Selasa, 31 Agustus 2010

Tak Ada Sejarah Yang Final

Sebuah buku, Sejarah Nasional Inddonesia Jilid VI, tentang sejarah Indonesia tahun 1945 sampai 1970-an, beberapa waktu lalu dikritik, dianggap kurang objektif: terlalu menonjolkan peranan militer, kurang menampilkan sisi-sisi penting di sekitar proklamasi, termasuk ketokohan Bung Karno. 

Salah seorang dari tiga nama dari buku itu adalah sejarawan Sartono Kartodirdjo. Bertolak dari masalah buku sejarah itu Memoar ini diturunkan. Wartawan Biro TEMPO Yogyakarta, Mochamad Faried Cahyono, mewawancarai guru besar sejarah UGM yang kini 71 tahun itu, beberapa kali. Berikut ini sebagian hasilnya. TERCANTUMNYA tiga nama, Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto, pada sampul muka buku Sejarah Nasional Indonesia, bisa menimbulkan salah pengertian bahwa kami bertigalah yang menulisnya. 

Saya sendiri sebenarnya kurang menyetujui pencantuman nama itu. Kami bertiga adalah pengurus dari Panitia Penulisan Buku Sejarah Nasional yan~g dibentuk pada akhir Seminar Sejarah Nasional I di Yogya, Agustus 1970. Saya, waktu itu, ketua umum panitia tersebut, Bu Marwati ketua I, dar Pak Nugroho ketua II. Struktur organisasi penyusunan buku yang enam jilid itu dibagi menjadi enam seksi sesuai dengan banyaknya jilid yang direncanakan. Tiap seksi membawahi 4 hingga 5 oran~ anggota penulis. Ada penulis yang terus ikut sampai buku selesai ditulis. 

Ada penulis yang diganti karena sakit atau sebab yang lain. Tiap seksi menulis satu jilid. Sebagai ketua umum saya berkewajiban membuat kerangka acuan, sebuah kerangka umum untuk seluruh penulisan. Pelaksanaannya terserah pada ketua seksi masing-masin~. Kerangka itu kemudian diterbitkan oleh Gramedia, tahun 1983, berjudul Historiografi Indonesla. 
Sebagai ketua, saya juga sudah membuat kata pengantar umum untuk seluruh penulisan itu. Sayang, hanya dimuat pada ji~lid 1. Jadi, mereka yang tidak membeli seluruh jilid, tak tahu hubungan antarjilid, jika tak membaca kata pengantar yang hanya ada pada jilid I itu. Membaca kata pengantar itu penting, terutama untuk mendapatkan gambaran yang mendasari buku Sejarah Nasional Indonesia itu apa. Seharusnya, kata pengantar itu dimuat di setiap jilid. Selain itu, saya juga menyumbang tulisan untuk jilid IV, terutama mengenai Abad XIX tentang "tanam paksa" dan sebagainya. Saya juga memberi sumbangan pada jilid V mengenai perkembangan sosial ekonomi tahun 1900-1930-an. 
Yang jelas, saya tak turut menulis jilid Vl, buku yang direvisi itu. Sejauh ini tanggung jawab saya mengenai jilid VI adalah karena kedudukan saya sebagai ketua umum. Pimpinan langsung untuk semua jilid adalah ketua seksi masing-masing, dan jilid VI ketua seksinya Nugroho Notosusanto. Kembali pada soal kerangka umum itu, ternyata banyak yang tak mengindahkannya. Saya kan sudah memberi kerangka umum mengenai masalah periodisasi. Pembagian atas enam jilid saya rasa selaras dengan garis besar periodisasi. Tapi tema pokok yang saya ajukan dan ini sebenarnya teori atau tesis yang saya ajukan mengapa kami memberi nama buku sejarah Indonesia itu sebagai Sejarah Nasional Indonesia. 
Nama itu menunjukkan suatu kesatuan dan menunjukkan satu unit dari penulisan yang menjadi enam jilid itu. Yang harus ditonjolkan dari enam jilid itu adalah benang merah kesatuannya. Umpamanya, kami tidak menulis mengenai Budi Utomo lalu Serikat Islam satu per satu. Melainkan mengenai pergerakan itu secara keseluruhan, bagaimana terbentuknya suatu elite baru. Dan lewat organisasi-organisasi itu mereka menemukan identitasnya yang baru. Organisasi-organisasi itu memberikan arena politik baru tempat mereka bisa berkomunikasi, dari yang semula hanya merupakan suku-suku yang terpisah. 
Dalam Seminar Sejarah Nasional I di Yogya tahun 1957, saya sudah mengemukakan itu, bahwa yang harus kita lihat itu adalah wawasan nasio-sentris itu. Yakni bagaimana seluruh masalah nasional Indonesia itu merupakan pengalaman kolektif bangsa, melalui proses integrasi. Ini yang sesungguhnya menjadi faktor pokok, yang menjadikan kita ini satu bangsa. Dan ini yang ingin dituliskan dalam Sejarah Nasional Indonesia itu. Kalau kita baca SNI jilid I-VI, menurut selera saya masalah proses integrasi masih kurang menonjol. Jadi, tiap-tiap jilid SNI masih terasa berdiri sendiri-sendiri. Dan memang tidak mudah untuk menyusun sesuai dengan kerangka yang saya inginkan. Mengapa kita kadang-kadang menghindari satu penulisan sejarah kontemporer? Ini karena secara inheren hal-hal yang potensial menimbulkan kontroversi akan muncul.
Karena masih sering sejarah kontemporer menyangkut tokoh-tokoh atau pengikut yang masih hidup. Jarak yang masih cukup dekat menimbulkan persoabn yang agak besar. Saya, umpamanya, menulis peristiwa 100 tahun lalu mengenai pemberontakan Banten. Saya merasa cukup jauh jaraknya. Saya tak punya kepentingan apa-apa, baik pada pihak pemberontak maupun yang diberontak. Kata profesor yang menguji tesis saya itu: "Kabu nama Anda dihibngkan, orang tak akan tahu kalau penulisnya orang indonesia." Saya tak tahu apakah ini hinaan atau pujian, tapi paling sedikit komentar profesor saya itu merupakan bukti bahwa saya sudah mencoba mendekati objektivitas. Saya ingin mengatakan seobjektif mungkin. Saya tak ingin membuat evaluasi terhadap sejawat Nugroho Notosusanto yang sudah meninggal. Itu terasa kurang etis buat saya. Tapi, itu tadi, kendala yang dihadapi sejarawan kontemporer berlaku untuk siapa saja, termasuk saya, termasuk Pak Nugroho. 
Penulis sejarah kontemporer menghadapi kesulitan membuat jarak terhadap zaman, situasi, apalagi terhadap tokoh-tokohnya. Kalau toh itu ditulis, dan menjadi kontroversial, karena orang membaca tulisan mengenai sejarah kontemporer tidak sebagai pengkaji sejarah secara ilmiah. Tapi mereka membaca sebagai pengikut partai dengan aliran politik atau ideologi tertentu. Nah, kalau sejarah sudah diserahkan kepada kaum partisan, semua sudah dinilai, disusun dengan perspektif partisan itu, ya sukar dikatakan objektif. Soal Bung Karno, kenyataannya, tokoh itu dan penulisan sejarahnya, kalau dimuat dalam buku sejarah masih menimbulkan atau masih bersifat kontroversial. Ini karena masih cukup banyak orang bertindak sebagai partisan -- tidak seperti sejarawan -- dalam menghayati ilmu sejarah. Kalau seorang menghayati sejarah sebagai partisan, bagaimana bisa menghadapi bahan pelajarannya itu secara kritis dan objektif? Contoh paling kontroversial adalah surat-surat Bung Karno ke Belanda yang menjelaskan bahwa ia sudah minta ampun dan mohon dibebaskan -- surat-surat September 1933. Saya masih menyangsikan. Ini aneh. Surat-surat itu disimpan di Belanda sudah diketik. Tapi tak ada tanda tangannya. Tentu harus cukup ada penelaahan yang tuntas, menurut metode sejarah.
Mengenai perkawinan Bung Karno dengan Nyonya Hartini, waktu itu sangat menghebohkan. Kita perlu menempatkan peristiwa ini dalam konteks kepribadian Bung Kanno. Bagaimana lagi, kenyataannya memang begitu. Sebagai catatan, saya kenal baik dengan keluarga Suwondo Fogel, suami pertama Hartini. 
Saya masih ingat ketika mereka manten anyar di Salatiga, dan ketika merayakan kelahiran anak pertamanya. Kalau kita menganggap kehidupan Bung karno sebagai sejarah, di satu pihak tak mungkin mengabaikan jasa-jasa perjuangannya. Di pihak lain, juga perlu menyatakan kekurangan-kekurangannya dan kegagalan-kegagalannya. Jangan dilupakan bahwa menghayati ilmu yang juga pokok adalah kejujuran. Mengingkari kekurangan Bung Karno sesuatu yang tak jujur. Begitu juga mengingkari kelebihannya. Lalu mengenai masalah revisi. Persepsi pihak media massa mungkin perlu diluruskan. 
Bagi sejarawan, masalah menulis kembali -- saya tidak memakai kata revisi -- merupakan suatu proses yang wajar saja. Ada pepatah yang mengatakan bahwa setiap generasi wajib menulis sejarahnya sendiri. Gambarannya begini. Saya, misainya, duduk dalam panitia UNESCO dengan 25 anggota. Saya memberi pengarahan untuk menyusun Scientific History of Human Time. Kami berkumpul tahun 1980. Sampai sekarang penulisannya belum selesai. Kami mendesain kembali penulisan yang didesain tahun 1950 itu. Mengapa? Ini karena generasi tahun 1950 memiliki persepsi dan wawasan yang berbeda dengan generasi tahun 1970. Karena kondisi yang dihadapi berbeda. Jadi, setiap generasi wajib menulis sejarahnya. 
Sejarawan tak bisa lepas dari ikatan zaman dan ikatan kebudayaannya. Bagi sejarawan, wajar saja kalau ada revisi. Apalagi kaiau ada alasan lebih kuat, yakni karena menimbulkan kontroversi. Masalahnya, seperti yang saya alami dalam panitia UNESCO itu, timbul perdebatan. Yakni, ketika kami bertemu di tahun 1980, hanya berdebat mengenai apakah sejarah itu direvisi atau ditulis kembali -- dengan versi baru. Saya pikir, menurut pertimbangan yang amat logis, membuat revisi lebih repot dibandingkan membuat versi baru. Yang membuat revisi repot, karena terlalu terikat dengan teks yang ada. Usul saya, lebih baik buat saja versi baru. Ini karena revisi akan menghadapi kesulitan dalam membuat pendekatan.
Seperti kita ketahui, ada ungkapan, "Memermak jas lungsuran lebih sulit dibanding membuat jas yang baru." Saya pribadi kemudian menulis dua jilid buku mengenai sejarah nasional Indonesia. Yakni periode tahun 1500-1900 dan tahun 1900-1942 dengan judul Pengantar Sejarah Indonesia B~aru (penerbit Gramedia). 
Tahun 1981-1982, waktu saya cuti di Negeri Belanda, jilid I saya tulis dengan kerangka acuan saya sendiri. ini bisa lebih mudah saya kontrol. Saya merasa bisa mengimbangi hal yang saya rasa kurang. Saya bisa memuaskan selera saya. Saya berhenti sampai periode tahun 19~42 karena mata saya tak awas lagi. Untuk menulis buku sejarah umum seperti itu, bacaannya harus banyak. Dan itu tak bisa saya lakukan lagi kini karena kendalanya sangat besar, saya tak bisa membaca lagi secara cepat. 
Pada kata pengantar jilid I, saya juga menekankan masalah integrasi. Bagaimana dalam wilayah Indonesia ini dari abad ke abad, secara lambat laun terjadi terjadi proses integrasi. Ini tema pokoknya. Integrasi itu penting. Misalnya, mengapa perjuangan revolusi kita berhasil. itu karena adanya dua proses perjuangan yang saling memperkuat: fisik dan perjuangan diplomasi. Dua-duanya memperkuat dan masing-masing mempunyai dampak hingga akhirnya perjuangan berhasil 100%. Tesis saya masih seperti itu. Juga dalam karangan saya mengenai Linggarjati, misalnya, bahwa perjuangan tidak hanya dilakuan oleh ABRI. Waktu itu, di Salatiga, Jawa Tengah, ada 17 organisasi pemuda, ada yang punya senjata dan ada yang tidak, seperti Hizbullah, Laskar Rakyat, Bepri, Pesindo, dan Bambu Runcing. Tergabung waku itu organisasi pemuda dari yang paling "kanan" hingga paling "kiri". Kalau hal itu sekarang tak terasa dampak dan hasilnya, itu tetap penting dalam jalannya sejarah revolusi. Juga, untuk membuktikan bahwa perjuangan rakyat Indonesia adalah perjuangan yang demokratis. 
Gambaran orang tentang historiografi atau penulisan sejarah itu kadang keliru. Tak perlu buku sejarah Indonesia menyajikan semua fakta yang terjadi di Indonesia. Yang diperlukan adalah seleksi. Dan yang pokok, kriteria seleksi itu apa. Buat saya sudah jelas. Kriteria seleksinya itu derajat integrasi, yang pada suatu periode bisa dicapai bangsa Indonesia, itu cara sederhana menuliskan sejarah nasional kita. Dengan cara seleksi itu memang banyak yang tak akan tercakup, misalnya peranan Natu~na, Mentawai, atau Selayar bagaimana? Tapi penduduk di tempat-tempat yang tak termuat dalam penulisan itu tak usah kecil hati. Kita itu satu nation. Gambaran dalam sejarah itu adalah gambaran pengalaman bersama. DARI CANDI PRAMBANAN SAYA lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921. 
Selagi belum berusia setahun, saya dibawa orang tua saya ke Candi Prambanan yang terkenal dengan Rorojonggrang-nya itu. Ini karena kaul ayah saya, Tjitro Sarojo, pegawai pos di zaman Belanda. Ayah bernazar, bila panuwun-nya untuk memperoleh anak laki-laki terkabul, bayi itu akan dibawanya mengunjungi Prambanan. Berangkatlah orang tua saya dari Wonogiri ke Prambanan dengan kereta api, bersama saya si bayi merah. Mungkin ini sebab pertama yang mempengaruhi bawah sadar saya hingga saya menyukai sejarah. Orang tua saya sendiri mendambakan saya menjadi dokter. Ini tak mungkin saya laksanakan, karena saya punya penyakit takut melihat darah. Tentu tak hanya karena melihat Prambanan itu awal cinta saya pada sejarah. 
Sewaktu kelas 3 HIS -- sekolah di zaman Belanda setingkat SD -- pada bulan puasa saya berlibur selama sebulan di rumah kakak saya yang menjabat kepala sekolah desa di Borobudur. Setiap pagi selama sebulan, sendirian saya jelajahi Borobudur. Candinya, sungai, bukit dan sawah-sawah di sekitarnya. Kadang saya duduk-duduk menikmati pemandangan dari tingkat atas candi. Dari atas candi saya lihat sekeliling bangunan candi yang indah, dengan Sungai Progo dan Elo-nya. Pengetahuan sejarah saya waktu itu tentu masih minim. Saya masih kurang menyadari apa yang saya lakukan, tapi itu barangkali yang membuat saya memasuki bidang garap sejarah. Saya sudah melihat begitu banyak bangunan, Borobudur, misalnya, bermakna bagi sejarawan Indonesia dan bagi umat manusia.
Di sekitar tempat saya lahir sendiri tak banyak dijumpai peninggalan sejarah seperti di Yogya itu. Ada satu monumen di Wonogiri sebenarnya, yang cukup penting, yang terletak di tepi Bengawan Solo. Di sana ada bukit kecil yang disebut sebagai Gunung Giri, tempat yang dikeramatkan penduduk. Banyak orang berziarah di situ karena ada makam-makam. Tapi yang penting adalah sebuah batu besar di situ. Menurut cerita rakyat setempat batu itu adalah tempat Sunan Giri berhenti sejenak -- dari perjalanan jauhnya menyebarkan agama Islam -- untuk salat dan berdoa. Sampai sekarang batu itu tetap didatangi orang sambil membawa nasi dengan gudangan (sayur urap) serta ayam panggang. 
Sewaktu kecil saya pernah ikut berziarah. Saya tak tahu dan baru tahu kemudian setelah membaca salah satu majalah, nama majalahnya TBG, di museum Jakarta, bahwa di belokan di kaki Gunung Giri ditemukan prasasti juga. Prasasti itu dulunya adalah tempat penyeberangan orang dari barat -- dari Pajang -- ke Jawa Timur. Waktu duduk di HIS (1927-1934) di Wonogiri, saya berkali-kali melihat untuk bledheg (gigi haiilintar). Saya baru tahu kemudian bahwa itu adalah mikrolit, mata panah terbuat dari batu yang digunakan orang pada zaman prasejarah. Itulah peninggalan prasejarah yang saya kenal waktu kecil. Lalu, waktu kecil, saya juga sudah mendengar cerita perjuangan Pangeran Sambernyowo (Mangkunegoro I). 
Di lingkungan keluarga kami ada kenangan khusus tentang Pangeran Sambernyowo berupa pusaka, jenisnya tombak, namanya Kiyai Bruwang. Ceritanya, salah seorang nenek moyang kami pernah menyelamatkan Pangeran Sambernyowo waktu dikejar Kompeni. Pangeran Sambernyowo diseberangkannya di Bengawan Solo dengan selamat. Sebagai penghargaan, tombak Kiyai Bruwang dihadiahkan kepadanya. Kini Kiyai Bruwang ada pada Pak Sujarwo (bekas menteri kehutanan). Kesejarahan itu mungkin meresap pada saya juga karena berulang kali saya ke makam nenek-moyang. Leluhur saya dari garis laki-laki pernah ada yang menjadi punggawa Keraton Kartasura (Amangkurat IV). 
Menurut cerita ibu saya, kakek saya itu menjabat sebagai ronggo. Suatu hari kakek cekcok dengan seorang pengawas perkebunan Belanda (orang Belanda). Lalu, entah bagaimana terjadinya, Belanda itu ditemukan terbunuh. Otomatis, kakek saya dicari polisi. Untuk menghindari perkara dengan polisi Belanda, ia melarikan diri ke Jawa Timur. Ibu saya, dari garis nenek, turun-temurun adalah putra dari petinggi di Wonogiri. Namanya Mangunprajoko. 
Keluarga dari pihak ibu merupakan cikal bakal, orang pertama yang membuka daerah, dan tinggal serta memimpin di Wonogiri. Karena itu, waktu nenek saya meninggal, yang mengantar ke kuburan ya mbludag, banyak sekali. Ketika sudah duduk di MULO, setingkat SMP, di Solo, saya senang ketika dalam ujian akhir saya mendapat angka tertinggi untuk sejarah: sepuluh. Saya makin tertarik pada sejarah. Saya masih ingat buku pertama yang saya beli, judulnya Vander Landsche Geschiedenis (Sejarah Tanah Air) terbitan J.B. Wolters di Batavia. Saya pesan khusus, dalam uang gulden yang pada waktu itu nilainya tinggi, seringgit (2,5 gulden). Saya tak ingat nama pengarang buku sejarah itu. 
Saya lulus dari sekolah guru di Xaverius di Muntilan, Jawa Tengah, tahun 1941, setelah belajar lima tahun. Setelah lulus saya menjadi guru tiga bulan disekolah Schakel di Muntilan juga. Murid-murid sekolah ini anak-anak yang sudah lulus sekolah ongko loro. Sekolah ongko loro itu jalur sekolahnya anak pribumi. Schakel itu yang menghubungkan ke jalur sekolah Belanda. Baru setelah lulus dari Schakel, bisa masuk MULO, bertemu dengan mereka yang dari HIS. 
Sesudah tiga bulan saya lalu di pindah ke Salatiga, ke sekolah HIS swasta yang sudah "disamakan." Gaji saya waktu itu 40 gulden, karena belum penuh. Kalau sudah penuh, 75 gulden. Untuk kos, saya membayar 10 gulden. Itu termasuk mahal karena saya guru. Kalau buat pelajar lebih murah, 6 gulden. Tak lama kemudian pecah perang. Saya datang di Salatiga November 1941,8 Desember 1941 Hawaii diserang. Suasana sudah mulai tidak nommal. Anak-anak sudah harus dibawa ketempat bersembunyi kalau ada tanda bahaya. Tanggal 15 Februari Singapura jatuh ke tangan Jepang, dan 1 Maret Jepang masuk di Jawa. Suasana perang, lampu-lampu di jalan dikerudungi supaya tak begitu terang. Teman-teman saya menjadi sukarelawan menjaga kota. Saya sendiri tak bisa ikut karena mata tak terlalu awas dan fisik tak terlalu kuat. 
Akhirnya Jepang datang, dan sampai juga ke Salatiga. Berderet-deret tentara diangkut dengan truk. Tak terdengar tembak-menembak dengan Belanda. Barang-barang kebutuhan sudah mulai sulit. Nasi sudah mulai dicampur dengan jagung. Sebelumnya, dengan 10 gulden orang sudah bisa makan dengan baik selama sebulan. Setelah Jepang datang, dengan 10 rupiah hidup sudah agak sulit. Saya waktu itu indekos pada seorang pensiunan sersan KNIL. Pensiunan sersan KNIL gajinya dua kali lipat gaji saya. Ia hidup cukup makmur, makan baik, rumah besar. Saya mengalami kekecewaan pertama dengan masuknya Jepang karena bahasa Belanda dilarang. Bahasa Belanda langsung diganti dengan bahasa Melayu atau Indonesia. Guru-guru kelas ongko loro hanya tahu sedikit bahasa Belanda.
Dengan berubahnya zaman, mereka setengahnya menertawakan kami yang guru berbahasa Belanda ini. Di antaranya ada yang kalau ketemu saya memberi salam dalam bahasa Jepang sambil mengejek: "Komban wa," (selamat malam) dan "konnichi wa" (selamat siang), dan lain-lain. Saya hanya diam saja. Pada zaman Jepang, lulusan sekolah Belanda dianggap rendah. Teman-teman di bawah saya terus ditarik ke Jakarta, mengajar di Si Hang Dako (Sekolah Guru) di Jatinegara, kebanyakan menjadi guru olah raga. Pad zaman Jepang, kedudukan olah raga mulai dipentingkan. Teman-teman guru dan pegawai banyak yang kursus bahasa Jepang. Ada guru negeri ditarik ke Jakarta.
Saya dari sekolah swasta, tak pemah mendapat giliran. Juga, saya malas untuk mulai dari awal~. Fisik saya juga tak terlalu kuat untuk masuk ke berbagai barisan. Waktu teman-teman guru banyak yang masuk PETA, saya ditawari ditarik ke jawatan lain. Waktu ayah saya meninggal, kalau mau, bisa saja saya bekerja di Postel di Solo. Tapi saya tak tertarik, karena saya masih senang jadi guru. Saya juga pernah mendapat kesempatan di kepolisian. Saya juga tak tertarik. 
Pada zaman Jepang itu, saya berpikir bahwa bahasa adalah sesuatu yang berguna untuk memahami kebudayaan lain. Karena tak ada kegiatan lain akhirnya saya mendalami bahasa Jepang dengan belajar sendiri. Waktu itu saya kenal dengan salah seorang guru, namanya lupa, orang Cina. Ia jebolan THS (kini Institut Teknologi Bandung). Ia mengajar di SD Cina. Kami sering omong-omong, dan sepakat untuk menempuh ujian bahasa Jepang bersama. Kami sama-sama tak pemah ikut kursus. Nasihatnya pada saya, "Kalau Pak Sartono ingin lulus ujian, hafalkan saja sebanyak-banyaknya huruf Kanji." Saya lalu menghafalkan banyak huruf Kanji. Aneh, dari semua yang ikut ujian, hanya kami berdua yang lulus. 
Akhimya, saya yan~g tak pernah ikut kursus bahasa Jepang malahan diserahi tugas untuk mengelola kursus resmi bahasa Jepang di Salatiga. Banyak ekonomi dalam sejarah dibangkitkan oleh kuliahnya. Saya menikmati sebagian besar dari kuliah Profesor Burger, sebab beliau mempersiapkannya baik-baik. Kuliah para profesor itu dalam bahasa Belanda. Itu lebih menguntungkan saya dibandingkan dengan rekan mahasiswa yang jauh lebih muda. Malahan skripsi sarjana saya tulis dalam bahasa Belanda di bawah bimbingan Beerling. Tema skripsi itu adalah perbandingan antara masyarakat Abad Pertengahan dan Modern di Eropa, dengan ilustrasi filsafat sejarahnya. 
Terus terang, jurusan sejarah kami di Jakarta waktu itu sangat lemah. Pada suatu waktu di UI saya praktis sendirian. Teman lain pada pindah ke arkeologi. Saya masih ingat, suatu hari Profesor Resink bertanya kepada saya, "Mengapa tidak pindah saja ke fakultas sosial ekonomi?" Saya tak menyesal tidak mengikuti nasihatnya. Saya berkeyakinan bahwa suatu waktu, di antara 80 juta atau 90 juta orang Indonesia (waktu itu) paling sedikit harus ada satu sarjana yang mengkhususkan diri dalam sejarah Indonesia. 
Saya lulus sebagai sarjana sejarah pertama di Indonesia Februari 1956. Kebetulan, satu hal yang perlu dilaksanakan setelah saya menjadi sarjana adalah menulis sejarah nasional. Terutama untuk kebutuhan sekolah, dan kedua, untuk mengganti sejarah warisan Belanda. Waktu itu tahun 1957, diselenggarakan Seminar Sejarah Nasional 1. Saya mendapat kesempatan menjadi pemrasaran. Setelah saya, banyak orang masuk jurusan sejarah. Penulisan sejarah menjadi penting sejak tahun 1950. 
Saya sendiri mendapat kesernpatan melaksanakannya. Meskipun tidak selalu berhasil, saya mendapat kesempatan mewujudkannya. Terutama mewujudkan buku Sejarah Nasional Indonesia yang memiliki posisi penting. Berbicara tentang sejarah, pengetahuan sejarah, terutama sejarah nasional, diperlukan untuk membangkitkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah melandasi kesadaran nasional. Kesadaran nasional adalah pangkal dari seluruh nasionalisme idiologi pembentukan bangsa. Terserah umum menyadari atau tidak, ini bisa dilacak secara logis. 
Pada kesempatan yang lain, dalam suatu seminar, saya katakan kita masih menghadapi kendala-kendala. Yakni, adanya konsepsi yang salah mengenai kesejarahan. Misalnya, banyak teman wartawan yang menanyakan pada saya, "Pak Sartono, sebagai seorang sejarawan penyusun Sejarah Nasional Indonesia bagaimana perasaan Bapak menghadapi revisi buku itu?" Pertanyaan seperti ini timbul dari pikiran seolah-olah kalau buku sejarah direvisi, langsung si penulis terkena. Lo, ini kan salah. Revisi itu biasa sekali.
Semua sejarah pasti ditulis kembali. Setiap generasi lazim menulis kembali sejarah dengan wawasan generasi itu yang tentu saja lain dengan generasi sebelumnya. Revisi itu amatlah wajar. Tak ada penulisan sejarah yang final. Ada penulisan seperti zamannya rezim Stalin di Soviet yang mengatakan penulisan sejarah harus begini. Tapi begitu Stalin meninggal, penulisan sejarahnya dirombak. Bahkan nama Stalin harus dibuang. Tentu repot kalau sejarah ditulis dengan cara seperti itu. Anggapan yang mendasari itu kekanak-kanakan.
Seperti anak-anak SD, yang mengira bahwa apa yang ditulis di buku ya seperti itu realitasnya. Tidak diketahui bahwa semua sejarah penulisannya subjektif. Artinya, melekat dalam tulisan itu ciri-ciri si subjek. Ciri generasi, ciri kelompok, tidak mungkin lepas sama sekali. Dari sudut lain, kalau tidak ada konsepsi yang salah, pasti tidak ada gedung-gedung kuno dirobohkan seperti sekarang. Kontradiksi yang terjadi kini di Indonesia adalah di satu sisi ingin memajukan pariwisatanya, tapi di pihak lain, karena tak ada wawasan historis, gedung-gedung kuno dibongkar. Ini kontradiktif. Mana ada turis mau lihat gedung-gedung baru saja? 
Saya baru belajar sepuas-puasnya waktu dikirim belajar oleh Departemen P dan K ke Yale University, Amerika Serikat, tahun 1962. Waktu berangkat ke Amerika, istri saya ikut, anak-anak saya saya titipkan ke neneknya. Saya memilih disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, antropologi, dan sosiologi. Jadi, bukan sejarah. Saya ingin menyerap lebih banyak metodologi interdisiplinernya. Saya lulus MA tahun 1964. Disertasi saya berjudul The Peasant Revolt of Banten in 1888, Its Condition, Course and Sequel: A Case Study of Social Mouement in Indonesia. 
Sebelum berangkat ke luar negeri, saya memang berniat menulis tentang gerakan sosial. Antara lain mengenai Budi Utomo. Tapi promotor saya, Profesor Sukanto, meninggal. Lalu saya dengar ada orang Jepang yang menggarap masalah Budi Utomo. Tapi saya juga berminat mempelajari tentang Ratu Adil (Messianisme) dalam sejarah Indonesia. Waktu itu saya juga berurusan dengan penulisan sejarah nasional. Dengan berbagai alasan tersebut, ternyata semuanya tercakup dalam disertasi yang saya tulis mengenai Pemberontakan Petani Banten. Di sini ada gerakan sosialnya, sejarah nasionalnya, masalah Messianismenya. Juga tercakup peranan bangsa sendiri. Petani punya peranan, tapi tak pemah disebut dalam sejarah yang ditulis oleh sejarawan Belanda. Padahal, dalam antropologi dan ilmu politik, petani menjadi pusat studi. Di Cina, Vietnam, Meksiko, gerakan petani memenangkan revolusi. 
Saya pulang ke Indonesia sesudah promosi. Tapi baru Februari 1967 saya sampai di Yogya. AGAMA~, NOVEL, DAN LAIN-LAIN SAYA masih menulis buku, juga makalah-makalah. Istri saya membantu membacakan buku. Sedangkan yang mengetik ada sendiri. Saya juga masih mengajar di pascasarjana UGM, mengenai gerakan sosial, filsafat pembangunan bangsa, teori sejarah. Lalu, tentan~ studi Indonesia, khusus bagi orang-orang Amerika yang ke sini. Sekarang, saya juga masih membimbing empat orang mahasiswa S3 dan tiga orang mahasiswa S2. 
Dalam pada itu, ada acara formal atau tidak, saya tetap menekuni bidang saya, melakukan penulisan tentang berbagai masalah. Misalnya, bulan Agustus lalu untuk memperingati 90 tahun Bung Hatta, di Padang saya memberi ceramah mengenai peranan Bung Hatta dalam pembangunan bangsa. Saya juga masih sering menulis artikel, misalnya untuk tahun ini di majalah Archipel, Prancis.
Mulai bulan Juli lalu, saya terlibat dalam penulisan buku peringatan 700 tahun Majapahit. Semua kegiatan itu masih bisa saya lakukan selama saya belum terganggu kepikunan. Sehingga pemikiran diskursif masih bisa berjalan terus. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, bantuan istri saya amat saya butuhkan. Antara lain membaca berbagai literatur atau mengoreksi naskah. Kendala penglihatan sudah barang tentu sangat menghambat penulisan saya. 
Banyak buku yang yang berpengaruh ke dalam hidup saya. Waktu di SMP kalau berdoa saya selalu membaca buku Thomas A. Kempis yang hidup pada akhir abad ke15, Imitatio Christy. Kempis masih memegang pandangan hidup zaman pertengahan, bahwa semua tindakan yang dilakukan kini adalah untuk tujuan kebaikan di alam baka. Buku Kempis sebenarnya buku agama. Jalan pikiran abad pertengahan tidak terarah pada dunia, tapi pada alam baka. Karena itu seluruh kehidupan manusia diabdikan untuk menambah kemuliaan Tuhan. Pada abad pertengahan, dibikin gereja banyak-banyak. Wanita banyak yang masuk biara. Lain sekali dengan alam pikiran Eropa sekarang. Di Eropa sekarang gereja kosong. Banyak biara ditutup. Suasana Eropa Barat sekarang ini sangat bertolak belakang dengan suasana pada abad pertengahan. 
Sekarang ini keduniaan diagungkan. Orang tak memikirkan kerokhanian, tak memikir dunia baka Konsumerisme menjadi-jadi mengarah ke materialisme. Akhirnya, moral merosot. Tak ada lagi kekuatan moral, hingga orang muda menjadi permisif. Emosi dan segala kekuatan manusia tak ditekan. Dibiarkan, karena dianggap alamiah. Lain sekali dengan abad pertengahan, sewaktu segala hawa nafsu dikendalikan karena dianggap sumber dosa. Saya sendiri sekarang mengaiami kontradiksi. Kalau kita mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, rasanya ada hal-hal yang tak mungkin diserasikan dengar diri manusia, dengan, misalnya, teologi tradisional gereja, seperti mengenai manusia pertama. Saya tertarik pada ajaran Ibnu Khaldun. 
Hal ini diajarkan oleh Ilmu Khaldun dalam Mukaddimah-nya. Yakni, peradaban bisa diselenggarakan selama pengembannya penuh vitalitas dan moraiitas yang tinggi. Tapi, begitu puncak peradapan dicapai, kemewahan dan kekenduran moral menyertai, peradaban itu akan merosot dan runtuh. Waktu di MULO saya suka novel. Misalnya De Opstandegen (artinya pembangkang). Ini roman Belanda yang masih mempengaruhi saya. 
Ceritanya mengenai proses pertentangan antara generasi. Yang menarik, generasi ini mengalami pergeseran dalam gaya hidup sesuai dengan zamannya. Saya juga baca roman-roman Belanda yang yang lain tapi sudah mulai kabur di ingatan saya. Tentu yang menarik adalah karangan Multatuli Saidjah dan Adinda, juga Max Havelaar. Lalu, roman karya Szekeliy-Lilovs, tentang perkebunan di Deli. Tendensi sosialnya kuat sekali. Untuk penulisan mengenai gerakan petani saya banyak mendapatkan inspirasi dari Hobsbawn dari University of London. Hobsbawn menulis Primiti~ve Rebels. Ada beberapa model penulisan yang saja jadikan acuan menulis buku. Dulu, untuk sejarah nasional yang dipakai sebagai model adaiah tulisan sejarawan Pirenne, sejarawan Belgia. Modelnya cocok untuk sejarah Indonesia. 
Dalam menulis sejarah Belgia, Pirenne memasukkan aspek sosial ekonomis di samping aspek politik. TALANG SEGORO HIDUP sebagai sejarawan tentu tidak bisa sekaya seperti murid-murid saya yang bekerja sebagai redaktur harian Kompas, pimpinan perusahaan, atau yang lain. Tapi, kalau dikatakan bahwa saya dalam kekurangan, tentu tidak. Saya selalu percaya bahwa kami tidak akan sepi rezeki. Kalau kita hidup dari pensiun saja, hidup ini terasa berat. Saya selalu mengatakan pensiun saya ini sama dengan gaji seorang pembantu di Singapura. Tapi, kalau saya disuruh bertukar kedudukan, saya tidak mau. Karena profesi dan karya hidup tidak hanya diukur dengan hasil material. 
Sahabat baik saya, almarhum Pak Sumarsaid Murtono, suatu kali datang ke sini membawa keris dan memberikan pada saya. "Ini untuk Mas Sartono." Saya bilang, "Apa saya kuat menerima keris itu?" "Saged (bisa)," jawabnya. Bayangkan. Nama keris itu Talang Segoro. Talang itu untuk menyalurkan air, segoro itu laut. Jadi, arti nama keris itu, alat menyalurkan air laut. Bagaimana ya, selama saya punya keris itu saya tak pernah kekeringan rezeki. Istri saya tak pernah utang-utang. Saya kalau setahun bisa ke luar negeri ya sudah cukup. Pensiun saya sendiri, kalau tidak salah -- saya tak begitu hafal, istri saya yang mengurusnya -- sekitar Rp 360.000. Jumlah itu, untuk biaya telepon, listrik, sewa rumah, hampir habis. Tapi saya ini ibarat petani modern. Sebagai petani, tentu saja punya "sawah modern", untuk mencukupi kebutuhan saya yang setiap bulannya mencapai Rp 1 juta. 
Pada usia ini saya sudah bangun dini hari pukul 02.00 atau 02.30. Saya tidur pukul 22.00. Saya tidur siang sekitar 1 jam tidur siang itu sudah menjadi alam kedua saya. Saya Katolik. Tapi kalau ada kuliah, mulai pagi saya sudah sibuk. Sehingga saya tak sempat pergi ke kapel setiap pagi~. Tapi saya selalu menyempatkan diri berdoa. Sebelum tid~ur, saat makan, setiap kali berbaring di tempat tidur, saya tak pernah lepas dari rosario. Teman saya yang setia adalah rosario itu. 
Saya selalu besyukur pada Tuhan setiap bangun tidur dalam kondisi sehat. Ada satu hari lagi yang dikaruniakan kepada saya, dan itu saya syukuri dengan mempergunakannya sebaik-baiknya. Saya biasa mendengarkan wayang, goro-goronya, suara pesindennya. Itu menimbulkan rasa nyaman. Seperti waktu saya kecil, saya gemar melihat wayang. 
Goro-goro (adegan pana punakawan, biasanya diisi dengan humor) menimbulkan hiburan. Atau saya mendengarkan radio yang menyiarkan musik klasik. Dulu saya suka Mozart, Bach, Hendel, Beethoven, Tschaikovsky. Waktu di Muntilan saya turut dalam orkes sebagai pemain biola. Tapi sekarang saya tak pernah lagi pegang biola.

Sumber : Majalah TEMPO, 24 Oktober 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar