Jumat, 03 September 2010

Geger Mangkunegaran dan Lain Lain

AKHIR-akhir ini ada beberapa peristiwa tidak penting dalam masyarakat kita tapi cukup banyak diberitakan karena agak sensasional dan memang menjadikan koran-koran kita lebih bisa dibaca sebagai surat kabar. Sebenarnya peristiwa-peristiwa tersebut dapat dikatakan non-event kecuali bagi kalangan masing-masing. Namun, saya rasa cukup penting untuk dikomentari dan dilihat sebagai fenomena kebudayaan dalam perspektif lebih luas dan dalam kurun waktu yang lebih lama. Geger Mangkunegaran. Demikian judul peristiwa-peristiwa yang kini terjadi di sekitar Mangkunegaran seandainya terjadi 200 tahun yang lalu. Ketika itu tentunya timbul perang suksesi takhta dalam keluarga Mataram. Dan kalau tak ada yang menang, akan terjadi palihan nagari, terpecahnya keraton. Biarpun pada mulanya keretakan keluarga raja dimulai dengan masalah suksesi, sering berakhir dengan seksesi (pemisahan daerah atau perpecahan wilayah). Perpecahan dalam keluarga kerajaan di mana saja, khususnya di Jawa, bukan merupakan hal yang luar biasa. ''Tradisi'' ini sering berakibat tamatnya kerajaan dan eksistensi dinasti tersebut. Ingat, dinasti-dinasti Jawa dikatakan hanya bertahan selama seratus tahun, dan siklus sejarah dinasti kita sejak Mataram I (zaman Borobudur) rupanya membenarkan fakta tersebut. Kekuasaan Belanda mulai tercantum di Jawa melalui rebutan takhta di antara keluarga Kerajaan Mataram. Sering dikatakan, Belanda memperoleh kekuasaan melalui politik ''memecah belah''. Tapi sebaliknya juga benar, yakni lembaga-lembaga Jawa, khususnya kerajaan, memiliki bakat yang luar biasa untuk terpecah belah melalui dinamikanya sendiri. Takhta, kekuasaan tunggal dan mutlak, dengan segala kejayaan dan kekayaannya, memang menggiurkan berbagai pihak dan menjadi tujuan persaingan para calon raja. Belanda mulai bercokol di Jawa melalui perpecahan keluarga Mataram yang menjadi empat keraton di Jawa Tengah. Dan sesungguhnya, Belanda selalu harus sibuk kalau ada suksesi. Belandalah yang menentukan suksesi dan mempertahankan sang raja, atau memberhentikannya, atau ''mengubah'' suksesi sesuai dengan kehendak raja tua. Dalam kerajaan Jawa tradisional, memang hampir tidak ada sistem suksesi yang ketat. Kekuasaan raja yang bertakhta demikian besar dan mutlak sehingga dia yang menentukan suksesi di luar hierarki keturunan dan lain-lain. Selain itu, dalam kerajaan tradisional orang percaya pada pulung cahya, wahyu Tuhan yang menentukan raja. Jelas, kalau kepercayaan dan wibawa raja bergantung pada wahyu, akan sukar sembarang orang menjadi pengganti raja. Di Barat suksesi dipastikan oleh hukum anak lelaki yang sah menggantikan sang raja, atau raja ditentukan melalui pemilihan. Bila wahyu atau wibawa yang menjadi soal, keguncangan suksesi dan kedudukan selalu akan menjadi masalah. Pura Mangkunegaran sendiri sebenarnya didirikan dengan pemberontakan para pangeran Mataram terhadap Pakubuwono II & III (1746-1755). Yakni, Mangkubumi, yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I, dan R.M. Said (Mangkunegoro I). Sebenarnya, tidak ada undang-undang ataupun peraturan apa pun yang dapat memecahkan perebutan takhta, harta, dan kuasa di kalangan keraton kecuali melalui kekerasan. Tapi di masa sekarang tentu saja kekerasan tak bisa dilakukan di kalangan Mangkunegaran. Sebab, legiun Mangkunegara tidak ada lagi sejak jatuhnya Hindia Belanda (1942). Lalu, peraturan apa yang dapat menyelesaikan geger Mangkunegaran tahun 1993 ini? Ada lowongan hukum di sini, sebab Mangkunegaran pada dasarnya lembaga kerajaan tradisional Jawa. Soalnya kini, konflik di Mangkunegaran menjadi soal intern keluarga. Tapi, berlainan dengan misalnya konflik dalam keluarga usahawan-konglomerat, soal Mangkunegaran tak bisa diselesaikan lewat hukum warisan dari hukum perdata Barat. Pun hukum adat tidak mengurus soal lembaga kerajaan Jawa. Serat Wedatama, ajaran-ajaran kebijaksanaan dari Mangkunegoro IV, serat-serat lain ataupun saran-saran wicaksana para leluhur tak dapat menyelesaikan konflik dalam lembaga yang pada dasarnya merupakan lembaga ''kerajaan''. Pada zaman kolonial, sejak tahun 1830, saat berakhirnya Perang Diponegoro, pemerintah koloniallah yang mengurus suksesi di kerajaan di Jawa. Kalau ada pangeran bandel atau tidak disukai raja yang berkuasa, pemerintah kolonial lalu membuangnya. Kini Hindia Belanda tak ada lagi, lalu bagaimana dengan kebijaksanaan Republik Indonesia? Republik Indonesia pun mencampuri urusan intern, tapi bukan soal keluarga kerajaan, melainkan dalam PDI, Partai Demokrasi Indonesia. Di negara-negara lain, biasanya, partai politiklah yang mencampuri urusan pemerintah, dan bukan sebaliknya. Perpecahan di PDI berlangsung dengan kekerasan, penculikan, pemukulan, dan seterusnya, di samping ada juga kongres dan lain-lain. Pokoknya, memang sedikit banyak masih berjalan pada peraturan dan hukum, tapi secara menyedihkan. Singkatnya, keributan dan berita-berita di sekitar PDI mengingatkan kita pada zaman revolusi, yang juga ada penculikan, kekerasan, dan seterusnya, dan sebenarnya juga pada zaman ''kerajaan tradisional''. Konflik hanya bisa diselesaikan melalui kekerasan, bukan dialog. Bagaimana kini kalau ada konflik di antara para pakar modernisasi dan demokrasi? Konflik di sekitar sebuah majalah sastra belum lama ini, misalnya, tak juga diselesaikan lewat dialog. Untunglah, tanpa kekerasan. Tapi kalau pandangan dialihkan ke lembaga nasional, yakni negara Republik Indonesia, apa yang terlihat? Kestabilan dan keamanan. Hanya ada interupsi Sabam Sirait mengenai agenda pada sidang MPR terakhir. Tapi apakah kestabilan ini berakar pada sosial-budaya kita? Apakah kestabilan ini dijamin oleh perorangan, atau oleh konstruksi legal budaya-sosial lembaga? Menurut saya, kestabilan itu harus berkat lembaga, dan bukan karena wibawa perorangan. Dan ini diperlukan, baik di Mangkunegaran, PDI, majalah sastra, maupun negara.
 
sumber : Tempo Online, 14 Agustus 1993
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar