Minggu, 29 Agustus 2010

Saat Raffles Terpesona Jawa


“Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya miliki…”. Perasaan saya campur aduk membaca halaman sampul belakang buku ini. Saya malu sebagai orang Jawa. Saya jengkel ketika ia begitu sombong, sekaligus kagum karena ia memang pantas menyombong.
The History of Java, karya Thomas Stamford Raffles. Saya baru saja mulai membaca buku ini. Tidak perlu menunggu selesai membaca buku ini untuk mencoba mengulasnya.

Saya tidak akan menunda-nunda memperkenalkan buku ini kepada semua orang. Saya sendiri sudah menjadi bagian yang sangat telat untuk tahu sejarah Jawa lewat buku ini. Lebih baik telat daripada saya tidak tahu bukan? Lagi pula saya tidak ingin naif untuk membuat ulasan dari ratusan halaman yang kaya dan sangat penting ini.

Buku ini sejatinya dicetak tahun 1817 dalam dua volume. Pada 1965, penerbit Oxford University Press menerbitkannya kembali dalam dua jilid. Baru pada tahun 2008, penerbit Narasi Yogyakarta menerbitkannya dalam bahasa Indonesia. Kurang pandir apa kita ini hingga harus menunggu hampir dua abad untuk tahu sejarah nenek moyang!

Raffles, orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan sapaan hormat, Sir. Tahun 1811 ketika Gubernur Jendral (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond atau yang lebih dikenal dengan Lord Minto mengirimnya ke Malaka karena ia cerdas dan memiliki kemampuan berbahasa melayu. Ia kemudian diangkat menjadi seorang Gubernur Jendral pada masa yang amat singkat, 1811-1816.

Proyek penulisan The History of Java dimulai di Cisarua, sebuah daerah sejuk di Bogor. Dari apa yang telah dituliskannya, Raffles tampaknya tidak hanya ingin sekedar meninggalkan rekam jejak. Tentu ia manusia yang dedikatif dengan menelusuri pedalaman Jawa (bahkan Bali) untuk mengetahui etika masyarakat, tata cara keseharian, sastra dan musik, populasi, di samping juga sejarah kuno kerajaan-kerajaannya dengan menelusuri karya-karya seperti Mahabaratha dan Babad Tanah Jawi. Saya takjub dengan narasi lengkap yang ia miliki di jaman itu. Tidak ada yang salah ketika buku ini menjadi sebuah mahakarya abad ke-19. Masterpiece.

Dalam suratnya kepada yang mulia Pangeran Regent dan dicantumkan dalam halaman awal buku ini, Raffles menceritakan tentang orang Jawa yang menurutnya ”penduduk yang sederhana dan penurut”. Simak pula pada halaman 35, ”Orang-orang Jawa sangat sopan dan sederhana, bahkan cenderung tunduk. Mereka mempunyai rasa kesopanan dan tidak pernah bertindak atau berkata kasar. Meskipun terasing, namun mereka sabar, tenang dan cenderung tidak suka mengusik urusan orang lain. Mereka berjalan dengan lambat dan tidak tergesa-gesa, namun dapat menjadi tangkas apabila diperlukan”.

Pernyataan-pernyataan itu tentu bertentangan dengan klaim penguasa Belanda yang mengidentikkan orang Jawa sebagai pemberontak, maling, dan ciri buruk lainnya. Barangkali memang ada sisi politis yang coba disampaikan oleh Raffles terkait persaingan Inggris dan Belanda menjadi negara penjajah. Raffles cenderung lebih positif melihat orang-orang Jawa.

Raffles menceritakan tanah Jawa umumnya subur karena banyaknya gunung. Selain pandai bertani, orang Jawa terampil membuat aneka macam kerajinan tangan. Raffles bahkan menunjukkan gambar alat-alat kerajinan tangan yang ia jumpai selain gambar orang Jawa dengan berbagai macam pakaian adat.

Laki-laki Jawa memiliki kebanyakan hanya memiliki seorang istri. Namun demikian, penguasa-penguasa memiliki istri lebih dari satu. Para raja memiliki istri paling banyak, bisa 8 sampai 10 orang.

Ketika ia memerintah Jawa, Gunung Tambora meletus pada tahun 1815. Raffles menggambarkan detailnya. Saya pikir orang yang ingin meneliti meletusnya Gunung Tambora mesti merujuk pula pada buku ini.

*******
Raffles yang telah terpesona dengan eksotisme Jawa membenci Belanda yang
kembali berkuasa di Jawa. Tahun 1819 Raffles menggagas pusat perdagangan
di  Pulau Singapura dalam kerja sama dengan Tumenggung Sri Maharaja
penguasa Singapura. Inggris diizinkan mendirikan koloni di Singapura
dengan syarat Inggris melindungi para pedagang Singapura dari Belanda
dan Bugis. Raffles bersumpah Singapura akan dijadikan koloni baru yang
meskipun kecil, namun akan jauh lebih maju dari Tanah Jawa yang dikuasai
Belanda. Hari ini sumpah Raffles terwujud. Singapura menjadi pusat perdagangan paling penting di wilayah Asia Tenggara.

Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, usia yang masih tergolong muda. Namun demikian ia telah meninggalkan karya dan ilmu pengetahuan yang teramat kaya. Ia pula yang menggagas pendirian Kebun Raya Bogor dan turut menggali Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Penataran. Semua itu ia dokumentasikan di dalam bukunya ini.

Buku terjemahan ini telah menghilangkan pengantar yang disampaikan Profesor john Bastin, guru besar sejarah di School of oriental and African History, University of London. Ketika saya mencari apa yang disampaikan oleh John Bastin, yang saya temukan adalah pernyataan, ” Buku ini benar-benar penting…Kombinasi antara teks yang secara ilmiah begitu orisinal dengan sejumlah ilustrasi yang indah,…berkualitas tinggi, sebuah
mahakarya…yang dihasilkan oleh pengamatan langsung penulisnya terhadap tradisi dan lingkungan Jawa”.

Sumber : http://fajarriadi.com/?p=241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar