Minggu, 29 Agustus 2010

Raffles Menangis Ketika Meninggalkan Jawa

Berawal dari rasa kecewa akibat harus meninggalkan tanah Jawa, Thomas Stamford Raffles, kemudian menggagas sebuah proyek mercusuar bernama “Singapore”. Kala itu Raffles bersumpah akan menciptakan sebuah koloni baru yang walaupun kecil namun kelak akan lebih maju dibanding tanah Jawa yang dengan sangat terpaksa ditinggalkannya.

Untuk mewujudkan gagasan tersebut Raffles kemudian mengikat perjanjian dengan Temenggong Sri Maharaja penguasa kawasan tersebut dengan syarat, Inggris diperbolehkan mendirikan pusat perdagangan di pulau kecil tersebut. Sebagai gantinya Inggris akan melindungi Temenggong Sri Maharaja dari ancaman serangan Belanda atau orang-orang dari Bugis. Tak menunggu lama, sumpah Raffles tersebut terbukti. Pulau Singapura kemudian menjadi koloni perdagangan Inggris paling maju dan strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia Timur.

Apakah hanya di Singapura Thomas Stamford Raffles meninggalkan jejaknya? Tentu tidak, Di pulau Jawa jejaknya bisa ditelusuri mulai dari candi Borobudur, candi Prambanan, candi Dieng hingga catatan dokumentatifnya tentang situasi dan kondisi masyarakat jawa kala itu. Catatannya menjadi penting karena keadaan geografi, kepadatan penduduk, sistem pertanian, sistem perdagangan, adat-istiadat dan budaya serta kehidupan sosial-politik masyarakat di tanah Jawa kala itu dipotret secara detail dan menyeluruh.

Catatan itulah yang kelak ditulis ulang dalam bentuk sebuah buku dengan judul The History of Java yang terbit pertama kali 1817. Buku tersebut awalnya terbit dalam dua volume (yang dalam versi Indonesia ini dijadikan satu buku). Tentu saja, The History of Java lebih dari sekedar rekam jejak seorang Thomas Stamford Raffles, karena selain menulis buku, Raffless melalui usahanya telah mengusahakan banyak hal, seperti mengintroduksi otonomi terbatas, menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan, dan penelitian mendalam terhadap sastra jawa kuno. Semua dilakukan Raffles selain karena tugasnya sebagai wakil Inggris di Hindia Timur, juga karena keterikatannya pada tanah subur nan eksotis itu.

Berangkat dari keterikatannya tersebut, wajar bila pandangan akan Jawa, budaya dan penduduknya berbeda dengan pandangan kebanyakan orang-orang Eropa, khususnya Belanda yang memandang masyarakat Jawa sebagai “Pengkhianat, senang membalas dendam, berbahaya, cenderung merampok dan membunuh dibanding bekerja, licik dalam berbuat jahat, semua sifat seperti itulah yang terutama menjadi karakter orang Jawa.”

Raffles mewakili pemerintah Inggris justru berpendapat sebaliknya, “masyarakat Jawa adalah penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak ditindas. Dalam hubungan domestik mereka baik, lembut, kasih sayang dan penuh perhatian. Dalam hubungan masyarakat umum mereka orang yang patuh, jujur dan beriman”

Menurut Raffles, untuk memberikan gambaran yang paling menonjol dari, karakter masyarakat Jawa, sangatlah penting untuk membedakan antara kelas masyarakat yang diuntungkan dan masyarakat kebanyakan (kelas bawah). Penindasan yang panjang terhadap kelas bawah mungkin akan menghilangkan sifat-sifat ceria mereka. Tapi bagi masyarakat kelas atas, karena dominasi mutlak yang mereka lakukan, berakibat lebih buruk lagi. Mereka mengabaikan pengendalian yang bermanfaat untuk memuaskan nafsu, mendorong bertambahnya tingkat keburukan. Pada kalangan petani, Raffles mengamati bahwa semuanya tampak sederhana, natural dan jujur. Tetapi kalangan yang lebih tinggi, kadang akan ditemui kekerasan, kepura-puraan dan hasrat yang tamak.

Orang Jawa Pemalas

Anggapan bahwa orang jawa adalah pemalas dibantah oleh Raffles. Menurutnya penyangkalan terbaik dari pernyataan orang Jawa pemalas adalah dengan melihat langsung kehidupan petani jawa di pedesaan-pedesaan yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan populasi.

“Mereka biasanya bangun saat fajar, kemudian berangkat ke ladang padi pada pukul setengah tujuh. Disana mereka mempekerjakan kerbaunya sampai pukul sepuluh siang, kemudian pulang kerumah untuk mandi, dan mengembalikan kesegaran mereka dengan makan. Selama siang yang panas mereka beristirahat di bawah bayang-bayang rumah mereka atau pohon sambil membuat keranjang, merawat peralatan pertanian mereka atau sibuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting. Sekitar pukul empat mereka kembali bekerja di sawah untuk mengolah tanah tanpa bantuan kerbau atau hewan ternak lainnya. Pada pukul enam mereka pulang kerumah, makan malam dan menghabiskan sisa waktu mereka hingga menjelang tidur (biasanya sekitar pukul delapan atau sembilan) dengan sedikit hiburan atau bincang-bincang, sementara seluruh desa terlihat tenang, damai dan menyenangkan.”

Menurut Raffles perputaran antara kerja keras dan istirahat yang selalu sama bisa diamati selama musim tanam, mengerjakan ladang kering atau pekerjaan-pekerjaan lain. Selain memotret secara detail karakter dan kehidupan masyarakat Jawa saat itu, Raffles juga berkesempatan untuk mengunjungi dan membuat tulisan ringkas suku-suku lain yang ada di pulau Jawa seperti suku Kalang, suku Tengger di kawasan pegunungan Tengger, suku Bedui (badui) di pedalaman Banten.

Budaya Jawa

Yang tak kalah penting dari buku The History of Java adalah kajian Raffles terhadap budaya Jawa. Di bab VIII buku tersebut, Raffles mendokumentasikan secara cermat dari bahasa, dialek, sampai dengan huruf jawa dan membandingkannya dengan bahasa bahasa lain seperti Sunda, Bali atau Madura.

Selain bahasa-bahasa baku tersebut Raffles juga mencatat penduduk setempat juga memiliki bahasa-bahasa puitik atau klasik yang disebut bahasa Kawi. Dalam bahasa inilah, menurut Raffles ditulis semua catatan sejarah, komposisi puisi seperti prasasti kuno yang ada pada kayu atau batu. Dimana penguasaaan pengetahuan tentang bahasa kuno secara ekslusif terbatas hanya pada keluarga atau pemimpin masyarakat.

Sejarah Pendudukan

Selain mengungkapan budaya yang dianut penduduk Jawa, di bab X Raffles dari berbagai sumber mencatat sejarah (peradaban) Jawa dari awal tradisi hingga munculnya Islam. Cerita tersebut dimulai sejak kedatangan Aji Saka diparuh kedua abad pertama sampai dengan kehancuran pedalaman Pajajaran oleh kasultanan Cheribon (Cirebon) yang menandai semakin mantapnya kedudukan Islam yang tak lagi hanya menguasai wilayah pantai utara Jawa tetapi berhasil merangsek jauh keselatan di pedalaman.

Di Bab XI, Raffles masih melanjutkan catatannya yang ditandai dari awal kemunculan Islam (1400 A.J) sampai dengan kedatangan Angkatan Bersenjata Inggris ditahun 1811. Salah episode yang menjadi perhatiannya adalah cerita tentang pengepungan dan kemudian penyerangan Batavia oleh Sultan Agung dari Matarem (Mataram). Dalam bab ini, secara kronologis Raffles menuliskan catatan-catatan pertempuran antara pemerintah Hindia Belanda dengan penguasa-penguasa pribumi.

Hal lain yang menarik, lebih dari sepertiga akhir bagian buku ini digunakan oleh Raffles untuk memberi penjelasan tentang pembagian wilayah, dan lampiran-lampiran berupa laporan-laporan demografi, terjemahan Suria Alem dan kosa kata perbandingan antara bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Lampung.
Melalui buku ini, tentu saja orang tak hanya mengenal nama Raffles dari bunga bangkai (Rafflesia Arnoldii) atau Singapore saja. Tetapi Jawa juga menyimpan nama seorang Thomas Stamford Raffles dalam jejak peradabannya.

Judul buku: The History of Java
Penulis: Thomas Stamford Raffles
Alih bahasa: Eko Prasetyaningrum, Nuryati Agustin, Idda Qoryati Mahbubah
Penerbit: Penerbit Narasi
Halaman: 904 halaman+XXXVI

sumber: http://salamatahari.wordpress.com/2008/07/04/raffles-menangis-ketika-meninggalkan-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar