Kamis, 02 September 2010

Upacara Jamasan Pusaka Mangkunegaran Di Selogiri

Di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, ada suatu tradisi yang berupa upacara jamasan atau siraman pusaka Mangkunegaran. Dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran tersebut yang dijamas atau dimandikan adalah dua buah keris dan sebuah tombak peninggalan Raden Mas Said atau Mangkunegara I yang ditempatkan di Kecamatan Selogiri. Keris-keris tersebut bernama Kyai Koriwelang dan Kyai Jaladara, sedangkan tombaknya diberi nama Kyai Totok.


Kisah dibalik keberadaan benda-benda pusaka tersebut di Selogiri, berawal ketika Raden Mas Said berusaha mempertahankan daerahnya dari penjajah Belanda yang mulai masuk ke daerah sekitar Gunung Wijil. Dalam peperangan mempertahankan daerahnya itu, Raden Mas Said yang menggunakan senjata-senjata pusaka tersebut dan dibantu oleh rakyat Selogiri berhasil mengusir pasukan Belanda.

Setelah berhasil menghalau pasukan Belanda, Raden Mas Said kembali lagi ke Mangkunegaran. Keris dan tombak pusakanya pun turut pula dibawa pulang. Baru pada tahun 1935, saat Mangkunegara VII berkuasa, keris dan tombak pusaka Mangkunegara I tersebut diserahkan kepada masyarakat dan kerabatnya yang berada di Kecamatan Selogiri, sebagai ungkapan terima kasih atas jasa-jasa yang telah diberikan oleh masyarakat dan kaum kerabatnya yang ada di Selogiri. Sebagai catatan, waktu mengadakan perlawanan di Gunung Wijil, Raden Mas Said sempat mengawini gadis setempat yang bernama Rara Rubiah, salah seorang puteri dari Kasan Kamani. Setelah menjadi isteri Raden Mas Said, Rara Rubiah mengganti namanya menjadi Raden Ayu Patah Aji. Jadi, kaum kerabat di sini adalah orang-orang yang berasal dari keturunan maupun kerabat Raden Ayu Patah Aji.

Setelah menerima ketiga pusaka tadi, masyarakat Selogiri kemudian membuat sebuah bangunan berbentuk tugu berukuran 7×7 meter dan tinggi 6 meter. Pada bagian puncak tugu dibuat semacam kotak yang cukup untuk menyimpan ketiga pusaka itu. Dan, untuk menutupnya dibuatkan semacam lempengan yang terbuat dari batu1. Selain itu, setiap satu tahun sekali mereka juga mengadakan upacara jamasan atau pemandian bagi pusaka-pusaka yang dianggap keramat tersebut.

Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara jamasan pusaka Mangkunegaran adalah untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan dan ketenteraman. Bagi sebagian masyarakat Selogiri, benda-benda pusaka tersebut dianggap mempunyai kekuatan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan. Apabila tidak dirawat, mereka percaya “isi” yang ada di dalam benda-benda keramat tersebut akan pudar atau malah hilang sama sekali dan hanya berfungsi sebagai senjata biasa.

Selain itu, fungsi lain dari jamasan adalah agar senjata-senjata pusaka tersebut tidak lekas rapuh dan dapat bertahan lama. Pusaka yang sudah cukup tua apabila tidak dirawat dengan semestinya, maka kemungkian besar akan menjadi berkarat dan akhirnya rusak. Untuk itu, perlu dilakukan perawatan secara berkala agar apabila terdapat kerusakan dapat diketahui secara dini.

Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara

Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara jamasan pusaka juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap pengambilan pusaka yang disimpan di puncak tugu; (2) tahap tirakatan; (3) tahap arak-arakan; dan (4) tahap pemandian atau jamasan pusaka. Sebagai catatan, dahulu penyelenggaraan upacara jamasan pusaka dilakukan setiap satu tahun sekali pada hari Jumat pertama di bulan Suro. Namun saat ini, setelah dikemas untuk kepentingan kepariwisataan, upacara jamasan dilakukan pada hari libur dengan alasan untuk menarik wisatawan baik asing maupun domestik.

Tempat pelaksanaan upacara jamasan pusaka bergantung dari tahapan-tahapan yang harus dilalui. Untuk prosesi pengambilan senjata pusaka Mangkunegara I dilakukan di sebuah tugu yang terletak di sebelah barat kantor Kecamatan Selogiri. Untuk prosesi tirakatan diadakan di pendopo Kecamatan Selogiri. Untuk prosesi arak-arakan atau kirab diawali dari pendopo Kecamatan Selogiri, kemudian ke kantor Kabupaten Wonogiri dan dilanjutkan lagi ke Kodim Wonogiri. Sedangkan, untuk prosesi pencucian atau jamasan pusaka Mangkunegara I dilakukan di Waduk Gadjah Mungkur. Sebagai catatan, dahulu tempat pelaksanaan jamasan dilakukan di pendopo Kecamatan Selogiri. Namun, pada saat bupati Wonogori dijabat oleh Soemarsono, upacara ini dikemas menjadi suatu aset atau agenda pariwisata yang pelaksanaannya dipindahkan ke Waduk Gadjah Mungkur. Tujuannya adalah untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan pariwisata.

Pemimpin upacara juga bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran. Pada tahap pengambilan pusaka, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah salah seorang yang dituakan dari kerabat Mangkunegaran. Kemudian, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat tirakatan dan kirab menuju Kabupaten dan Kodim adalah Camat Selogiri. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara jamasan di Waduk Gadjah Mungkur adalah salah seorang abdi dalem Mangkunegaran yang sudah berpengalaman dalam melaksanakan upacara jamasan pusaka.

Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) beberapa orang kerabat Mangkunegara yang datang langsung dari Surakarta maupun yang bertempat tinggal di Selogiri; (2) para aparat Kecamatan Selogiri maupun Kabupaten Wonogiri; (3) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Wonogiri; dan (4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.

Perlengkapan Upacara
 
Peralatan dan perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam upacara jamasan pusaka Mangkunegaran adalah: (1) jenang abang; (2) jenang putih; (3) jenang baro-baro; (4) kembang setaman yang terdiri dari mawar, kenanga dan kantil; (5) kemenyan; (6) nasi uduk; (7) ingkung ayam; (8) nasi golong; (9) gecok pecel itik; (10) pisang; (11) nasi putih; (12) sirih; (13) rempeyek; (14) tempe goreng yang dibuat kecil-kecil; dan (15) haban/warangan (bahan untuk membersihkan pusaka)

Jalannya Upacara

Upacara jamasan pusaka diawali sekitar pukul 16.00 WIB dengan mengadakan prosesi pengambilan pusaka yang ditempatkan di puncak sebuah tugu yang terletak di sebelah barat kantor Kecamatan Selogiri. Prosesi pengambilan benda pusaka ini hanya dilakukan oleh beberapa orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan Mangkunegara. Sebelum mengambil keris dan tombak pusaka, di ambang pintu masuk tugu terlebih dahulu diadakan pembakaran kemenyan dan peletakan sesajen yang berupa: gecok pecel itik, jenang putih, jenang abang, jenang boro-boro, pisang, nasi putih, suruh, rempeyek, tinto, dan tempe goreng berbentuk kecil-kecil.

Selesai membakar kemenyan dan menaruh sesajen, empat atau lima kerabat Mangkunegara mulai menaiki tangga besi yang dipersiapkan khusus oleh pemerintah Kecamatan Selogiri, mengambil pusaka-pusaka tersebut di puncak tugu. Sewaktu prosesi pengambilan pusaka ini sedang berlangsung, masyarakat Selogiri yang bukan kerabat Mangkunegaran hanya melihat dan menanti dari bawah sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan.

Setelah pusaka milik Mangkunegara I berhasil diturunkan, mereka membawanya menuju pendopo Kecamatan Selogiri. Pusaka-pusaka tersebut kemudian ditaruh di sebuah tempat khusus yang terletak di bagian tenggara pendopo. Setelah itu, mereka beramah-tamah sejenak dengan camat dan muspika Kecamatan Selogiri. Selesai beramah-tamah, para kerabat Mangkunegara itu pulang lagi ke Surakarta.

Sekitar pukul 20.00 WIB para kerabat Mangkunegara itu kembali lagi ke Selogiri untuk mengikuti acara tirakatan di pendopo Kecamatan Selogiri. Selain para kerabat Mangkunegara, yang hadir dalam acara tirakatan itu diantaranya adalah para pamong desa, tokoh masyarakat, tamu undangan dari beberapa instansi di Kabupaten Wonogiri, dan warga masyarakat Selogiri.

Acara tirakatan ini dibuka dengan sambutan dari Camat Selogiri yang berisi tentang maksud dan tujuan diadakannya upacara jamasan pusaka Mangkunegara. Selesai acara sambutan dari Pak Camat, para tamu undangan yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh panitia mulai mengalunkan tembang-tembang macapat. Pelantunan tembang-tembang macapat tersebut berlangsung sampai acara tirakatan selesai sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah selesai tirakatan, sebagian tamu undangan akan pulang ke rumahnya masing-masing dan sebagian lagi tetap berada di pendopo sambil menjaga senjata pusaka.

[ sumber : http://uun-halimah.blogspot.com ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar