Jumat, 03 September 2010

Jawa Setelah Tafsir Kebudayaan

Wong jawa ilang jawane, orang Jawa sudah hilang ke-jawa-annya. Demikian ungkapan yang belakangan kerap terlontar dari kegelisahan orang-orang Jawa generasi tua. Ungkapan ini seolah ingin mengatakan bahwa yang tersisa dari Jawa hari ini adalah sebatas nomenklatur geografis, data kependudukan dari Anyer sampai Panarukan, kebudayaan leluhur yang satu demi satu terkubur, serta renik-renik tradisi yang kian memfosil? Apakah Jawa benar-benar (kian meng-)hilang?
Terlepas dari kebenaran dan akurasi ungkapan itu, barangkali kita, atau setidaknya orang Jawa sendiri, semestinya menyelidiki tata nalar apa yang mendasari ungkapan itu. Dalam takaran semacam apa ada dan tiada-nya Jawa bisa diukur. Jangan-jangan kemurungan yang terermin dari ungkapan itu berangkat dari setidaknya tiga gejala berikut.
Pertama, Jawa lebih banyak diposisikan sebagai obyek yang ditulis dan bukan memposisikan diri sebagai subyek yang menulis. Kata “menulis” di sini mengandung pengertian jauh daripada sekadar kerja-kerja dokumentasi dan penelitian, namun juga inisiatif untuk menemukan sesuatu, memberi batasan pengertian, dan kemudian berhilir pada asupan pertimbangan bagi kekuasaan politik. Menulis lantas bukan hanya soal menemukan (to discover) tapi juga mencipta (to invent). Suka tidak suka, inilah Jawa yang sekarang. Jawa yang dibentuk oleh suatu hasrat kolonial. Karya babon semacam History of Java (Raffles, 1817) hingga katakanlah Religion of Java (Geertz, 1960) lebih banyak memberi bentuk pada apa yang hingga hari ini bisa disebut dengan Jawa.
Kedua, ilusi tentang orisinalitas membuat orang Jawa secara tak sadar menganggap bahwa artefak-artefak budaya yang terangkut dari masa lalu adalah “warisan asli”. Di saat yang sama, apa yang datang belakangan dikira sebagai “bukan Jawa”. Nalar tentang “yang asli” ini bekerja pada skema “pusat-pinggir” atau “atas-bawah” yang dalam istilah sosiologis disebut feodalisme.
Ketiga, pemahaman sejarah terlalu berada pada orientasi “masa lalu”. Sejarah menjadi balsem pengawet agar masa lalu tak lekas membusuk. Pramoedya menyadari hal ini sehingga ia tak mau menulis sejarah dengan niatan “mengelap-elap” masa lalu. Kisah yang dituturkan Baso juga laik disimak. Mahasiswa Indonesia yang belajar sejarah di Leiden baru boleh mengkaji sejarah kontemporer jika peristiwanya paling tidak sudah 40 tahun berlalu (Islam Pascakolonial, 2005). Ini berarti, dengan menempatkan sejarah sebagai masa lalu, yang berlaku “hari ini” dan “esok hari” adalah soal lain. Implikasinya dalam konteks Jawa adalah ketidaksanggupan untuk bergumul dengan sejarah Jawa “hari ini” dan “esok hari”. Sejarah Jawa akhirnya harus terhenti hingga era modern.
Kombinasi dari tiga gejala itulah yang dalam hemat saya membuat ungkapan “wong jawa ilang jawane” diamini dalam suasana yang penuh kemurungan.
Jawa Setelah Tafsir Kebudayaan ingin lepas dari bayang-bayang interpretasi kolonial. Buku ini lahir dari kegelisahan sejumlah mahasiswa yang merasa tidak beres dengan identitas Jawa dalam keseharian mereka. Sepilihan tema yang dipilih adalah eksotisme jawa, kuasa kerajaan, tembang Jawa, wayang suket, dan dolanan anak. Dengan semangat pendekatan poskolonial, yang hendak digairahkan di sini adalah keberanian untuk menafsir dan bukan ambisi mengerangkai “Jawa” secara utuh. Karenanya, nada lantang yang dibunyikan adalah penelusuran jejak-jejak asing (kolonial) dalam kebudayaan Jawa.
Narasi tentang “eksotisme Jawa” hadir untuk membuka selubung relasi antara Barat dan Timur. Secara leksikal, kata “eksotis” dalam bahasa Latin, Yunani, Inggris, hingga Prancis dipakai untuk menunjuk sesuatu yang jarang atau tidak bisa didapatkan di negeri sendiri. Bagi Barat, eksotis berarti segala yang asing, selain apa yang mereka punya. Dunia Timur lalu menjadi perwujudan bagi keinginan mereka untuk menikmati pesona keasingan itu. Di sinilah Timur menjadi diri-lain (alter-ego) dari Barat.
Eksotisme Jawa menemukan momentum ketika pada abad ke-18 kegemaran melancong orang Barat ke dunia Timur makin dimanjakan publikasi paket perjalanan, lukisan-lukisan alam, dan barang-barang antik yang diangkut ke Barat. Lambat laun, orang Timur malah menerima mentah-mentah nalar eksotisme ini. Jika sempat, coba anda periksa bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan eksotisme. Maka, kita pun menyaksikan bahwa dengan mengamini eksotisme, orang Jawa justru menjadi terasing di rumah sendiri. Yogyakarta atau Bali adalah contoh bagus untuk menunjukkan bagaimana eksotisme menggantikan pandangan kebudayaan kita terhadap tradisi. Dan itu terumuskan dalam frasa: bisnis pariwisata!
Pada bidikan kuasa kerajaan, buku ini membincang “yang lain” dari Jawa, seperti ingin mengatakan bahwa Jawa nan tentram-kerta raharja adalah fatamorgana. Tesis utamanya: kekuasaan Jawa didirikan dengan lebih dulu melakukan glorifikasi atas kekerasan. Proses gulung-tikar dari satu kerajaan ke kerajaan berikutnya mendapatkan sumber energinya dari konflik dan pertikaian. Tindak makar adalah modus yang lumrah dilakukan. Dari sana pula, di Jawa sesungguhnya terjadi kolonialisme ganda: oleh orang Barat dan penguasa pribumi.
Ketika kriterium-kriterium “pusat” dalam hal ini keraton digugat, subaltern bisa mengemuka. Inilah yang kini tengah terjadi dengan nasib tembang Jawa. Satu hal yang mesti dimengerti, sebagai salah satu ekspresi kebudayaan, tembang adalah wahana yang menyimpan tanda-tanda zaman. Pola kebahasaan dan kecenderungan masyarakat tercermin di sana. Kita mendapati kenyataan bahwa gending Jawa yang syahdu dengan lirik yang adiluhung, kini didesak musik campursari yang punya pakem sendiri. Campursari di satu sisi boleh dilihat sebagai perlawanan terhadap kemapanan “budaya tinggi”. Namun, watak populer membuatnya takluk pada kuasa kapital. Tegangan-tegangan semacam inilah yang coba dirinci dalam buku ini.
Pada campursari, kita menemukan momen perlawanan dan penyuaraan subaltern. Hal ini pula yang terjadi dalam fenomena wayang suket. Pakem wayang suket, terutama yang dipopulerkan Ki Slamet Gundono, menyimpang dari pakem wayang purwa. Di sana ada bentuk lain dari pentas teater global yang mencampuradukkan kisah-kisah Mahabharata, misalnya, dengan kegenitan Madonna. Identitas lokal-global tak lagi penting. Dan lagi-lagi, seperti campursari, wayang suket pun diincar oleh gerak kapital. Benar tidaknya, tinggal menunggu waktu.
Bagaimana dengan dolanan anak? Bagi sebagian orang ia akan dilihat dalam ruang-romantisme sebab yang kini mewabah adalah PlayStation atau game online. Buku ini mendiskusikan dolanan anak dengan cara yang lain. Dengan berpijak pada asumsi bahwa manusia adalah homo ludens, makhluk yang gemar bermain, diskusi dilanjutkan pada kemustahilan untuk melacak orisinalitas dolanan seperti benthik, cublak-cublak suweng, angklek, jetungan, dan egrang. Semakin orisinalitas dicari, semakin upaya itu sia-sia, lantaran di sana-sini selalu saja mimikri.
Dolanan anak yang acap dianggap sebagai kearifan lokal ternyata terbentuk juga melalui hibridasi budaya. Ada Arab, Gujarat, hingga India. Satu yang menarik pada bagian ini adalah tafsir tentang dhakon (dari dhaku dan -an, artinya pendakuan). Moral permainan ini mengajarkan perangai menumpuk laba bagi kepemilikan pribadi. Logika saving adalah prinsip dasar permainan ini. Apakah dengan demikian spirit kapitalisme juga akan dikatakan sebagai kearifan lokal?
Diskusi dalam buku ini lalu ditutup dengan sajian fotografis. Merekam detik-detik peristiwa pisowanan agung di Yogyakarta. Dengan esai dan caption yang menyertai foto demi foto, pisowanan agung yang dipotret lewat angle buku ini menjadi satu dari sekian buih tanda bahwa kebudayaan Jawa sesungguhnya tidak kebal (imun) dari arus gelombang zaman. Lihatlah poto Sultan yang berkemeja batik, celana pantalon, dan kaus kaki, hikmat dalam posisi duduk bersila. Para petinggi di kanan kirinya juga berpenampilan sama, beberapa bahkan berdasi. Di bagian lain, abdi dalem masih setia dengan surjan dan blangkonnya. Adakah penjelasan yang memadai untuk mengatakan bahwa pisowanan agung itu orisinal Jawa?
Sampai di sini, kita mungkin bertanya. Dengan berletih-letih mempertanyakan Jawa dan menghadirkan yang liyan darinya, apa yang hendak ditawarkan? Buku ini tidak menjawabnya. Hanya berbagi. Berbagi kegusaran.

  • Ahmad Musthofa Haroen, Divisi Riset BPPM BALAIRUNG UGM Yogyakarta

  • sumber : tempo online, 26 juli 2009



    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar