan dengan waduk-waduknya tidak saja terdapat di Jawa pada zaman itu, tetapi juga di negara seperti Angkor misalnya, yang terletak di sebelah utara dari bagian barat Tonle Sap (Telaga Besar) di Kamboja. Ukurannya pun jauh lebih besar. Kalau waduk di Jawa Timur-seperti dikemukakan di atas-besarnya hanya 350.000 meter kubik, maka di Angkor terdapat waduk yang mampu menampung air 50 juta m3. (Nusa Jawa III, hal. 19). Ini pertama terjadi pada pemerintahan Raja Yasovarman I (memerintah 889-900), dan selanjutnya dibangun kembali oleh Rajendravarman II (memerintah, 944-968). Akan tetapi Candi Wisnu Angkor Wat yang terkenal itu tidak dibangun oleh Rajendrawarman II, melainkan oleh Suryavarman II (memerintah 1113-1150). 

Karya-karya besar semacam itu baru dapat terwujud, setelah muncul kekuasaan sentral yang cukup kuat. Akan tetapi, terbangunnya kekuasaan sentral yang kuat demikian itu berlangsung bertahap. Dalam sejarah Indonesia, di Kediri-lah mulanya terwujud administrasi pemerintahan yang bersifat sentral. Unit administratif terkecil disebut thani atau desa, dan sekelompok thani disebut wisaya. Unit yang lebih besar daripada wisaya adalah bhumi atau negara: Bhumi Kadiri. 

Akan tetapi, Bhumi Kadiri atau Panjalu akhirnya ditaklukkan dan disatukan dengan Singhasari oleh Raja Kretanegara. Dalam inskripsi Sarwwadharma (AD 1269) ditegaskan bahwa Raja Kretanegara adalah penyatu Janggala serta Panjalu, dan menjadi payung seluruh Pulau Jawa. Adalah menarik keterangan Dr Edi Sedyawati dalam bukunya Ganesa Statuary yang dikutip penjelasannya mengenai Kediri dan Singhasari itu, menyatakan bahwa Raja-raja Kediri lebih mengkonsentrasikan diri pada upaya menstabilkan organisasi regional dalam negeri sendiri (Kediri), dengan membina kualitas para pemimpin regional, baik wisaya maupun thani, sedangkan Raja-raja Singhasari lebih mementingkan upaya-upaya ekspansif. Sebuah inskripsi yang dikeluarkan oleh Raja Sminingrat, yang memerintah Singhasari sebelum Kretanegara, menegaskan bahwa Raja Singhasari menguasai "semua prabhu di Jawa dan Madura". 

Kecenderungan ekspansif atau nafsu memperluas wilayah yang mendorong Raja-raja Singhasari itulah yang dalam sejarah Jawa berikutnya tampak dominan, dan sangat terasa kuat dorongannya pada zaman Majapahit dan Mataramnya Sultan Agung, meskipun akhirnya fatal akibatnya bagi seluruh negara dan rakyatnya seperti telah dikemukakan di atas. 

Politik perluasan wilayah itu, umumnya disertai beberapa tindakan untuk memperkukuh kekuasaan di wilayah-wilayah yang telah direbut. Pola tindakan itu sebagai berikut: Pertama, para penguasa daerah yang telah ditaklukkan itu diwajibkan tinggal di pusat kerajaan selama beberapa bulan dalam setahun. Kalau mereka pulang, mereka harus meninggalkan salah seorang kerabat dekatnya sebagai sandera. 

Tindakan kedua, politik perkawinan. "Sesudah menang perang, raja dan para pengikut utamanya lazimnya menikahi putri-putri atau saudara-saudara perempuan dari raja yang kalah. Jangan dikira mereka selalu dijadikan selir. Mereka sering juga dijadikan permaisuri. Panembahan Seda ing Krapyak (1601-1613) adalah putra dari seorang putri Pati, yang saudaranya telah memberontak terhadap Panembahan Senapati (1575-1601). Sultan Agung adalah putra seorang putri Pajang, keturunan keluarga Jaka Tingkir yang telah digeser oleh Mataram. Pangeran Pekik diharuskan oleh Sultan Agung menikahi Ratu Pandan Sari, saudara Sultan Agung sendiri, setelah Surabaya ditaklukannya pada tahun 1625. 

Tindakan ketiga yang menyertai pilitik perluasan wilayah ialah, menempatkan "mata dan telinga" raja di mana-mana. Sebenarnya ketiga jenis tindakan itu tidak saja dilakukan di kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya di zaman Majapahit dan Mataram, tetapi juga di negara-negara lain. Salah satu contoh perkawinan politik yang terkenal adalah perkawinan antara Louis XIV dengan Marie-Therese dari Spanyol. Demi perkawinan politik ini, ia rela mengorbankan cintanya kepada Marie Mancini, seorang wanita yang cantik dan inteligen, kemenakan Kardinal Mazarin. 

Akan tetapi, Ann Kumar dalam bukunya Java and Modern Europe melihat segi lain yang positif dari kerajaan-kerajaan Jawa yang cenderung berpolitik ekspansif itu. Kerajaan-kerajaan di Jawa sejak mula mendasarkan diri pada budidaya persawahan yang dinamis, dengan masyarakatnya yang sangat terorganisir, dengan ideologi yang kuat. Maka dapat berkembang pulalah kemampuan di bidang metalurgi dan persenjataan yang tinggi kualitasnya pada masa itu, di samping berkemampuan menghimpun pasukan dalam jumlah besar. 

Subur pula peradaban keraton yang didasarkan atas konsep mengenai posisi raja yang utuh dan mantap. Peradaban Jawa adalah pertama-tama khas Jawa, dan keliru kalau kita menganggapnya sebagai hasil persilangan pengaruh-pengaruh dari luar. "Ekspor peradaban Jawa ke wilayah-wilayah non-Jawa adalah imbang dengan impornya ide-ide dari India dan kemudian juga dari Islam". 

Ekspor peradaban Jawa itu, seperti halnya ekspor peradaban Barat, sebagian lewat penggunaan senjata, dan sebagian lagi berkat daya tariknya bagi dunia luar. Glamour dan kekuatan-kekuasaannya terasakan di Bali dan Kalimantan, di Lampung, di Jambi dan Palembang, di negara-negara Semenanjung Melayu, bahkan di daratan Asia Tenggara. Tidak saja pasukan Jawa menyerbu sampai lembah Tonkin pada abad ke-8, bahkan pengaruhnya pada semua aspek budaya Campa begitu dalam dan berkelanjutan, sehingga sulit dijelaskan kalau hanya merupakan akibat serbuan militer. Pada tahun 802 Jayavarman II membebaskan wilayahnya dari kekuasaan Jawa, dan pada abad XI dipancangkanlah inskripsi-inskripsi Khmer yang berisi seruan meminta bantuan terhadap serangan Jawa. 

Dalam hubungan dengan pengaruh Jawa itu, selanjutnya Ann Kumar mengutip hasil studi Barbara Andaya mengenai Sumatera Selatan abad tujuhbelas dan delapanbelas sebagai berikut: Pada pertengahan abad tujuhbelas, penguasa Jambi berusaha memperkenalkan kebudayaan Jawa di wilayahnya, yang di Palembang sudah terlaksana. Sang penguasa malah mengeluarkan instruksi, agar rakyat pedalaman tidak menggunakan pakaian Melayu mereka, melainkan pakaian adat Jawa, apabila mereka menghadap di istana. Sang penguasa dan para bangsawan menggunakan gelar-gelar kebangsawanan Jawa, sementara wayang, tarian dan gamelan menjadi bagian dari kehidupan keraton. Dengan sendirinya keris pun tidak ketinggalan menjadi bagian kehidupan keraton. 

Pada tahun 1641 dan 1642, Raja Palembang dan Jambi bergantian menghadap Sultan Agung di Mataram, menyampaikan hormat-bekti mereka. Ketika itu, kedua kerajaan tersebut tergantung pada Mataram dalam hal beras, khususnya Jambi. Hubungan antara Jambi dan Palembang dengan Mataram itu adalah sekadar contoh betapa besar pengaruh Mataram terhadap sejumlah kerajaan lain, juga di luar Jawa. Tidak bedanya dengan pengaruh Majapahit sebelumnya terhadap kerajaan-kerajaan lain seperti kerajaan-kerajaan di Bali. 

Bagi kerajaan-kerajaan ini, Majapahit adalah panutan. Tidak meleset barangkali, kata Ann Kumar, bahwa pencapaian integrasi kultural masyarakat Jawa di masa lalu tidaklah tertandingi di mana pun juga di Indonesia; bahkan di Asia Tenggara. Jawa menikmati masa dominasinya yang cukup panjang dan yang tidak tersaingi oleh peradaban pribumi yang mana pun di Asia Tenggara. (Ann Kumar, Java and the Modern Europe, hal.27-28). 

P Swantoro Wartawan Kompas

Sumber: http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=2009032620540965

Tidak ada komentar:

Posting Komentar