Selasa, 16 Agustus 2011

Kabupaten Martanimpoena di Praja Mangkunegaran tahun 1942 – 1947

Disusun Oleh:
Hari Nur Prasinta
C 0505030



BAB IV
PENGARUH KONDISI SOSIAL-POLITIK TERHADAP KABUPATEN
MARTANIMPOENA TAHUN 1945 – 1947
A. Masa Kemerdekaan Tahun 1945
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang meyerah tanpa syarat, dengan ini
menghadapkan para pemimpin Indonesia pada masalah yang berat, karena pihak Sekutu
tidak menaklukkan kembali Indonesia maka terjadi kekosongan politik. Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang sudah dibentuk telah melakukan sidang untuk
mempersiapkan kemerdekaan. Tanggal 17 Agustus 1945 pagi Sukarno membacakan
pernyataan kemerdekaan di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya
serta dikibarkannya Bendera Merah Putih yang diiringi Lagu Indonesia Raya.1
Republik Indonesia telah lahir, maka hal itu mendorong para pemimpin baik
generasi tua maupun muda untuk mengambil prakarsa, sehingga pihak Sekutu akan
menghadapi suatu perang kemerdekaan revolusioner.
1 Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga
Kemerdekaan, Semarang : IKIP Semarang Press, halaman 209-214.
79
Maklumat Sri Paduka Mangkunegara VIII No.1 tahun 1946 yang disampaikan
kepada rakyat daerah Mangkunegaran bahwa dalam kondisi kemerdekaan saat ini rakyat
dilarang melakukan tindakan sewenang-wenang. Pemerintah akan tetap melakukan
persiapan dan penyempurnaan guna mempertahankan Negara.2
Kondisi kemerdekaan bukanlah kondisi yang baik bagi para pegawai di berbagai
Kabupaten di Praja Mangkunegaran. Kabupaten Martanimpoena tidak mengalami
kondisi yang lebih baik, para pegawai tidak dapat bekerja seperti aktivitas biasa, mereka
harus menunggu perintah dari pemerintah pusat Mangkunegaran yaitu Kabupaten
Martapraja atau Bupati Anom Martanimpoena. Perekonomian Mangkunegaran yang
diperkirakan akan membaik justru sebaliknya. Perusahaan-perusahaan dan perkebunan
milik Praja Mangkunegaran diambilalih oleh Komite Nasional Daerah, sehingga
perkiraan pulihnya ekonomi Mangkunegaran tidak membaik karena pengembalian asetaset
milik Kerajaan dari pemerintah Jepang tidak berhasil. Hal itu berakibat pada
Kabupaten Martanimpoena, para pegawai tidak bisa menarik pajak dari hasil bumi
maupun perkebunan yang disebabkan oleh pendapatan dan pemasukan diambil langsung
oleh pemerintah. Pegawai pun hanya berangkat ke kantor namun mereka tidak bekerja.
Kalangan Pangreh Praja juga menunjukkan kegiatan besar dalam pembaharuan cara
hidup masyarakatnya. Para pegawai Pangreh Praja berusaha menuntut semangat baru
dalam pekerjaan mereka. Pemerintah sendiri pula telah diadakan pelatihan istimewa bagi
pegawai Pangreh Praja. Pelatihan itu meliputi para lurah-lurah desa.
Pangreh Praja merupakan orang yang paling dekat dengan rakyat, sehingga mereka
mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar terhadap rakyat. Mereka juga
2 Rapat di Karesidenan Surakarta tentang masalah pajak tahun 1946, Arsip No.4499. Koleksi
Perpustakaan Reksa Pustaka.
80
mendapatkan kepercayaan sepenuhnya dari rakyat. Tindakan para Bupati yang berusaha
memperbaiki susunan masyarakat yang berpengaruh terhadap tatanan Negara.3 Pelatihan
bagi para pangreh praja dilakukan oleh lurah terhadap para pegawai-pegawainya.
Pelatihan sistem manajemen pegawai, sistem administrasi serta pelatihan dalam
pemungutan dan pengelolaan pajak yang baik.
Bupati Patih Mangkunegaran juga berusaha melakukan pembaharuan dalam
organisasi pemerintahan, polisi dan dinas-dinas lain dalam Praja Mangkunegaran. Bupati
Patih juga mengemukakan persoalan mengenai perusahaan-perusahaan / pabrik-pabrik
milik Praja Mangkunegaran, mulai menjalankan kembali perusahaan di bawah para
penguasa baru supaya Mangkunegaran dalam masa yang akan datang tetap dapat
berdikari. Tujuan itu semua untuk memakmurkan praja dan rakyat Mangkunegaran yang
ditentukan oleh tindakan-tindakan dari para pejabat tertinggi di Mangkunegaran setelah
Kanjeng Gusti Mangkunegara. Pegawai Mangkunegaran telah kembali bekerja dengan
baik, di antara mereka tidak ada keresahan karena gajinya telah dibayar pada waktunya. 4
B. Masa Revolusi di Surakarta Tahun 1946-1947
1. Penghapusan Sistem Swapraja di Surakarta
Di awal Revolusi tahun 1946, tidak ada kesepakatan bersama tentang kemerdekaan
sebagai tujuan pertama. Peristiwa revolusi telah dilancarkan, hal itu juga mendapat
reaksi di seluruh pelosok Nusantara, namun tidak segera diketahui di Jakarta. Atas
3 Kan-Po: berita pemerintahan tahun 1 (1942-1945), Jakarta: Gunseikanbu 7 jilid, halaman 268.
4 Arsip B 704, kejadian-kejadian di Mangkunegaran menjelang kemerdekaan. Surakarta: Reksa
Pustaka.
81
perintah Panglima militer Jepang di Jawa, Mayeda beserta seluruh staffnya ditangkap,
dan pengumuman kemerdekaan yang dikirimkan lewat pos ke seluruh pelosok kota
dirobek Kempetai. Pada hari berikutnya, Jepang mengumumkan pembubaran Peta, Hei
Ho dan semua organisasi Indonesia bersenjata.5
Revolusi sosial yang terjadi malah menguntungkan orang-orang Indonesia termasuk
golongan bangsawan asli kuno yang telah menduduki posisi-posisi yang relatif tinggi di
bawah pemerintahan Belanda. Penguasaan kembali oleh bangsa Belanda tahun 1946
mengakibatkan menurunnya pangkat para pegawai. Kemerdekaan merupakan suatu
harapan yang lebih baik bagi para pegawai pangreh praja untuk mendapatkan posisi yang
lebih tinggi. Pencapaian posisi mereka yang baru belumlah memuaskan, tetapi rasa
percaya diri yang dipertinggi oleh kemampuan mereka menangani pekerjaan-pekerjaan
itu hanyalah menambah nafsu untuk mencapai posisi yang lebih tinggi.
Peristiwa revolusi sosial di Surakarta merupakan keinginan partai-partai dan
pemuka-pemuka pergerakan agar Swapraja dihapuskan. Penghapusan sistem swapraja
disebabkan oleh adanya keinginan dalam mengatur wilayah masing-masing sistem patron
yang selalu melekat bahwa daerah swapraja harus selalu patuh dan tunduk terhadap
kerajaan. Daerah swapraja hanya dijadikan daerah eksploitasi untuk kepentingan
kerajaan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Surakarta berada dalam keadaan yang
menyedihkan. Badan-badan ekonomi bentukan Jepang yang dikelola keraton masih
mengatur dan mengorganisasikan penyerahan sumber-sumber ekonomi keraton.
Akitivitas keraton tersebut menjadi berkurang seiring dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden No.16/SD/1946 tanggal 15 Juli 1946 yang berisi pembekuan status swapraja
5 Kahin,Mc., 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University
Press. Halaman 173.
82
keraton dan menetapkan daerah Surakarta sebagai bagian dari Jawa Tengah.
Perekonomian telah dibekukan, namun ada beberapa kegiatan ekonomi yang masih
dikelola oleh keraton, seperti pembagian dan pengumpulan pakaian, penarikan pajak,
penetapan kebutuhan pokok.
Kondisi yang memprihatinkan itu memaksa para pegawai dan masyarakat Surakarta
lainnya melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup. Karena gaji yang diberikan untuk
pegawai rendahan per bulan hanya sekitar 70 sampai 160 rupiah, sedangkan kelas
menengah sebesar 92 sampai 380 rupiah dan pegawai tingkat tinggi sebesar 175 sampai
700 rupiah. Para pegawai di lingkungan Mangkunegaran terpaksa meminjam sejumlah
uang yang pembayarannya dengan memotong gaji tiap bulannya dalam jangka waktu
tertentu. Pinjaman yang besar seringkali mengakibatkan para pegawai tidak menerima
gaji karena sudah habis dipotong untuk melunasi hutangnya. 6
Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi dimulai dari
kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum
perang, yang mengikuti para pemimpin yang revolusioner di Jakarta.
Swapraja di Surakarta tidak beruntung, karena Mangkunegoro merupakan raja yang
baru dan tidak berpengalaman, tidak mempunyai kewibawaan serta kurangnya
kemampuan untuk membela para pembantunya (bupati, patih) yang konservatif.7
Penghapusan swapraja pada bulan Maret 1946 disebabkan oleh beberapa factor
yakni terbatasnya kekuatan pemerintah RI di Surakarta dan badan-badan perjuangan yang
6 Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Halaman 110-113.
7 Suyatno Kartodirdjo, 1982, Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, ringkasan terjemahan oleh
Muh. Husodo Pringgokusuma, Tesis.Canberra : Australiaan Nation University, halaman 2-3.
83
kuat, radikal dan beranggotakan banyak orang serta anti kekuatan-kekuatan yang ada di
Surakarta. Revolusi yang mengakibatkan hapusnya swapraja mulai merambah ke desadesa.
Beberapa desa secara spontan menggulingkan kepala desanya dalam tahun 1945-
1946 lalu penduduk desa membantu rencana yang dibuat oleh partai-partai dan organisasi
revolusioner, seperti Barisan Banteng, BTI ( Barisan Tani Indonesia) dan STII (Serikat
Tani Islam Indonesia).8
Surakarta juga merupakan sarang kriminalitas yang sulit untuk ditangani oleh
polisi.. Perdagangan candu, pemalsuan uang dan penimbunan uang receh, itu semua
merupakan suatu masalah social dan kriminalitas. Penyelundupan candu maupun
perdagangan candu di pasar-pasar gelap dilakukan oleh badan-badan perjuangan yang
menunjukkan pentingnya candu sebagai dana perjuangan.sedangkan uang palsu yang
beredar di Surakarta selama revolusi berasal dari percetakan yang terdapat di Hongkong.
2. Kedudukan Kabupaten Martanimpoena setelah Penghapusan Sistem Swapraja
Revolusi sebagai alat tercapainya kemerdekaan serta mencari identitas-identitas
baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing dan juga untuk suatu tatanan
sosial yang lebih adil. Pergerakan sosial-ekonomi revolusioner yang meningkat
mempunyai kekuatan untuk mempertahankan perubahan tersebut.
Awal pembentukan daerah swapraja di Surakarta ketika tanggal 19 Agustus 1945,
Presiden RI mengeluarkan piagam yang menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII
dan Sri Mangkunegoro VIII dalam kedudukan semula sebagai raja, kini sebagai kepala
8 Ibid, halaman 4 -6.
84
pemerintahan swapraja Surakarta. Wilayah swapraja yang dikuasai oleh Kasunanan dan
Mangkunegaran sesuai dalam perjanjian Akte van Verband dengan pemerintah Belanda.9
Dibentuknya daerah swapraja yang dikepalai oleh R.P Suroso bertugas sebagai
koordinator antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Adapun untuk daerah swapraja di
Mangkunegaran yakni bahwa Sri Paduka Mangkunegoro sebagai Panitra Dalem
(pemegang kekuasaan tertinggi) kemudian membawahi Pepatih Dalem, sedangkan
pepatih dalem membawahi Pembantu Patih (Bupati Patih). Bupati Patih tersebut
membawahi daerah swapraja masing-masing yang terbagi menjadi 16 daerah swapraja.10
Keenambelas swapraja itu meliputi:
1. Bupati Pamongpraja Kota Mangkunegaran, terdiri dari Bupati, Wadono
Pamongprojo kota Mangkunegaran, Panewu Pamongprojo kota Mangkunegaran,
Panewu Colomadu, Panewu Gondangrejo, Mantri Bonorejo, Kalurahankelurahan
kota yakni: Mangkubumen, Punggawan, Timuran, Gilingan, Setabelan,
Nusukan, Manahan, Ketelan, Keprabon dan Kestalan.
2. Bupati Pamongpraja Karanganyar, terdiri dari Bupati, Wadono Pamongprojo
Karanganyar, Panewu Tasikmadu, Panewu Jenawi, Panewu Kebakkramat,
Panewu Jaten, Panewu Mojogedang, Wedono Pamongprojo Karangpandan,
Panewu Pamongprojo Karangpandan, Panewu Tawangmangu, Panewu
Ngagoyoso, Panewu Matesih, Wedono Jumapolo, Panewu Jumapolo, Panewu
Jatipuro, Panewu Jatioso, Panewu Jumantono.
9 Keputusan Presiden 19 Agustus 1945, Arsip No. P 600, Surakarta: Rekso Pustaka Mangkunegaran.
10 Arsip No. B.1691 tahun 1989, Susunan Kantor-kantor Swapraja. Surakarta: Rekso Pustaka
Mangkunegaran.
85
3. Bupati Pamongpraja Wonogiri, terdiri dari Bupati, Wadono Pamongprojo
Wonogiri, Panewu Pamongprojo Selogiri, Panewu Pamongprojo Nguntorowadi,
Panewu Pamongprojo Ngadirojo, Wadono Pamongprojo Wuryantoro, Panewu
Pamongprojo Wuryantoro, Panewu Pamongprojo Manyaran, Panewu
Pamongprojo Ngawen, Panewu Pamongprojo Pracimantoro, Wadono
Pamongprojo Jatisrono, Panewu pamongprojo Jatisrono, Panewu Pamongprojo
Sidoharjo, Panewu Pamongprojo Jatiroto, Panewu Pamongprojo Jatipurno,
Panewu Pamongprojo Girimarto, Wadono Purwantoro, Panewu Pamongprojo
Purwantoro, Panewu Pamongprojo Slogohimo, Panewu Pamongprojo
Kismantoro, Panewu Pamongprojo Bulukerto, Wadono Pamongprojo Baturetno,
Panewu Pamongprojo Baturetno, Panewu Pamongprojo Tirtomoyo, Panewu
Pamongprojo Ngawen, Panewu Pamongprojo Giritontro.
4. Kawadanan Satriyo Mangkunegaran, terdiri dari Pangeran, Wakil Wadono
Satriyo urusan Putra Sentana Dalem, Urusan Asal-Silah, Urusan Pepanci Sentana.
5. Pengageng Kabupaten Hamongpraja, terdiri dari Bupati, Wedono Hamongprojo,
Wedono Notoprojo, Kantor-Kantor: Hakinoprojo (sekretaris), Rekso Wilopo
(Arsip), Rekso Pustoko, Urusan Pegawai (Bapa), Jaksa Pradata, Undang-Undang
Pranatan, Padampraja (Penerangan), Pasareyan atau Pasanggrahan.
6. Pengageng Kabupaten Mondropuro, terdiri dari Bupati, Sekretaris, Rekso
Busono, Rekso Warasto, Langenpraja, Rekso Sunggoto, Kartipuro, Pecaosan,
Rekso Wahono, Handesroyo, Rekso Baksono dan Mandrasasono.
86
7. Pengageng Kabupaten Martoprojo, terdiri dari Bupati, Rekso Hardono, Hamong
Pandoyo, Parimpoena, Banda Pensiun, Banda Pasinaon, Nitiworo, Hamong
Hardono, Subartono.
8. Pengageng Kabupaten Nitihardono, terdiri dari Pangeran, Akuntan dan Anggaran
Belanja.
9. Pengageng Kabupaten Wonoprojo, Bupati, Sekretaris dan Urusan Daerah.
10. Pengageng Kabupaten Baraya Wiyata, terdiri dari Bupati, Wadono Guru, Urusan
Pendidikan dan Pengajaran.
11. Pengageng Kabupaten Kartiraharjo, terdiri dari Bupati, Urusan Perdagangan,
Perindustrian, Pertanian, Perikanan, Perhewanan dan Koperasi.
12. Pengageng Kabupaten Sinduprojo, terdiri dari Bupati urusan bagian perencana,
bengkel, pembangunan, pengairan dan seksi kota Karanganyar dan Wonogiri.
13. Pengageng Kabupaten Jatinirmolo terdiri dari Bupati urusan Poliklinik Kota
Karanganyar dan Wonogiri.
14. Pengageng Kabupaten Kismoprojo, terdiri dari Bupati urusan agrarian, ukur dan
kadaster.
15. Pengageng Kabupaten Yogisworo, terdiri dari Bupati urusan agama dan makam
umum Bonoloyo.
16. Kartohusaha, terdiri dari Superintendent dan pabrik-pabrik seperti Pabrik Gula
Colomadu, PG. Tasikmadu, Mojogedang dan Gadungan.
Maklumat tentang penghapusan swapraja mengakibatkan daerah swapraja milik
Mangkunegaran hanya tinggal Wonogiri saja. Bahkan untuk daerah swapraja
Karanganyar juga sudah membebaskan diri dari Praja Mangkunegaran, karena terjadi
87
berbagai konflik antara Praja Mangkunegaran dengan Keraton Kasunanan bahkan juga
dengan pemerintah daerah sendiri.
Hubungan antara pemimpin wilayah itu tidak begitu lancar dan pembentukan
daerah swapraja banyak ditentang oleh masyarakat dan berbagai golongan. Tanggal 26
April 1946 lahir mosi Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI, Partai Sosialis,
BTI, BPRI, Barisan Banteng dan PNI11:
1. Menuntut supaya daerah istimewa Surakarta dihapuskan artinya Sri Paduka di
Surakarta tidak memegang pemerintahan.
2. Supaya daerah istimewa Surakarta dijadikan sebagai residensi lainnya.
3. Supaya kedua Sri Paduka tersebut hanya mengurus keraton dan istananya masingmasing,
sebagai Raja Kasunanan dan Mangkunegaran.
Tanggal 6 Mei 1946 dikeluarkannya maklumat Menteri Dalam Negeri12:
Dalam 7 hari sesudah pengumuman maklumat ini akan dibentuk suatu panitia
yang merencanakan dan menjalankan pemilihan umum di daerah istimewa Surakarta.
Badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk sebagai hasil pemilihan umum itu
mempunyai kekuasaan yang syah untuk menyelesaikan hal keistimewaan dalam daerah
tersebut.
Untuk menyelesaikan keistimewaan dalam daerah istimewa Surakarta, maka
dicari jalan yang sesuai dengan Undang-Undang dasar, program pemerintah dan hasrat
segenap lapisan masyarakat di daerah Surakarta. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan
jalan membentuk badan perwakilan rakyat soal keistimewaan dapat diselesaikan dengan
kekuasaan yang syah, artinya kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat yang sebenarbenarnya.
Berhubung dengan mendesaknya soal tersebut, maka pemilihan umum dan
sebagainya akan dimulai dengan segera.
Tanggal 2 Mei 1946 Sri Paduka Mangkunegaran telah mengeluarkan maklumat
yang lain pendiriannya dari Sri Paduka Paku Buwono. Kota Mangkunegaran
memutuskan supaya segera diakhiri adanya tiga macam pemerintahan di Surakarta,
11 A.H Nasution, 1977, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2, Bandung: Angkasa.
Halaman 553
12 Julianto Ibrahim, 2004, op cit., halaman 554.
88
karena tidak ada keputusan yang tegas, maka terjadi kekosongan pemerintahan di daerah
Surakarta. Berdasarkan ordonansi yang menyebutkan bahwa di Jawa-Madura dibentuk
tiga provinsi, kabupaten dan beberapa kota besar otonom (gemeenten), sedangkan daerah
otonom Karesidenan (gewestelijke ressorten) berdasarkan Decentalisatie Wet 1903
dihapuskan.13
Karesidenan Surakarta yang meliputi Kasunanan Surakarta dan daerah
Mangkunegaran tidak termasuk dalam provinsi dan juga untuk Kasultanan Yogyakarta
dan Pakualaman juga hanya masuk dalam Karesidenan Yogyakarta, bukan provinsi jawa
Tengah. Kemudian pada masa pendudukan Jepang, juga dibentuk dalam daerah yang
lebih sempit lagi. Masa pemerintahan sementara, diakhiri dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No.27 (tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah) dan Undang-
Undang No. 28 (Tentang Aturan Pemerintah Syi dan Tokubetsusyi).14
Menurut Undang-Undang No.27 tahun 2602, seluruh Jawa-Madura, kecuali daerah
istimewa (kootji) Surakarta dan Jogjakarta15, dibagi atas daerah-daerah:
1. Syuu (Karesidenan), nama pejabatnya Syucokan (Residen).
2. Si (Kotapraja), nama pejabatnya Syico (Walikota).
3. Ken (Kabupaten), nama pejabatnya Kenco (Bupati)
4. Gun (Distrik/Kawedanan), nama pejabatnya Gunco (Wedana).
5. Son (Onderdistrik/kecamatan), nama pejabatnya Sonco (Camat).
6. Ku ( Kelurahan/Desa), nama pejabatnya Kuco (Kepala Desa)
13 Wiyono, 1991, Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Jawa Tengah 1945-1949, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, halaman 13
14 Ibid, halaman 13
15 G. Moejanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid I: Dari Kebangkitan Nasional sampai Linggajati.
Yogyakarta: Kanisius. Halaman 75-76.
89
Berdasarkan Ketetapan dari Undang-Undang no.1 tahun 1945 dan Komite Nasional
bahwa daerah Jawa Tengah merupaka satu provinsi di dalam Negara Kesatuan RI.
Daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran dibekukan oleh pemerintah sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No. 16/SD tahun 1946 menjadi Karesidenan Surakarta.16
Revolusi sosial di Surakarta berupa aksi kekerasan yang meresahkan masyarakat
Surakarta yang disebabkan adanya penculikan atas pembesar-pembesar keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran. Aksi penculikan dan ancaman yang ditujukan kepada
kraton menjadikan kedudukan kraton menjadi lemah. Bahkan, kelompok-kelompok di
beberapa daerah yang sebelumnya mendukung kraton menjadi kekuatan yang menolak
keberadaan kraton.
Sikap Mangkunegara VIII yang berlawanan dengan Paku Buwono XII
mengakibatkan reaksi keras dari pihak-pihak yang beroposisi terhadap kraton. Pada
tanggal 4 Mei 1946, KNI Daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran mengeluarkan mosi
yang mendesak agar pemerintah Mangkunegaran melaksanakan pemerintahan yang
berdasarkan pada kedaulatan rakyat.
Keputusan itu diperkuat dengan Surat Penetapan No.29 tahun 1946 oleh Residen
Surakarta yang memutuskan bahwa peraturan tentang pengumpulan dan pemeliharaan
hasil bumi dari tanah-retriksi dan tanah konsen. Tanah retriksi dan tanah konsen yang
ditanami dan dikuasai oleh Perusahaan (ondernemingen dan pabrik) di seluruh daerah
karesidenan Surakarta. Para pengguna tanah, penyewa tanah maupun pemilik perusahaan
16 Wiyono, 1991,op cit., halaman 16
90
harus menyerahkan hasil panen dan produksi kepada pemerintah. Semua panen hasil
bumi maupun hasil produksi adalah hak pemerintah.17
Kedudukan dari Kabupaten Martanimpoena sudah tidak ada lagi, karena semua
urusan yang berhubungan dengan hasil bumi termasuk pajak telah diambilalih oleh
pemerintah. Bahkan, dalam Kota Mangkunegaran, Kabupaten Martanimpoena hanya
tinggal nama saja. Kabupaten itu sudah tidak memiliki wewenang untuk menarik pajak.
Daerah swapraja, pajak ditarik oleh pegawai di keluarahan yang kemudian
diserahkan kepada pemerintah pusat. Para pegawai dari Kabupaten Martanimpoena
mengalami pengurangan karena tidak ada lagi pemasukan untuk menggaji para pegawai.
Akan tetapi masih ada beberapa pegawai yang bekerja meskipun hanya mendapat gaji
kecil atau jatah makan. Itu semua mereka lakukan sebagai pengabdian mereka terhadap
raja Kanjeng Gusti Mangkunegara. Mereka tidak peduli akan kedudukan, pengabdian lah
yang mereka utamakan.
3. Penyalahgunaan Kedudukan Para Pegawai Kabupaten Martanimpoena
Penghapusan daerah swapraja di wilayah Surakarta yakni Kraton Kasunanan dan
Mangkunegaran memberikan dampak yang sangat besar. Wilayah Mangkunegaran
beranggapan bahwa dengan adanya daerah swapraja tersebut sebagai sumber keuangan
atau pemasukan dana bagi kerajaan.
Penerimaan praja yang paling penting adalah dari Kantor Keuangan, maka swapraja
memiliki hak dan wewenang untuk menarik pajak. Pada dasarnya untuk praja
Mangkunegaran memiliki beberapa sumber pemasukan yang berasal dari pajak, dana
17 Berkas Penarikan Pajak Grond Belasting tahun 1945-1946, Arsip no. P 4531. Surakarta: Reksa
Pustaka Mangkunegaran.
91
milik hasil dari perkebunan dan retribusi yang dipungut dari para pengguna layanan
umum.18. Di wilayah swapraja tersebut juga terdapat perusahaan-perusahaan milik
Mangkunegaran, seperti Pabrik Gula Tasikmadu, Pabrik Gula Colomadu, Pabrik
Gondang dan Pabrik Mojogedang yang juga merupakan salah satu sumber pemasukan
pendapatan. Selain itu, Mangkunegaran juga mempunyai perkebunan-perkebunan baik itu
perkebunan tebu, kopi dan teh. Itulah yang menjadikan Mangkunegaran tetap bertahan
serta untuk menggaji para abdi dalem atau pegawai pangreh praja.19
Pajak juga merupakan sumber pendapatan bagi Praja Mangkunegaran, maka
peraturan pemungutan pajak telah ditetapkan dalam Pustaka Praja (Rijksblaad) tahun
1917 No.5 yang menyebutkan bahwa yang bertugas menerima uang pajak bumi, pajak
penghasilan dan sebagainya adalah Mantri Martanimpoena. Pegawai pejabat desa seperti
lurah desa atau lainnya dilarang untuk menerima uang pajak. Pada hari yang telah
ditetapkan sebagai pembayaran pajak Mantri Martanimpoena wajib mendatangi desa
tersebut serta menuju ke tempat lurah desa. Tujuannya untuk memungut pajak dari rakyat
mulai dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang yang didampingi oleh carik desa dan lurah
desa atau salah satu bawahannya.20 Mengetahui hal itu, para Mantri Martanimpoena
terkadang tidak mau datang ke desa-desa untuk menarik pajak dikarenakan jaraknya yang
jauh sehingga para mantra sering memerintah lurah atau carik untuk menarik pajak.
18 Metz, Th. M. 1987. Mangkunegaran: Analisis sebuah Kerajaan Jawa, Terjemahan oleh M.
Husodo Pringgokusumo. Surakarta: Reksa Pustaka, Mangkunegaran. Halaman 96-100.
19 Rouffer, G.P. 1983. “Vorstenlanden” dalam Adatrecht Bundel Vol.30 terjemahan Muh. Husodo
Pringgokusumo. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. Halaman 14-17.
20 Rijksblaad Mangkunegaran Tahun 1917 No.5 Bab 1 dan 5 “Penetapan Pajak dan Pegawai
Pemungut Pajak”. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
92
Rakyat atau wajib pajak yang telat atau menunggak dalam membayar pajak akan
diurus oleh Pepatih (Bupati Patih Martanimpoena). Sesuai dengan Rijksblaad tahun
1922 No. 1 yang menyebutkan bahwa “Pepatih akan menyelesaikan masalah kewajiban
untuk membayar pajak bagi wajib pajak”. Bupati Patih Anom yang hanya memiliki
kekuasaan dan wewenang paling tinggi dalam Kabupaten Martanimpoena. Bupati Patih
Anom dapat memerintah kepada para mantri dan dan panewu untuk memungut pajak.
Bupati Patih yang menentukan hari pembayaran pajak, surat-surat kohir pajak serta
menentukan aturan mengenai cara-cara penyetoran pajak. Selain itu Bupati Patih Anom
Martanimpoena berhak memerintahkan penghapusan pajak apabila ada sebab-sebab yang
masuk akal.21
Semenjak pendudukan Belanda sampai Jepang di Surakarta telah memiliki
pemerintahan sendiri. Belanda membentuk pemrintahan Gubernemen, sedangkan Jepang
membagi wilayah sampai ke desa-desa bahkan RT-RT. Hal itu bertujuan untuk
memudahkan pengawasan terhadap masyarakat. Wilayah selain vorstenlanden terbagi
atas Syuu, Si, Ken, Gun, Son dan Ku. Di wilayah Si, Ken, Gun, Son dan Ku masingmasing
diangkat seorang Si-tyoo, Ken-tyoo, Gun-tyoo, Son-tyoo dan Ku-tyoo. Aturan
pemerintahan yang awalnya ditetapkan untuk stadsgemeente, regenschap, district,
onderdistrict dan desa juga berlaku untuk Si, Ken, Gun, Son dan Ku.22
Penghapusan daerah swapraja juga mengalami pro dan kontra dari berbagai daerah.
Mereka setuju dengan penghapusan tersebut, karena Mangkunegaran merupakan wilayah
Negara Kesatuan Republik bukanlah wilayah yang berdiri sendiri. Sedangkan mereka
21 Rijksblaad Mangkunegaran tahun 1922 No.1. Arsip Reksa Pustaka, Mangkunegaran.
22 Osamu Sirei no. 27 tahun 2602 (1942) “Perubahan Tata Pemerintahan Daerah”. Arsip
Perpustakaan Nasional Jakarta.
93
yang menolak dikarenakan mereka ingin tetap mengabdi kepada Mangkunegaran serta
menjadi bagian dari wilayah Mangkunegaran.23
Kondisi sosial politik pada masa kemerdekaan sangat mempengaruhi kondisi
ekonomi di Praja Mangkunegaran. Pengambilalihan asset-aset perkebunan dari Praja
Mangkunegaran oleh pemerintah mengurangi sumber pendapatan dalam praja.
Diperkuat dengan Surat Ketetapan tahun 1946 no. 29 oleh Residen Surakarta
memutuskan bahwa peraturan tentang pengumpulan dan pemeliharaan hasil bumi dari
tanah retriksi dan tanah kongsen yang ditanami dan dikuasai oleh perusahaan
(onderneming atau pabrik) seluruh daerah Karesidenan Surakarta sebagai berikut:
a. Semua hasil bumi dari tanah-retriksi dan tanah kongsen itu, setelah diambil
sebagian miliknya dan diserahkan kepada pemerintah.
b. Jika tidak dengan izin pemerintah, maka pengurus perusahaan (onderneming atau
pabrik) tidak diperkenankan mempergunakan hasil bumi sesuai huruf no.a.
c. Hasil bumi yang menjadi kepunyaan pemerintah, baik itu dari hasil sawah/ tegal
harus dibawa ke tempat gudang perusahaan (onderneming atau pabrik).
d. Pemungutan dan pengangkutan hasil bumi ke tempat gudang perusahaan
(onderneming atau pabrik), termasuk penyimpanan dan pemeliharaannya menjadi
kewajiban pengurus dan para pegawai perusahaan (onderneming atau pabrik).
e. Pekerjaan tersebut ddalam huruf a diawasi oleh panitia yang terdiri dari seorang
pegawai pamongpraja yang ditetapkan oleh kepala Kantor Karesidenan Surakarta
bagian Kemakmuran sebagai ketua dan 4 orang anggota lainnya, yaitu seorang
wakil perusahaan, seorang wakil Barisan Tani Indonesia dan 2 orang dari Badan-
23 Haryanti Ismuntari. 1996. “Status, Fungsi dan Tugas Kewajiban Pepatih Dalem Praja
Mangkunegaran Setelah Terjadinya kekuasaan Swapraja tahun 1946”. Skripsi. Surakarta: UNS Press.
Halaman 46-50.
94
badan Perjuangan di daerah tersebut yang ditetapkan oleh Kepala kantor
Karesidenan Surakarta bagian Kemakmuran.
f. Hasil bumi yang menjadi kepunyaan pemerintah dalam huruf a yang waktu ini
sudah terlanjur dikuasai dan disimpan oleh desa dan Badan-Badan (Perhimpunan)
di masing-masing desa atau perusahaan harus segera diserahkan kepada
pemerintah.
Pendapatan dalam Praja Mangkunegaran menurun namun Pembantu
Martanimpoena di wilayah Kota Mangkunegaran akan menerima kenaikan gaji.24
Pembantu Martanimpoena harsu menyelesaikan masa kerja dan tugas kewajiban serta
belum pernah melakukan kesalahan akan menerima kenaikan gaji. Kenaikan gaji akan
berlaku pada bulan Maret tahun 1946, para Pembantu Martanimpoena akan menerima
gaji f.15,- ditambah f.2,- yang jumlahnya menjadi f.17,-.
Penyalahgunaan kedudukan yang dilakukan oleh para pegawai Martanimpoena
dalam memungut pajak akan mengalami pemecatan atau dipindahkan ke luar wilayah
dengan jabatan yang lebih rendah.
Seorang abdidalem priyayi juruniti pajeg di terrein-ambtenaaren Mangkunegaran
yang bernama Mas Soerasa Martapoespojo pada tahun 1942 menjadi wakil kontrolir
Martanimpoena di Kawedanan Pangrehpraja Baturetno di bawah Kabupaten
pangrehpraja Wonogiri. Abdidalem tersebut akan menerima gaji f.55,- setiap bulannya.
Mas Soerasa Martapoespaja mendapat masalah ketika mempunyai pinjaman nasional dan
menggunakan uang pajak Kota Mangkunegaran tanpa seizin dari pemerintah pusat. Mas
Soerasa tidak mampu membayar pinjaman secara lunas, maka Mas Soerasa
24 Surat Perintah Mangkunegara VII no.7 tahun 1945 “Kenaikan gaji bagi Pembantu
Martanimpoena di wilayah Kota Mangkunegaran”.
95
Martapoespaja harus menyerahkan barang-barang miliknya untuk diserahkan kepada
Kantor Martanimpoena sebagai barang sitaan serta gajinya dipotong untuk melunasi
utang dan uang pajak yang dipakai. 25
Gaji yang diterima para pegawai pajak terkadang tidak dapat mencukupi kebutuhan
hidup mereka. Pegawai pajak melakukan kecurangan yang menaikkan standart ketentuan
pajak uang harus dibayar oleh penduduk atas kemauannya tanpa ada perintah dari
Kabupaten Martanimpoena pusat di Kota Mangkunegaran.
Urusan pemerintahan juga mengalami perubahan, tahun 1946 sebagian dari
kabupaten dihapuskan atau dipersempit wilayahnya. Termasuk juga untuk Kabupaten
Martanimpoena, yang awalnya mengurusi semua pajak yang ada di wilayah
Mangkunegaran. Namun setelah penghapusan swapraja hanya mengurusi pajak dalam
istana itu sendiri.26
Dampak yang paling besar yaitu semakin menurunnya pendapatan kerajaan, karena
ada sebagian aset kerajaan yang diambilalih oleh pemerintah daerah, yaitu pemerintah
daerah Surakarta. Menurunnya pendapatan tentu saja berakibat pada menurunnya upah
atau gaji yang diterima oleh para pegawai pangrehpraja. Kabupaten Martanimpoena.
Namun dengan menurunnya pendapatan kerajaan Mangkunegaran upah atau gaji yang
diterima oleh para pegawai pangrehpraja termasuk pegawai Martanimpoena mendapat
kenaikan gaji. Praja Mangkunegaran hanya memberikan upah atau gaji kepada
pangrehpraja yang berada di pusat kerajaan. Hal itu disebabkan oleh pengambilalihan
semua kegiatan maupun sebagian aset-aset milik Mangkunegaran pada tahun 1946 terjadi
25 Serat Kekancingan Mangkunegara VII no.7 tahun 1942 “Pemindahan jabatan bagi Pembantu
Martanimpoena Mas Soerasa Poespojo”.
26 Arsip P 542, Perubahan Susunan Tugas Martanimpoena (pajak) dan Parimpoena (pasar),
Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran.
96





2 komentar:

  1. Salam,. senang bisa mendengar dan menyaksikan saudara2 disini sadar sejarah, terutama sejarah Famili. Saya arik, reporter dari Majalah HISTORIA, sedang menulis mengenai sejarah penganugrahan gelar (kekancingan) kepada tokoh diluar keluarga keraton. Baru2 ini menjadi perbincangan hangat bahwa gelar semacam itu menjadi komoditi, meski ada pula tokoh yang layak mendapatkannya. Email saya: satusejarah@gmail.co atau no hp: 0878 5456 8638. Semoga saudara2 bisa membantu mengkonstruksi "sejarah" tersebut.
    Suwun...rahayu..rehayu..rihayu.

    BalasHapus
  2. Dengan mengetahui sejarah maka kebijakan akan muncul karena tahu kemana arah dan tujuan

    BalasHapus