Jumat, 03 September 2010

Raja-Raja Jawa dan Islam

MODAL klasik dari suatu masyarakat Jawa yang tradisionil terdiri dari dua lapisan. Di satu pihak adalah Raja dengan keratonnya. Di lain pihak terdapat massa petani. Di antara keraton dan rakyat petani tidak ada pimpinan-pimpinan lain seperti golongan tuan tanah atau golongan menengah di kota-kota. Dalam masyarakat ini keraton (negara) mengontrol seluruh perekonomian agraria. Kontrol politik dilakukan oleh golongan priyayi, yang merupakan suatu golongan aristokrasi pejahat, yang diangkat oleh negara. Dalam hal ini pun kepala desa merupakan kaki-tangan negara dan otonomi desa adalah khayalan belaka. Pola politik tradisionil ini kebanyakan terdapat di pedalaman Masyarakat tradisionil tidak berarti bahwa masyarakat itu tidak berubah. Justru kegoncangan-kegoncangan dinastik di Jawa pada abad-abad yang lampau menunjukkan bahwa struktur ini tidak dianggap sesuatu yang abadi dan diterima demikian saja. Sayangnya kita belum banyak mengetahui mengenai masyarakat kerajaan sebelum jatuhnya Majapahit (abad ke-XV) untuk mengetahui dinamikanya. Di samping pola politik yang klasik yang digambarkan di atas, ada lagi suatu pola politik yang lain. Yakni kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan di pasisiran Utara Jawa seperti Demak, Tuban, Giri, Surabaya dll. punya penduduk yang kosmopolitan yang terdiri dari pedagang, baik pribumi maupun asing dan tukang. Golongan burjuis kota ini memiliki alat-alat ekonomi sendiri dengan persediaan kekayaan, yang memungkinkan mereka mengimbangi dan bila perlu menentang kekuasaan negara. Menemukan Ideologi Menghadapi Majapahit Pada kira-kira abad ke-XV (Masehi) agama Islam tersebar di antara kota-kota pesisir Utara, dan dengan demikian masuk ke Jawa. Apa yang terjadi adalah bahwa kekuatan politis dan ekonomis kota-kota pelabuhan ini menemukan ideologi untuk menentang pusat kerajaan Majapahit di pedalaman. Penyebaran Islam sendiri ke pedalaman Jawa mungkin juga karena adanya elemen-elemen oposisi lain terhadap susunan kerajaan Majapahit, yang memang sedang mengalami proses keruntuhan karena sebab-sebab intern. Pengislaman ini tidak selalu berjalan tanpa kekerasan, dan mengalami oposisi di sana-sini. Pada akhirnya menurut Babad, Majapahit jatuh (1400 Saka/1478 Masehi) karena diserang oleh Raden Patah dari Demak. Kira-kira selama satu abad pusat-pusat kerajaan Jawa berada di pantai Utara di sekitar kota-kota pelabuhan. Tetapi dengan munculnya keraton Pajang, dan terutama keraton Mataram yang kita jangan lupakan merupakan dinasti-dinasti Islam, pusat politik berpindah sekali lagi ke pedalaman. Apa yang sebenarnya terjadi dalam pergolakan-pergolakan di atas? Elemen-elemen oposisi terhadap konsep seorang Deva-Raja, yang diwakili oleh Majapahit, menemukan dalam Islam suatu ideologi yang lebih cocok untuk menentang kekuasaan negara yang mutlak. Jadi penyebaran agama Islam bukan saja merupakan suatu revolusi agama, namun juga memiliki unsur-unsur revolusi sosial. Pertama-tama, menurut agama Islam, raja hanya merupakan orang lslam lain, seorang anggota umat seperti anggota-anggota umat yang lain. Jelas ini lebih menyamaratakan kedudukan raja dari pada konsep Deva-Raja dari zaman Majapahit. Kedua, dan hal ini adalah lebih penting lagi, Islam menciptakan suatu elite agama, para ulama, yang dapat menegor raja atau paling sedikit membatasi kesewenang-wenangan negara. Hal ini jadi lebih penting lagi, bila kita ingat bahwa menurut ajaran Islam sebenarnya tidak ada pemisahan antara kekuasaan duniawi dan rohani atau antara politik dan agama. Ulama dan Priyayi Tetapi apa yang betul-betul menjadikan Islam ini suatu unsur revolusioner dalam susunan kerajaan tradisionil adalah golongan para ulama yang tinggal di desa dan jadi pemimpin-pemimpin setempat. Para ulama tinggal di desa-desa di tengah rakyat petani, sering bercocok tanam sendiri, dan mendiami rumah-rumah biasa. Tidak seperti kaum priyayi yang tinggal di kediaman resmi, dikelilingi oleh alun-alun dan tanda-tanda kebesaran yang lain. Para ulama jadi pusat pendidikan di desa dan aktifitas sosial lainnya. Dengan adanya golongan ulama ini para petani di desa menemukan pemimpin-pemimpin mereka. Secara ideologis para petani dihubungkan oleh tokoh ulama dengan dunia yang lebih luas, sehingga isolasi spirituil dari desa dahulu ditembus. Golongan ulama ini merupakan elite yang tidak mudah dikontrol oleh negara, dan sebenarnya berada di luar hierarki kerajaan. Namun ini tidak berarti bahwa semua ulama adalah penentang raja Mataram yang beragama Islam. Raja-raja Mataram yang mendirikan keratonnya di pedalaman, yang dikelilingi oleh puing monumen-monumen zaman pra-Islam yang paling agung - Borobudur, Mendut dan Prambanan - memiliki dua sikap terhadap Islam. Sebagai dinasti Islam, raja-raja Mataram mendasarkan negaranya atas ajaran Islam yang populer pada waktu itu yakni mistik Sufi. Ideologi negara Mataram disejajarkan dengan agama: kesatuan yang mengikat raja dan rakyatnya adalah sama seperti kesatuan antara umat dan Allah. Dengan kata lain rakyat harus tunduk pada kehendak raja. Manunggaling Kawula lan Gusti adalah dasar utama ideologi ini, yaitu menjadi satunya Manusia dan Tuhan atau rakyat dan raja. Menurut ideologi negara, raja sering disamakan dengan Nabi. Nabi zaman dahulu diilhami oleh Allah, dan raja pada zaman sekarang juga "langsung diilhami" oleh Allah. Gelar raja-raja Jawa menjadi "Sunan", seperti gelar yang diberikan pada para Wali yang pertama-tama menyebarkan agama Islam. Konflik: Karena Soal Kepentingan Jadi di suatu pihak raja-raja Mataram menerima agama Islam dan tidak menentangnya. Tapi di lain pihak raja-raja Mataram tidak mempunyai sikap terhadap zaman pra-Islam yang mungkin akan diambil oleh tokoh Islam lain. Bagi orang-orang Islam, zaman pra-Islam dilukiskan sebagai zaman jahiliah. Tapi raja-raja Mataram dalam Babad Tanah Jawi melukiskan jatuhnya Majapahit ke tangan kekuatan Islam dengan kata-kata: Hilang Sirna Kartaning Bumi (Hilang zaman ke-emasan dari Dunia). Lebih-lebih dalam genealogi raja-raja Mataram sering disebut Dewa-Dewa Hindu dan tokoh-tokoh dari dunia pewayangan. Memang tidak mudah untuk menghapus 3 dari sejarah gemilang suatu bangsa. Pertentangan yang ada pada dasarnya tidak disebabkan karena perbedaan-perbedaan pandangan seperti di atas ini. Pertentangan kepentingan ekonomi dan politik yang ada dalam kerajaan Mataram atau di Jawa telah mempertajam perbedaan-perbedaan ideologi. Tapi konfliknya mengenai soal konkrit. Jatuhnya kerajaan Majapahit di pedalaman oleh kekuatan oposisi pasisir dan ulama-ulama, bagi Mataram adalah hantu. Mataram berusaha supaya kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Maka dilakukanlah kebijaksanaan untuk mengamankan Mataram dari bahaya itu. Untungnya raja-raja Mataram juga insyaf akan pentingnya golongan ulama ini sebagai pemimpin. Dan memang tidak semua mereka menentang raja-raja Mataram. Banyak di antara para ulama, mungkin bagian terbesar, menyokong kerajaan. Di keraton bahkan terdapat ulama-ulama agung yang berpengaruh besar di antara masyarakat Jawa. Para ulama yang cukup dianggap berpengaruh dicoba untuk diikat oleh kcrajaan Mataram dengan diberi tanah. Sampai-sampai puteri-puteri keraton pun dinikahkan dengan para ulama itu. Dan para raja sendiri sering kawin dengan wanita keturunan wali. Namun pada permulaan dinasti Mataram ada segolongan tokoh Islam yang menentang kekuasaan Mataram ini. Mereka adalah keturunan para wali di pantai Utara, seperti Sunan Giri, Sunan Ngampel dan lain-lain. Atau mereka adalah ulama yang punya ikatan keluarga dengan para wali atau pernah menjadi santri (murid) di pusat agama di pasisir ini, dan sekarang tinggal di pedalaman. Pembuuhaf Massal Dengan singkat antara Mataram dan kekuatan oposisi ini terdapat bentrokan. Kekuasaan politik ekonomi para keluarga wali di pelabuhan-pelabuhan dihancurkan dengan bantuan VOC. Dengan VOC ini diadakan persekutuan. Di pedalaman sendiri dua kali selama pemerintahan Amangkurat I (1646-1677) dilakukan pembunuhan massal yang serentak terhadap para ulama yang dianggap sebagai oposisi. Setiap kalinya diperkirakan 4000 sampai 5000 ulama di sekitar daerah keraton jadi korban bersama - dengan keluarga dan anak-buah mereka. Pada akhirnya Mataram menang terhadap oposisi itu. Tetapi harga yang dibayar sangat tinggi. VOC makin lama makin mengikat raja-raja Mataram, dan yang sebenarnya jadi korban dari politik itu adalah rakyat Jawa. Oposisi ulama Islam tidak selalu bersangkut-paut dengan para wali dan dengan kekuatan pclabuhan. Sebab ketik kekuatan-kekuatan itu sudah hancur toh tetap ada suara yang mencoba mengkoreksi raja. Suara ini datang dari para ulama. Dalam abad ke-XVIII (1772) umpamanya terdapat surat dari seorang haji kepada pangeran Mangkunegara I, yang menganjurkan beliau untuk "berperang terhadap orang-orang kafir (Belanda), sebab biarpun sedikit jumlahnya, mereka yang membela yang adil dapat mengalahkan yang kuat, seperti diajarkan oleh Al-Qur'an". Memang rupanya pada tahun-tahun tersebut ada kekesalan terhadap pengaruh Belanda dan perkembangannya. Tapi sesuai dengan pandangan tradisionil Jawa, bukan Belandayang lalu dimusuhi, melainkan raja sendiri yang dianggap bertanggungjawab atas kemunduran zaman. Pada tahun 1787 dipasang di pasar Surakarta surat terbuka pada Sunan yang a.l memuat "... Macam raja apakah kamu ini? Raja orang-orang Belanda? Kamu tidak lagi dikurniai Tuhan. Telah habis riwayat kamu! Pergilah orang yang menyimpang dari agama . . . Mana buktinya bahwa kamu Raja dari Tuhan...". Pada abad ke-XIX, para pemimpin pembrontakan petani sering dipegang oleh para ulama, yang dinamakan oleh Belanda sebagai "sumber-sumber ketidak-tenteraman pulau Jawa". Dalam masyarakat tradisionil baik negara maupun rakyat yang tidak puas memakai bahasa agama. Tapi sebenarnya konflik ini adalah mengenai isyu-isyu yang konkrit dan riil, dalam hubungan negara dan rakyat.
 

sumber : Majalah Tempo,21 Mei 1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar