Senin, 30 Agustus 2010

Peran Setelah Keterbukaan

KINI keraton di Jawa tinggal menjadi tontonan. Baik sebagai peninggalan sejarah maupun pusat kebudayaan yang menarik bagi wisatawan. Keraton bukan lagi berperan sebagai pusat kekuasaan yang berpengaruh. Bahkan, ikatan batin antara keraton sebagai pusat "limpahan kekuasaan supranatural" dan rakyatnya pun kini mulai kendur. 

Lalu, apa peranan keraton yang sebenarnya saat ini ? Seminar empat keraton: Yogyakarta, Surakarta, Pakualaman (Yogyakarta) dan Mangkunegaran (Surakarta), pekan lalu mencoba mencari jawabannya. Peran sebagai pusat kekuasaan politik, para ahli dan sesepuh keraton sepakat mengesampingkannya. Posisi ini memang pernah dimiliki ketika keraton di Jawa Tengah itu berdiri sebagai Mataram sampai terpecah menjadi empat pemerintahan pada masa lalu. Namun, setelah Indonesia merdeka, keraton tidak lagi menjadi pusat kekuasaan. 

Sebagai suatu lembaga ia tak mempunyai kekuatan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. "Keraton itu sebetulnya sudah tak punya daya apa-apa lagi untuk memgembangkan diri," kata G.B.P.H. Joyokusumo, kerabat keraton Yogyakarta, dalam seminar itu. Yang masih diharapkan, keraton dapat melanjutkan perannya sebagai salah satu pusat kebudayaan. Untuk posisi ini pun ternyata tak mudah diterima masyarakat yang semakin maju. "Di satu sisi keraton dipandang sarat dengan misi dan harapan, tapi di sisi lain kurang dipahami keberadaannya," kata Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai salah satu pembicara. 

Budaya keraton yang tertutup dan hierarkis, penuh unggah-ungguh (sopan santun), katanya, dianggap kurang sesuai dengan semangat demokrasi dan keterbukaan. "Pendeknya, keraton banyak dikritik kurang cocok sehingga banyak norma yang harus diubah, disesuaikan dengan zaman," katanya. Untuk melaksanakan fungsi pusat kebudayaan itu, tampaknya pihak keraton sendiri harus mempunyai komitmen pada kebudayaan. "Kalau tak ada komitmen, akan terjadi kemandekan kreativitas," kata pembicara lain, Kuntara Wiryamartana. 

Menurut ahli sastra dari Fakultas Sastra UGM ini, pihak keraton sendiri kini tampak kurang memelihara apa yang dimilikinya. Ia menunjuk karya sastra tertulis yang tak pernah dibuka dan dikaji, sementara itu satra lisan dibiarkan semakin lenyap. Pertemuan empat keraton di Yogya itu memang akhirnya sepakat untuk mengembangkan kebudayaan. Wadahnya, seperti diusulkan Sri Sultan HB X, adalah semacam lembaga kebudayaan. 

Lembaga itu nantinya akan menjadi forum komunikasi keraton dan para budayawan dari luar untuk membicarakan masalah-masalah kebudayaan, pendidikan, arkeologi, seni rupa, seni panggung, seni sastra, dan lain-lain. Tujuannya tak lain untuk penelitian dan pengembangan budaya asli agar tetap dapat diterima masyarakat yang kian maju. 

Untuk mewujudkan gagasan itu, tentunya akan ada perubahan di dalam keraton. Organisasi dan manajemen keraton akan ditata. Pihak keraton juga memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraaan para punggawanya. Maka, keraton juga memikirkan cara mendapatkan dana bagi "pelestarian" budaya itu. Kecuali mengharapkan karcis dari wisatawan yang mengunjunginya, pihak keraton tampaknya perlu mencari sumber dana di luar benteng, misalnya melalui bisnis. 

Itulah cita-cita keraton yang semakin terbuka. Setelah menanggalkan kekuasaan politiknya, kini mereka tinggal mempunyai satu "pegangan", yakni kebudayaan. "Pendeknya, keraton akan memberikan apa yang pantas disumbangkan dan siap meninggalkan apa yang patut ditanggalkan," kata Sri Sultan. 

G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta) dan Sri Wahyuni (Yogyakarta) 
Sumber : Tempo, 15 Februari 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar