Senin, 30 Agustus 2010

Tentang Tahta dan Suksesi

MANGKATNYA Mangkunagoro VIII dapat membuka suatu masalah. Yakni tentang siapa yang jadi penggantinya. Untuk pertama kalinya, sejak Indonesia merdeka, sebuah keraton Jawa menghadapi hal itu. Sesungguhnya, cara suksesi atau pergantian takhta di kerajaan Jawa tradisional tak sepenuhnya pasti dan jelas. Akibatnya, kosongnya suatu takhta hampir selalu menimbulkan keguncangan. 

Tak jarang seorang raja baru terpaksa menyuruh membunuh para pesaingnya -- mungkin adik atau pamannya sendiri. Ini berbeda dengan sistem kerajaan Eropa. Di sana, umumnya anak lelaki tertua yang lahir dari permaisuri itulah yang berhak atas takhta sesudah raja wafat. Kalau tak ada anak lelaki, hak jatuh pada anak perempuan tertua dari permaisuri. 

Pada Kerajaan Mataram, yang didirikan sekitar akhir abad ke-16 Mangkunagoro berasal dari garis itu juga -- pengganti takhta adalah anggota dinasti yang memerintah, yang dianggap "penerima wahyu" kedaton. Tetapi ketidakjelasan tentang siapa yang menerima wahyu inilah yang sering menimbulkan ketegangan, bahkan perang.

Kekerasan yang terjadi tidak saja melibat kalangan keraton dan keluarga raja. Penggantian dari Sultan Agung (wafat takun 1646) ke Amangkurat I (1646-1677), misalnya, mengakibatkan dibunuhnya adik sang raja baru, karena dicurigai mau merebut takhta. Ribuan ulama yang dituduh menghasut sang adik raja juga dibunuh.

Adanya perang-perang suksesi di Jawa terlihat pada munculnya lebih dari satu keraton setelah masa Mataram di pertengahan abad ke-18. Dengan desakan Kompeni, yang bertindak sebagai penengah antara para pesaing takhta, akhirnya Mataram dipecah dua: kesunanan di Surakarta dan kesultanan di Yogyakarta. Sementara itu, masih ada seorang pangeran yang memberontak, yakni Raden Mas Said, yang juga dikenal oleh rakyat sebagai Samber Nyawa. 

Pangeran pemberani ini tak dapat dikalahkan, maka pada tahun 1756, VOC, Sunan, dan Sultan mengakuinya sebagai Pangeran Midji, dengan gelar Pangeran Adipati Mangkunagoro. Dialah peletak dasar Istana Mangkunegaran yang sekarang. Sejak pembagian kerajaan Mataram di abad ke-18 itu, VOC menjadi kekuasaan yang dominan di Jawa. Sejak itu juga, Kompeni -- dan kemudian pemerintah Hindia Belanda -- selalu mencampuri penggantian takhta di keraton Jawa. 

Untuk suksesi harus ada persetujuan dari Belanda, yang menganggap masalah ini penting, guna menjamin perdamaian di Jawa -- dan tentu saja guna kedudukannya sendiri. Tetapi prinsip yang dipakai Belanda dalam menentukan suksesi adalah konsep Eropa. Yakni sang pengganti adalah anak lelaki tertua dari gara padmi atau permaisuri yang sah dari raja. Ini bertentangan dengan konsep "penerima wahyu" pada orang yang paling kuat dalam pemikiran Jawa tradisional. Akibatnya, dapat timbul masalah, seperti terbukti pada penggantian Sultan Hamengku Buwono IV, menjelang meletusnya Perang Dipanegara. Putra sulungnya dari garwa padmi masih terlalu kecil (umurnya baru 5 tahun). Tapi oleh Belanda ia ditentukan menjadi Hamengku Buwono V.

Sebagai pendampingnya ditunjuk beberapa orang wali raja, yaitu Pangeran Mangkubumi (paman H.B. IV) dan Pangeran Dipanegara (paman H.B. V), juga patih dan residen Belanda. Konsep wali dan anak kecil sebagai raja ini kurang cocok bagi elite Jawa pada waktu itu. Muncul dengan segera intrik ketidakpuasan dan cekcok antara para wali, biarpun pada masing-masing sudah ada pembagian tugas. Mangkubumi dan Dipanegara merasa tak dilibatkan dalam urusan kerajaan. 

Dipanegara akhirnya memberontak. Sejak itu, Belanda meninggalkan prinsip legitimitas Eropanya, dan memakai tolok ukur lain bagi suksesi di keraton-keraton. Misalnya ketika Hamengku Buwono V wafat, Juni 1855. Raja ini tak diganti oleh Raden Muhamad, putranya dari garwa padmi yang lahir beberapa hari setelah Sultan wafat. Yang jadi Hamengku Buwono VI adalah saudara Sultan almarhum. Tetapi berangsur-angsur kekuasaan keraton hilang sebagai faktor politis yang dapat menimbulkan peperangan di Jawa. 

Sementara itu, Hindia Belanda makin menjadi negara kolonial yang modern. Keraton hanya menjadi sandiwara kekuasaann, Belanda sebagai dalang. Maka, suatu suksesi harus disetujui pemerintah Hindia Belanda. Dengan sang pemegang takhta baru, kontrak perjanjian baru harus diadakan sebelum dia diakui sebagai raja. Tidak berarti Belanda bebas 100% dalam menentukan suksesi. Adat Jawa tetap diperhatikan. Tapi pada umumnya kebijaksanaan suksesi oleh Belanda didasarkan pada loyalitas seorang pangeran terhadap pemerintah Hindia Belanda. Di samping itu, juga pada sikapnya yang bersahabat kepada masyarakat Eropa setempat -- atau Europesche gezindheid-nya.

Menurut konsep Jawa yang dikemukakan Pangeran Suryawijaya dari Yogya, syarat pengganti raja hanyalah harus berdarah Mataram. Tak perlu putra garwa padmi. Faktor lain yang utama adalah penentuan raja yang sedang berkuasa sendiri untuk mengangkat putra makota. Selain itu, calon untuk takhta harus memiliki badan yang sehat -- tak boleh ada cacat -- dan kekuatan seksualnya dilihat sebagai gejala itu (lihat selanjutnya: Selingan). Calon untuk takhta juga harus disenangi rakyat. 

Dukungan Belanda tentu merupakan kekuasaan kongkret bagi raja pengganti. Unsur popularitas di kalangan rakyat sebaliknya dapat dikesampingkan. Bahkan juga kehendak raja, misalnya pada pergantian Mangkunagoro VI (di tahun 1916), yang ingin digantikan oleh putranya dari selir. Pemerintah Hindia Belanda, dengan persetujuan beberapa pangeran, menolaknya, hingga Baginda mengundurkan diri dari takhta.

Pemerintah Hindia Belanda mengabulkan pengunduran diri ini, dan mengangkat kemanakan Raja yang bersekolah di Negeri Belanda, R.M. Surio Suparto, sebagai Prang Wadono, yang kemudian terkenal sebagai Mangkunagoro VII, dan disebut sebagai salah seorang Mangkunagoro terbesar. Kini masalah suksesi di Mangkunegaran tentu tidak akan menimbulkan peperangan seperti dahulu Namun, ketidakstabilan suksesl pada para ahli warisnya masih terlihat. 

Menurut Kompas 5 September 1987, misalnya, ada ditemukan dokumen surat wasiat pendiri dinasti Mangkunegaran, bahwa sesudah Mangkunagoro VIII, takhta harus diserahkan kepada keturunan Ronggo Panambang, salah seorang teman perjuangan R.M. Said. Dokumen itu dibantah, tapi bila ada perkara nanti, akankah pemerintah juga mencampuri penentuan suksesi seperti pemerintah Hindia Belanda dulu? Sekarang ada pemisahan antara milik pribadi dan kemangkunegaraan. Tapi nDalem Mangkunegaran, salah satu keraton terkaya dan juga suatu pusat kebudayaan Jawa yang penting, bersifat milik umum, tak hanya pribadi. Maka, mengatur siapa yang jadi pewaris takhtanya di zaman ini akan merupakan masalah yang menarik.


Sumber : Majalah TEMPO,12 September 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar