Abstract
This article tried to analyze political tkinking of the kratons’ elites in the twentieth century. The political thinking of Sunan Paku Buwana (PB) X was to restored his power that disappeared by penetration of Dutch colonial. The Sunan’s strategy to restored the power was (1) political changed from the traditional perspective to political mass; (2) built schools, markets, bank, hospital, gardens, mosques; and give migrant skills; (3) supported local party that was Sarekat Islam and Boedi Oetomo. But, blunder diplomacy took by PB XI that was surrender to the Japanese troops, and PB XII tried to return to the traditional political paradigm and formed ‘swapraja’ government in Surakarta. That blunder policy to be opposite of the nasionalist perspective.
A. Pendahuluan
Awal abad XX, gerakan perubahan-perubahan telah berlangsung di Kasunanan, terutama perubahan paradigma politik dari perspektif tradisional menuju perspektif partisipasi massa. Sunan Paku Buwana (PB) X menyadari bahwa perubahan paradigma politik amat penting untuk mempertahankan eksistensi politik Kasunanan.
Verklaring-verklaring yang ditandatangani raja-raja sebelumnya, termasuk verklaring
1893 yang dia tandatangani mempersempit ruang gerak politik, bahkan Undang-Undang Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja.[1] Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol politik yang sifatnya recollection (eling lan waspada) dan reawakening (membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, sosial, maupun politik.[2] Sementara itu dalam bidang politik Sunan membangun komunikasi dan jejaring dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan
incognito atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.
Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk menyampaikan pesan dan cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,
Bromartani, yang sedang menghadapi kesulitan manajemen.
[3] Bromartani terbit pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak menggugah dan mengungkapkan kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoerjo. Tawaran mengelola
Bromartani
dimaksudkan bersedia menuangkan pemikiran politik pada mingguan tersebut untuk membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial.
[4]
Komunikasi simbolik antara Sunan dan Tirtoadhisoerjo menuai hasil berdirinya SDI Surakarta yang secara yuridis cabang SDI Bogor.
[5] Organisasi ini didirikan Tirto dan Samanhudi, dan dalam perkembangannya SDI berubah menjadi SI. A.P.E. Korver berpendapat bahwa berdirinya SI merupakan sikap antipati pengusaha muslim terhadap kaum bangsawan.
[6] Kelemahan A.P.E Korver tidak melihat adanya perbedaan antara bangsawan
protagonis (pendukung pergerakan kebangsaan) dan
status quo (pendukung Belanda). Pemikiran antipati pengusaha Muslim perlu ditempatkan kepada priyayi pangreh praja yang mempertahankan
status quo. Dukungan PB X terhadap organisasi pergerakan dapat dilihat diizinkannya P. Hangabehi dan RMA. Woerjaningrat (putera dan menantu) menjadi anggota kehormatan dan pelindung SI.
[7] Dalam perlawatan Sunan dipandang pendiri SI. Persepsi ini menguntung SI,
[8] sehingga dikatakan sinergi priyayi protagonis dan Muslim telah memacu masyarakat memasuki dunia politik.
Selain dukungan terhadap organisasi politik, Sunan menembus basis massaakar rumput melalui bantuan ke masjid-masjid.
[9] Dua hal yang hendak dicitrakan, yakni citra kharisma dan citra agama. Perlawatan politik ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Sumbawa merupakan strategi membangun citra kharisma. Kharisma adalah tampilan kualitas individu untuk menempatkan individu sebagai otoritas simbolik yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat, dan citra kharisma itu muncul ketika individu diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok sosial.
[10] Kunjungan ke masjid untuk memberi bantuan, dan mereproduksi identitas Islam. Identitas itu untuk: (1) menilai kegagalan negara kolonial, (2) memperluas jejaring sosial dan politik guna mempertebal rasa kebersamaan, (3) memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kehidupan sosial maupun politik. Yang menggelitik adalah mengapa pengganti PB X tidak mampu meneruskan pemikiran politiknya?.
B. Memudarnya Kewibawaan Elit Kasunanan
Gejala-gejala kemunduran atau disorientasi pemikiran politik di lingkungan istana sudah tampak sejak kesehatan Sunan merosot. Sejak berusia 32 tahun Sunan sudah mengidap penyakit ginjal, dan tidak berusaha menekuni hidup sehat, sehingga penyakit yang diidap makin menggerogoti organ tubuhnya.
[11] Pada usia 70 tahun Sunan tidak mampu melakukan perlawatan politik. Dua bulan sebelum wafat penyakit Sunan makin parah.
[12] Dokter keraton, Dr. R. Moehammad Saleh, serta dokter Belanda, Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom dan Dr. Block, menunggui Sunan di pesanggrahan Paras, Boyolali, hingga wafat pada tanggal 20 Februari 1939, jam 07.30.
[13] Pada dasarnya, disorientasi pemikiran politik yang melanda putera-putera Sunan seiring dengan makin kuat tekanan politik kolonial yang diwujudkan dalam sistem politik
beamtenstaat[14]antaratahun 1920-an hingga 1930-an. Ruth McVey memandang bahwa
beamtenstaat sebagai ‘the state as efficient bureaucratic machine’. Maksudnya, birokrasi negara kolonial diurusi pegawai pemerintah kolonial, baik pada birokrasi
Binnenlandsbestuur maupun Inlandschbestuur, yang didukung oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda yang berfungsi memapankan birokrasi serta mengisolasi pergerakan politik. Sistem ini memandulkan politik elit istana, dan berakibat PB XI dan PB XII tidak piawai bermain politik seperti halnya PB X.
[15]
Ada tiga persoalan yang mendorong disorientasi politik di lingkungan istana, yakni:
(1) Sejak tahun 1936 kesehatan PB X makin menurun. Usia 70 tahun terlalu berat untuk melakukan kegiatan politik, baik menghadapi kekuatan kolonial yang menggerogoti otoritas kekuasaan maupun nasionalis garis keras yang menyangsikan visi politik. Secara simbolik PB X berkehendak menyatukan kekuatan Islam dan nasionalis. Sinergi dua kekuatan politik itu mengikuti gaya politik Sultan Agung (SA) dalam menghimpun legitimasi politik dan menggalang kekuatan massa. Sinergi dua kekuatan politik dipandang dapat mengatasi persoalan sosio-budaya, sosio-ekonomi, dan sosio-politik yang dihadapi masyarakat.
[16] PB X mentransformasikan dalam perlawatan politik yang secara simbolik menyuarakan sinergi Islam, Jawa, dan nasionalis. Perlawatan politik terakhir adalah mengunjungi Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan Lampung, pada bulan Januari hingga awal bulan Februari 1935.
[17]
(2) Putera mahkota, P. Hangabehi, tidak memiliki visi politik. Kegiatannya dalam dunia politik didorong oleh P. Hadiwidjojo dan RMA. Woerjaningrat. Residen A.J.W. Harloff (1918-1922) memandang putera mahkota sebagai sosok yang tidak memiliki visi politik. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Hoesein Djajadiningrat bahwa hampir semua pangeran [putera raja] tidak punya visi politik, hanya Koesoemojoedo dan Soerjohamidjojo yang mampu memahami politik lokal. Keterlibatan dua pureta Sunan dalam politik lokal bersama Woerjaningrat [menantu Sunan] mengakibatkan provokasi-provokasi politik yang dilakukan Residen Harloff bahwa Koesoemojoedo dan Woerjaningrat menghasut Sunan untuk melawan terhadap Belanda di Surakarta. Kegiatan politik praktis yang dilakukan sebagian besar putera Sunan mendorong pemerintah memilih Hangabehi sebagai putera mahkota. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Hangabehi tidak memiliki visi politik, patuh dan tunduk, serta ‘berserah diri’ kepada pemerintah Belanda.
[18] PB X sejak semula kurang setuju pengangkatan Hangabehi sebagai putera mahkota, dan lebih memilih Koesoemojoedo. Dalam pandangan Van Wijk dan Sollewijn Gelpke bahwa Koesoemojoedo berkepribadian yang sulit dipahami, dan pemikiran politiknya cenderung ke kiri, yakni sosialisme.
[19]
Kepiawaian Koesoemojoedo berpolitik, dan simpati Sunan kepadanya menimbulkan persaingan internal yang tidak menguntungkan, memicu kemandulan politik, dan munculnya friksi dalam istana yang berpengaruh terhadap politik lokal Surakarta.
[20]
Ikatan dan sinergi politik yang dirintis PB X melalui ‘perlawatan politik’ menjadi tidak berarti, karena persaingan memacu faksi politik yang melemahkan politik Kasunanan. Munculnya faksi politik merupakan kendala serius terhadap politik sipil yang diproyeksikan untuk meraih ‘kesepadanan’ antara pribumi dan penguasa kolonial.
[21]
Jalan terbaik untuk mempercepat ‘kesepadanan’ adalah mewujudkan ‘revolusi integratif’ yang berperan menjembatani pemikiran ‘lama’ yang berpijak pada primordialisme, serta mengganti dengan pemikiran ‘baru’ yang berpijak pada persatuan dan kesatuan.
[22]
(3) Pada tahun 1915, Residen F.P. Sollewijn Gelpke menetapkan keputusan bahwa RA. Djojonagoro ditunjuk sebagai patih RAA. Sosrodiningrat (1889-1915). Sebelum menduduki jabatan patih, RA. Djojonagoro adalah bupati nayoko, dan Djojonagoro putera patih RAA. Sosrodiningrat. Penunjukkan secara sepihak menimbulkan ketidakpuasan kerabat keraton, mengingat peran Djojonagoro tidak sepadan dengan Woerjaningrat.
[23] Woerjaningrat, Koesoemojoedo, dan Soerjohamidjojo adalah elit keraton yang paling aktif dalam politik pergerakan, meskipun pejabat Belanda memandang ketiga elit itu sosok yang paling licik dan berambisi.
[24] Penunjukkan RA. Djojonagoro memungkinkan pemerintah kolonial Belanda melanjutkan praktek politik yang menempatkan birokrasi kepatihan dalam bayang-bayang kolonial, dan praktek politik ini mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap aktivis-aktivis politik pergerakan. Menurut Larson pejabat kepatihan yang dipilih pemerintah adalah pejabat yang berkepribadian lemah, mengabaikan kepentingan Kasunanan dan masyarakat.
[25]
Setelah PB X wafat digantikan putera mahkota, bergelar PB XI (1939-1944). Perubahan kekuasaan justru mengendurkan peran politik Kasunanan dalam pergerakan kebangsaan, karena PB XI ‘menjauhkan diri’ dari percaturan politik lokal. Ketika masih berstatus sebagai putera mahkota, PB XI aktif dalam organisasi pergerakan, dan menjabat sebagai ketua [kehormatan] SI. Sebaliknya setelah naik tahta, PB XI tidak mampu meletakkan kekuasaan pada spektrum sosial [kemasyarakatan]. Secara simbolik tidak dapat mencari titik temu penampilan politik istana dalam pergerakan kebangsaan. Sikap ini bertolak belakang dengan visi politik PB X. Sunan mampu mendirikan berbagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, di antaranya adalah lembaga pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, sosial, hiburan, dan mendukung organisasi politik SI dan BO di Surakarta. Interaksi PB X dengan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik dapat diamati pada bagan di bawah ini:
Bagan 3:
Struktur Interaksi Paku Buwana X, Pendidikan, dan Pergerakan Kebangsaan
Bagan di atas menunjukkan bahwa PB X merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menoreh sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada konteks kolaborasi dengan kolonial dalam mempertahankan kekuasaan, tetapi merekonstruksi ‘batin’ kemanusiaan untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi mendirikan lembaga pendidikan Islam dan umum (Madrasah Mamba’ul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok Islam pinggiran. Pendirian lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum, yang mendapat dukungan elit politik keraton ditafsirkan sebagai tindakan politis untuk mendekonstruksi politik, yakni dari paradigma politik tradisional menuju paradigma politik partisipasimassa. Konsekuensi perubahan tersebut adalah keharusan memberikan dukungan simbolik terhadap organisasi ekonomi (SDI) dan organisasi politik (SI dan BO) yang tumbuh diSurakarta. Pada sisi lain, tindakan itu memperkuat akses ekonomi rakyat turut pula memperkuat politik partisipasimassa. Akses ekonomi rakyat meliputi pembangunan ruang publik (Taman Sriwedari), jembatan Jurug, Bacem, dan Mojo, mendirikan bank, rumah sakit dan apotik, serta membangun Pasar Gedhe Hardjonagoro.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam yang diakui pemerintah Belanda justru memacu kelompok politik pinggiran memperkuat nilai-nilai keislaman untuk dijadikan landasan orientasi politik.
[26] Dengan demikian rakyat terdorong melakukan gerakan politik perlawanan, dan menarik legitimasi yang [kemungkinan] pernah disalurkan kepada pemerintah kolonial.
[27] Pemberdayaan kelas sosial menengah-bawah dalam bidang pendidikan dan ekonomi, berimbas pada pemberian legitimasi politik terhadap elit istana [Sunan dan kerabat istana]. Pendirian madrasah yang ‘diskenario’ oleh Pengulu Tapsiranom dan Kiai Idris (Pesantren Jamsaren) memacu persinggungan wacana politik, karena kebijakan politik etis dan Undang-Undang Desentralisasi 1903 yang diberlakukan merupakan struktur yuridis terbukanya peluang politik. Dengan demikian pendidikan, struktur ekonomi, peluang politik, dan persinggungan wacana politik menghadirkan tuntutan ‘kesepadanan politik’, yang membangkitkan perlawanan.
Perubahan tragis terjadi setelah PB X wafat, mengingat para penggantinya tidak mampu melanjutkan struktur peluang politik. Struktur peluang politik dan wacana politik pergerakan adalah simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda. PB XI yang hanya berkuasa sekitar 5 tahun lebih suka menahan diri, dan tunduk kepada Pemerintah Pendudukan Jepang di Surakarta. Sementara itu, PB XII (1944-2005) terperosok pada kesalahan diplomasi sepanjang masa revolusi kemerdekaan.
[28]
Kedua raja tidak mampu melakukan sinergi asosiasif dengan kekuatan sosial maupun politik, sehingga muncul kemacetan kesinambungan politik antara istana dan kaum nasionalis. Visi politik PB XII semu dan sesaat, serta tidak berusaha menciptakan keselarasan politik.
[29] Dalam sejarah Kasunanan hanya beberapa raja yang mampu memperjuangkan substansi Islam, khususnya memberdayakan bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
[30]
Pada sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, supra sistem berada di tangan
Binnenlandsbestuur, sedangkan pada tingkat lokal berada di tangan Inlandschbestuur. Sistem ketatanegaraan itu jelas memandulkan otoritas kekuasaan kerajaan tradisional. Dengan struktur itu, kebijakan apapun yang ditempuh kerajaan-kerajaan tradisional tidak berpengaruh terhadap kehidupan rakyat,
[31] meski kebijakan yang ditempuh menciderai hati rakyat. Berpijak pada struktur semacam ini rakyat tidak dapat menarik legitimasi politik atau menjatuhkan kekuasaan raja-raja tradisional, sebaliknya rakyat harus menarik legitimasi politik yang pernah disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda, karena pemerintah itu yang mengelola sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.
[32]
Dalam perspektif politik Islam, penarikan legitimasi politik yang disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda merupakan kewajiban Muslim guna menegakkan kehormatan dan harga diri, mendorong kemandirian lingkungan sosial (
self-reliance), berswasembada (
self-sufficiency), serta mempertahankan diri (self-defence).[33]
Tindakan politik PB XI dan PB XII justru menimbulkan sinergi negatif dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berda di dalam istana maupun di luar istana. Keterlibatan putera dan menantu PB X [Koesoemojoedo, Soerjomihardjo, dan Woerjaningrat] dalam politik pergerakan diasumsikan PB XI dan PB XII merupakan kegiatan pribadi. Tiga aristokrat itu sangat aktif dalam organisasi politik, baik di SI, BO, Politiek Econimische Bond (PEB), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Jong Java, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), maupun Partai Indonesia Raya (Parindra).
[34]
Dalam pandangan sejarah, kegiatan politik tiga aristokrat itu justru mewakili institusi Kasunanan. Dengan demikian pandangan negatif PB XI dan PB XII terhadap tiga aristokrat itu mengindikasikan kemunduran kepemimpinan raja tersebut, karena: (1) perubahan kekuasaan tidak sinergis dengan paradigma politik partisipasi massa. Penguasa baru bertahan pada paradigma politik tradisional, menerima eksistensi kolonial untuk keberlangsungan kekuasaannya, dan bukan untuk kepentingan politik bangsa; (2) perubahan paradigma berakibat kekuasaan raja bersifat semu dan sesaat, serta tidak menciptakan keselarasan politik;
[35] (3) kegiatan politik Koesoemojoedo, Soerjomihadjo, dan Woerjaningrat dipandangnya mewakili diri sendiri, bukan institusi Kasunanan; (4) meski ketiga aristokrat berperan aktif dalam organisasi politik pergerakan, dalam kenyataannya tidak dapat merubah orientasi politik PB XI dan PB XII.
Pemikiran politik PB XI dan PB XII berbanding terbalik dengan pemikiran Hamengku Buwana (HB) IX. Ketika dinobatkan sebagai Sultan, dia berucap:
Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Weterse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot en harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen.
Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werk op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartingen naar mijn beste weten en kunnen.
[36]
Pernyataan itu tidak dapat dipandang primordialisme, tetapi sebuah pandangan ‘revolusioner’, karena: (1) kata ‘Jawa’ merujuk pada dirinya seorang pribumi, yang dalam konteks politik pergerakan akan berhadapan dengan kekuasaan kolonial; (2) meski Sultan berpendidikan Barat, tetapi pemikiran politik yang disumbangkan adalah untuk kepentingan bangsa [Indonesia], dan berusaha menghindari kolaborasi politik dengan pemerintah kolonial; (3) Sultan menyampaikan isyarat dirinya mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesiayang diucapkan Soekarno-Hatta disambut Sultan dengan pernyataan bahwa Kasultanan berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia (RI). Pada sisi lain, PB XII dan Mangkunegoro VIII merasa bimbang dalam memberikan keputusan. Dalam pemikiran kedua elit politik,
Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial, karena itu proklamasi 17 Agustus 1945 sepantasnya menetapkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah swapraja. Keinginan PB XII menghidupkan kembali simbol pemerintahan kerajaan mendapat reaksi keras dari golongan intelektual, pemuda, dan elit politikSurakarta. Mereka kemudian membangun ikatan politik yang berpijak pada ideologi nasional dan memobilisasi kelompok-kelompok sosial-politik, sehingga gerakan mereka memacu gerakan anti-swapraja.
Perjuangan Sultan tidak terbatas pada keinginannya berada di bawah kekuasaan RI, tetapi juga meminta kepada Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kepemimpinan republik untuk ‘hijrah’ ke Yogyakarta. Dalam pemikirannya Jakarta dan sekitarnya maupun Bandung dan sekitarnya sudah dikuasai tentara NICA (
Netherlands Indies Civil Administration
).[37] NICA adalah pasukan sekutu yang diberi tugas untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia setelah pengakuan kekalahan Jepang, pada tanggal, 14 Agustus 1945. Tindakan ini ditujukan untuk menghindari adu-domba pejabat NICA, dan mencegah pencideraan nasionalis terhadap revolusi kemerdekaan yang sedang berjalan. Dalam konteks pemikiran politik Islam, bergabung Sultan di bawah kekuasaan RI dan meminta pemimpin republik ‘hijrah’ ke Yogyakarta merupakan cermin pemikiran
jihad, yang mengutamakan kesucian tindakan politik. Rupanya, motif pemikiran tersebut adalah keinginan membebaskan diri [bangsa] melalui jalan revolusi.
C. Elit Kasunanan Tersudut Gerakan Revolusi
Kaum nasionalis mempertahankan proklamasi kemerdekaan melalui dua cara, yakni diplomasi politik dan gerakan revolusi.
[38] Gerakan revolusi makin kuat setelah terbentuknya ikatan ideologi, dan mobilisasi kekuatan sosial dan politik.
[39] Ikatan ideologi maupun mobilisasi kekuatan sosial dan politik merupakan konsekuensi makin meluasnya ketidakpuasan kelompok sosial dan politik terhadap jalannya diplomasi. Gejala ini justru memacu perubahan struktur politik masyarakat, dan perubahan tersebut tidak sekedar perubahan partisipasi massa atau mobilisasi massa, tetapi meluasnya konflik politik dan kekerasan dalam masyarakat, bahkan timbul revolusi sosial di beberapa daerah.
[40] Sejak proklamasi hingga bulan Desember 1945, massa revolusioner telah diorganisir dalam kelompok-kelompok politik, bertugas menjaga keamanan kota, pertahanan, bahkan merupakan kesatuan pasukan tempur. Gerakan kelompok politik itu sangat intensif di kota-kota besar, misalnya Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Melihat kondisi ini disimpulkan bahwa proklamasi kemerdekaan mendorong proses politisasi rakyat, yakni pembentukan ikatan ideologi politik nasional dan mobilisasi kekuatan massa untuk menumbangkan kelompok politik yang mempertahankan kemapanan [pangreh praja maupun aristokrat tradisional].
Perbenturan politik antara kelompok politik yang berpegang pada ideologi politik nasional dan kelompok politik kemapanan [pangreh praja dan aristokrat tradisional] memacu revolusi sosial di beberapa daerah. Daerah-daerah yang dilanda revolusi sosial meliputi Aceh, Sumatera Utara, Pekalongan, Tegal, Pemalang, Salatiga, dan Surakarta.
[41] Sejak proklamasi kemerdekaan tumbuh pula pemimpin-pemimpin yang memusatkan perjuangan tidak hanya fokus pada ideologi politik nasional, tetapi juga ideologi agama [Islam] dan marxisme. Para pemimpin membentuk badan perjuangan sendiri, bahkan melakukan infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya. Gejala politik ini makin memperkuat polarisasi politik dalam masyarakat yang berpijak pada garis ideologi politik pemimpin mereka, dan meluasnya kekerasan politik apabila infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya mengalami kegagalan. Kesemrawutan politik pada masa revolusi tidak dapat diatasi oleh pemimpin republik, karena belum berjalannya sanksi hukum yang melembaga.
Meletusnya revolusi sosial di Surakarta adalah akibat perbenturan perbedaan orientasi politik yang terprovokasi, terutama eksistensi keraton pasca proklamasi. Pemberian status swapraja terhadap Surakarta ditafsirkan PB XII memungkinkan kembali menghidupkan pemerintahan kerajaan. Pemikiran tersebut ditolak elit istana yang malang-melintang dalam politik pergerakan dan elit politik di luar tembok istana. Rupanya, Sunan tidak mampu menganalisis situasi politik nasional maupun situasi politik lokal yang sudah dikuasai badan perjuangan, bahkan slogan ‘merdeka seratus persen’ dan ‘kedaulatan rakyat’ tidak dimaknainya secara jernih.
[42] Dalam konteks badan perjuangan diSurakarta, Sartono Kartodirdjo mengemukakan:
Pada awal tahun 1946 di Sala telah diselenggarakan konggres di mana Persatuan Perjuangan didirikan dan program minimum Tan Malaka diterima. Yang dituntut 100 persen kemerdekaan, penyitaan modal Belanda, pembentukan Pemerintahan Rakyat, dan Tentara Rakyat. Program itu merupakan tantangan langsung terhadap Pemerintah RI pada waktu itu. Dalam pertentangan itu Soekarno-Hatta didukung juga oleh BPRI [Barisan Pemberontak Republik Indonesia, suatu badan perjuangan yang didirikan dr. Sutomo, dan memiliki cabang di seluruh Jawa] dan Pesindo [Pemuda Sosialis Indonesia], sedangkan Barisan Banteng dan Laskar Rakyat memihak Tan Malaka.
[43]
Gambaran tersebu menunjukkan bahwa Surakarta diselimuti kekuatan-kekuatan politik yang memacu revolusi sosial, yaitu kekuatan politik yang berada dibelakang Soekarno-Hatta, kekuatan politik komunisme/marxisme yang ingin menjatuhkan Soekarno-Hatta, dan kekuatan politik kemapanan (pangreh praja dan aristokrat tradisional) yang berkehendak membentuk pemerintahan kerajaan. Tipologi kekuatan politik masa revolusi itu identik dengan tipologi kekuatan politik tahun 1920-an yang diwakili oleh kekuatan Islam (SI), priyayi intelektual (BO), sosialisme, marxisme (ISDV dan SI-Merah), dan golongan pangreh praja yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebaliknya, tipologi kekuatan politik pasca proklamasi dikuasai badan perjuangan dan partai politik yang beraliran nasionalisme, Islamisme, sosialisme, dan marxisme.
[44] Bulan September hingga Desember 1945 adalah masa pembentukan badan dan laskar perjuangan di Surakarta. Peran badan keamanan rakyat (BKR) sangat besar dalam proses pembentukan kelaskaran. Organisasi kelaskaran yang terkenal adalah Barisan Laskar Banteng (BLB) yang dipimpin dr. Moewardi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan Laskar Rakyat.
[45] Pada tahun 1946 pembentukan laskar makin intensif, dan anggotanya adalah pelajar dari segala strata sosial yang tersebar dalam berbagai organisasi kelaskaran, seperti Laskar Tentara Pelajar, Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, Barisan Pemuda Jelata, dan BPRI.
[46]
Sejak tahun 1946 kondisi politik di Surakarta sudah matang untuk membuat alasan meletusnya revolusi sosial, karena organisasi kelaskaran sudah terbentuk hingga pedesaan, dan para anggotanya adalah pemuda desa, tokoh politik, dan pemimpin agama [Islam]. Nama laskar beraneka ragam, misalnya, Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.
[47] Organisasi kelaskaran timbul secara spontan, dan memilih pemimpinnya sendiri, serta terjun ke medan gerilya melawan kolonialisme Belanda.
[48] Kondisi politik di Surakarta mencekam, karena masih diwarnai ketegangan-ketegangan antara Keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan laskar-laskar perjuangan.
Gambaran ini menunjukkan situasi Surakarta tersekat dalam badan perjuangan dan kelaskaran yang terbelah dalam tiga kekuatan politik, yakni pro Soekarno-Hatta, pro Tan Malaka (komunis), dan pro kemapanan (pangreh praja dan aristokrat). Kaum nasionalis meragukan pemikiran PB XII dan Mangkunegoro VIII. Dalam hubungannya dengan pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa pematangan ideologi nasional akan melalui episode yang meliputi interaksi, saling mempengaruhi, dan jalinan ikatan politik.
[49] Namun, pada tiap episode menumbuhkan konflik atau kekerasan.[50]
Pemikiran politik Eberhard dan Carniero ditransformasikan pada revolusi di Surakarta adalah:
Bagan 4:
Struktur Interaksi PB XII, Badan Perjuangan dan Kelaskaran
terhadap Pematangan Ideologi Politik Nasional 1945-1950
Mengutip pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa konflik, kekerasan, bahkan peperangan tidak dimaksudkan melemahkan ideologi nasional yang sudah terbentuk, tetapi justru menjadi alat untuk menaklukkan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan arus ideologi nasional.
[51] Banyak kelompok politik dan masyarakat yang telah lama berkenalan dengan ideologi modern, dan digunakan dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan muncul episode baru, yaitu pematangan ideologi nasional. Dalam proses pematangan itu sering kali muncul konflik dan kekerasan antar kelompok politik dengan basis ideologi yang telah mereka diyakini, baik tradisionalisme Jawa, Islamisme, nasionalisme radikal, sosialisme-demokrat, maupun komunisme.
[52]
Konflik antar kelompok politik sepanjang revolusi nasional 1945-1950, pada satu sisi, telah membelah kekuatan politik nasional dalam aliran-aliran politik, namun pada sisi lain, revolusi nasional 1945-1950 justru merupakan episode yang memperkokoh kedaulatan RI sebuah negara-bangsa modern yang mencitrakan pemikiran sosialis,
[53] Sementara itu George McTurnan Kahin melihat faktor penting dari revolusi nasional adalah hasil psikologis yang membawa perubahan yang berarti dan sangat luas dalam membentuk karakter bangsa Indonesia, baik berkaitan dengan martabat bangsa, harga diri, dan percaya diri yang tumbuh secara cepat selama masa perjuangan kemerdekaan.
[54] Ketiga kekuatan politik muncul bersamaan setelah dikumandangkan proklamasi, bahkan ketiga kekuatan politik berkembang cepat di daerah. Di Surakarta, setelah Komite Nasional Daerah (KND) terbentuk pada tanggal 1 Oktober 1945, pemerintah pusat menunjuk R. Pandji Soeroso sebagai Komisaris Tinggi Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, R. Pandji Soeroso membentuk pemerintah kolektif yang diketuai sembilan orang, yaitu lima orang dari KND, dan empat orang dari Kasunanan dan Mangkunegaran.
[55] Rupanya, pemerintahan kolektif tidak mencapai kata sepakat, karena Kasunanan dan Mangkunegaran tidak mengirimkan wakilnya, serta beranggapan bahwa wewenang pembentukan pemerintah daerah berada di tangan pemerintah pusat. Sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII menimbulkan friksi antar elit politik, baik di dalam maupun di luar istana. Kekhawatiran mendalam kelompok politik kemapanan adalah bila proklamasi memicu munculnya reformasi sosial.
[56] Lebih lanjut George McTurnan Kahin mengemukakan:
…most of the aristocratic element became alarmed over the tendency toward social reform displayed by many of these same members. With only twenty representatives in the Parliament, and even a few of these inclined to advocate progressive social legislation, most aristocrats felt their positions and their prerogatives insecure. Moreover their Dutch advisers and Dutch civil servants had implanted in the minds of most of them the firm conviction that the Republic stood for immediate abolishment of their power and wealth. Most of them, particularly those who had replaced the actively pro-Republican rajahs and karaengs in 1946, felt that the security of their positions demanded the retention of ultimate Dutch authority in East Indonesia. Thus they were easily convince of the necessity of building up a state as completely dicorved from the Republican areas of Indonesia as possible and possessed of a
constitutional structure that would insure them an unassailably dominant position therein
.[57]
Peristiwa di atas dapat ditarik pengertian bahwa PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak bersikap toleran terhadap kemerdekaan maupun ideologi nasional. Keangkuhan itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai rasa persaudaraan sebangsa (
ukhuwah wathoniyah
), sesama manusia (ukhuwah basyariyah), dan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah
). Nilai persaudaraan itu merupakan nilai solidaritas (ashabiyyah) yang sudah terbentuk, bahkan
ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi pijakan Muslim menghadapi kolonialisme Belanda. Simpulan bahwa sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII dapat memicu gejolak sosial di Surakarta. Kedua elit melakukan kesalahan diplomasi pada masa revolusi kemerdekaan, dan kesalahan itu bermuara pada tiadanya kematangan berpikir, serta tiadanya upaya mendalami perubahan perpolitikan nasional dan lokal.
[58]
Mobilisasi kekuatan politik pasca proklamasi melalui badan perjuangan dan kelaskaran adalah embrio tentara nasional yang sengaja tidak diformalkan oleh negara. Hal ini untuk menghindari tekanan politik dari militer sekutu. Ketika konflik antar elit politik sudah merebak di Surakarta, badan perjuangan dan kelaskaran bersatu-padu dan melakukan gerakan politik anti-swapraja.
[59] Rasa tidak puas masyarakat disertai dengan kemacetan pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan hal ini memperuncing konflik sosial di Surakarta. Pada 14 April 1946, pemerintah pusat menghapus pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan menyerahkan pembentukan pemerintah daerah kepada Kasunanan dan Mangkunegaran.
[60] Tindakan ini makin memperuncing konflik sosial. Untuk meredakan konflik sosial, Menteri Dalam Negeri Sudarsono memerintahkan penangkapan Kolonel Sutarto dan dr. Moewardi.
Kerumitan politik di Surakarta memaksa pemerintah pusat mengambil keputusan Surakarta menjadi pemerintah kota dan karesidenan, pada 15 Juli 1946. Pembentukan ini dipandang mewakili keinginan pemuda, pelajar dan elit politik. Meski sudah terbentuk pemerintahan kota dan karesidenan pergolakan kelompok politik tetap berlangsung. Fenomena politik ini dilatarbelakangi tindakan sepihak Kasunanan dan Mangkunegaran membentuk pemerintahan sendiri secara illegal dengan dukungan tentara Belanda. Keberadaan tentara Belanda di Surakarta merupakan perluasan politik setelah ibu kota RI berkedudukan di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda, pada 19 Desember 1948.
D. Kesimpulan
Perubahan paradigma politik partisipasi massa yang berlangsung di Kasunanan adalah desakralisasi kekuasaan yang ditempatkan pada keinginan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai landasan politik. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang interaksi dan komunikasi antara kerabat keraton dengan kelompok sosial di luar tembok istana, sehingga tercipta kohesi dan solidaritas (
ashabiyyah). Sepeninggal PB X, desakralisasi kekuasaan mengalami kemacetan, karena PB XII dan Mangkunegoro VIII berkeinginan membentuk pemerintahan swapraja yang didukung pasukan Belanda. Pemikiran politik ini sama sekali tidak memiliki nuansa kemanusiaan, dan dalam waktu cepat muncul kekerasan politik antara kelompok kemapanan dan badan perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict & Audrey Kahin (ed.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62,Ithaca,New York: Cornell ModernIndonesia Project,CornellUniversity, 1982.
Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
,Jakarta: Gramedia, 1982.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam,Jakarta: Paramadina, 2000.
Buwana X, Paku, Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981);
Coleman, James S., Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowati & Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2008.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas, 2004.
Feith, Herbert, & Lance Castle (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Min Yubhaar,Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture,London:Hutchinson, 1975.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan: Pedati, 2004.
Hadisiswaja, Asnawi, Soerakarta Adiningrat,Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia,Ithaca,New York:CornellUniversity Press, 1952.
Kamdani (peny.), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, Yogyakarta: Pustaka relajar, 2007.
Kartodirdjo, Sartono, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Larson, George D., Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942
, a.b. A.B. Lapian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press & KITLV, 1990.
Leege, David C. & Lyman A. Kellstedt (eds.), Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, Jakarta: YOI, 2006.
Leksana, Wangsa, Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939).
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
McVey, Ruth T. (ed.), Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory
,New Haven:YaleUniversity Press, 1978.
Miert, Hans van, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003.
Nursam, M., Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, a.b. M. Imam Aziz,Yogyakarta: LKiS, 2005.
& Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, a.b. Bernard Hidayat,Jakarta: YOI, 2007.
, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
Pemberton, John, Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo,Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Reid, Anthony, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Ricklefs, M.C., “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, Archipel, Vol. I, No. 56, 1998.
, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
,Honolulu: Allen & Unwin, andUniversity ofHawai’i Press, 1998.
Saleh, Mohammad, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta,Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, a.b. Hilmar Farid,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abraham Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta
,Surakarta: LPTP, 1999.
Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Yayasan untukIndonesia, 2000.
Sontoprodjo, Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939
,Surakarta: tanpa penerbit, 1990.
Suryo, Djoko, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1980.
Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978.
Toer, Pramoedya Ananta, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
, Malang: Bayumedia, 2005.
* Staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret.
[1]Isi Verklaring 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau
enclave; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman,
Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah
lungguh
direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan (surambi masjid dan
surambi kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,
Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson,
Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942
, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,
Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926
, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
[2]Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba’ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga
Rijksstudiefond, dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu
sentana, abdi dan kawula dalem yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana,
Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja,
Soerakarta Adiningrat, (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X,
Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X
[sic.] 1893-1939, (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).
[3]Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),
Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer,
Sang Pemula, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.
[4]Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar
Pembrita Betawi, dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu tentangnya. Lihat Pramoedya Ananta Toer,
op. cit., pp. 48-54.
[5]Ibid., pp. 159-172.
[6]George D. Larson, op. cit., p. 41.
[7]Ibid., pp. 66-69.
[8]Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abrahan Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta, LPTP, 1999), p. 23; Cf. Rosihan Anwar,
Semua Berawal Dengan Keteladanan: Catatan Kritis
, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), p. 121.
[9]Masjid yang dikunjungi PB X meliputi: (1) masjid-masjid di sekitar Kota Surakarta yang menjadi wilayah Kasunanan; (2) masjid di kawasan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo; (3) masjid di kawasan Kalioso, Karanganyar; dan (4) masjid di kawasan Banyudono, Boyolali. Pada umumnya, Sunan mengunjungi masjid-masjid di kawasan pedesaan. Hal ini merupakan upaya membangun komunitas epistemik di pedesaan. Basismassa ini penting artinya, karena kemapanan pamor dan kebesarannya akan terjaga di kawasan itu. Bahkan ketika kereta api yang membawanya keYogyakarta, dan berhenti sejenak di Stasiun Klaten, masyarakat sekitar berdesak-desakan untuk menyaksikan dan memberi penghormatan.
[10]Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 10.
[11]Karno Sontoprodjo, op. cit., pp. 113-114.
[12]Asnawi Hadisiswaja, op. cit., pp. 3-4.
[13]Ibid, pp. 4-5.
[14]Lihat Ruth McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, in Benedict Anderson & Audrey Kahin (ed.),
Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62, (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1982), pp. 84-91; Cf. Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Mien Yubhaar, , (Jakarta: LP3ES, 1988), pp. 8-9; Cf. Zuly Qodir,
Islam Syariat vis a vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 71-75.
[15]Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004), p. 19.
[16]Merle C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, dalam
Archipel, Vol. I, No. 56, 1998, pp. 469-482; lihat pula M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
, (Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai’i Press, 1998), pp. xvii-xix; Cf. Abdurrahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi
, (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 55-58.
[17]George D. Larson, op. cit., p. 223.
[18]PB XI berkuasa pada 1939-1944 menyerah secara nista kepada pejabat-pejabat pendudukan Jepang di Surakarta. Sikap politik ini bertolak belakang dengan sikap ayahandanya. Lihat John Pemberton,
Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), p. 155.
[19]George D. Larson, op. cit., pp. 292-293.
[20]Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, “Pendahuluan”, dalam Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.),
Politik Lokal di Indonesia, a.b. YOI, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp. 1-15.
[21]Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (London: Hutchinson, 1975), pp. 259-269.
[22]Ibid., pp. 277-285.
[23]Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), pp. 255-322, 349-396, 416-529.
[24]George D. Larson, op. cit., pp. 126-130.
[25]Ibid., pp. 36-39.
[26]James L. Guth & John C. Green, “Arti Penting Agama: Konsep Inti ?”, dalam David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (eds.),
Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: YOI, 2006), pp. 253-266.
[27]James S. Coleman mengemukakan bahwa meluasnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dapat memacu mereka merenungkan kembali keburukan dan kelemahan kebijakan kolonial, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi. Lihat James S. Coleman,
Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie & Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2008), pp. 565-570.
[28]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[29]Yang dimaksud dengan keselarasan politik adalah berinisiatif memberi dukungan simbolik terhadap organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Lihat Ahmad Fuad Fanani,
Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), pp. 139-140.
[30]Ibid., p. 140.
[31]James S. Coleman, loc. cit.
[32]Ibid.
[33]Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, Sebuah Pendekatan Islam”, dalam Kamdani (peny.),
Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 15-17.
[34]George D. Larson, op. cit., pp. 113-288; lihat pula Hans van Miert, op. cit., pp. 186-460.
[35]Ahmad Fuad Fanani, loc. cit.
[36]Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
, (Jakarta: Gramedia, 1982), p. 53.
[37]Ibid.
[38]Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 5.
[39]Ibid.
[40]Ibid, pp. 4-5.
[41]Ibid., pp. 6-7.
[42]Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 35.
[43]Sartono Kartodirdjo, op. cit., p. 12.
[44]Djoko Suryo, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1985, p. 23.
[45]Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978, pp. 16-24; lihat pula M. Nursam,
Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa
, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), p. 89.
[46]Ibid.
[47]Ibid., pp. 89-90.
[48]Ibid., p. 90.
[49]Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial
, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan:Pedati, 2004), pp. 311-318.
[50]Ibid., pp. 316-318.
[51]Ibid., p. 316.
[52]Lihat Herber Feith, “Pengantar”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.), op. cit., pp. liii-lix.
[53]Adrian Vickers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
[54]George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1963), p. 470.
[55]Mohammad Saleh, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta, (Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956), p. 1.
[56]George McTurnan Kahin, op. cit., pp. 364-365.
[57]Ibid.
[58]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[59]Ibid., p. 571. Partai politik dan badan perjuangan yang terlibat gerakan anti-swapraja adalah PKI, PNI, Murba, PSI, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Barisan Banteng yang dipimpin dokter Moewardi. Partai dan badan-badan perjuangan itu menyatukan diri, dan membentuk gerakan anti-swapraja.
[60]Ibid.
Awal abad XX, gerakan perubahan-perubahan telah berlangsung di Kasunanan, terutama perubahan paradigma politik dari perspektif tradisional menuju perspektif partisipasi massa. Sunan Paku Buwana (PB) X menyadari bahwa perubahan paradigma politik amat penting untuk mempertahankan eksistensi politik Kasunanan.
Verklaring-verklaring yang ditandatangani raja-raja sebelumnya, termasuk verklaring
1893 yang dia tandatangani mempersempit ruang gerak politik, bahkan Undang-Undang Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja.[1] Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol politik yang sifatnya recollection (eling lan waspada) dan reawakening (membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, sosial, maupun politik.[2] Sementara itu dalam bidang politik Sunan membangun komunikasi dan jejaring dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan
incognito atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.
Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk menyampaikan pesan dan cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,
Bromartani, yang sedang menghadapi kesulitan manajemen.
[3] Bromartani terbit pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak menggugah dan mengungkapkan kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoerjo. Tawaran mengelola
Bromartani
dimaksudkan bersedia menuangkan pemikiran politik pada mingguan tersebut untuk membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial.
[4]
Komunikasi simbolik antara Sunan dan Tirtoadhisoerjo menuai hasil berdirinya SDI Surakarta yang secara yuridis cabang SDI Bogor.
[5] Organisasi ini didirikan Tirto dan Samanhudi, dan dalam perkembangannya SDI berubah menjadi SI. A.P.E. Korver berpendapat bahwa berdirinya SI merupakan sikap antipati pengusaha muslim terhadap kaum bangsawan.
[6] Kelemahan A.P.E Korver tidak melihat adanya perbedaan antara bangsawan
protagonis (pendukung pergerakan kebangsaan) dan
status quo (pendukung Belanda). Pemikiran antipati pengusaha Muslim perlu ditempatkan kepada priyayi pangreh praja yang mempertahankan
status quo. Dukungan PB X terhadap organisasi pergerakan dapat dilihat diizinkannya P. Hangabehi dan RMA. Woerjaningrat (putera dan menantu) menjadi anggota kehormatan dan pelindung SI.
[7] Dalam perlawatan Sunan dipandang pendiri SI. Persepsi ini menguntung SI,
[8] sehingga dikatakan sinergi priyayi protagonis dan Muslim telah memacu masyarakat memasuki dunia politik.
Selain dukungan terhadap organisasi politik, Sunan menembus basis massaakar rumput melalui bantuan ke masjid-masjid.
[9] Dua hal yang hendak dicitrakan, yakni citra kharisma dan citra agama. Perlawatan politik ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Sumbawa merupakan strategi membangun citra kharisma. Kharisma adalah tampilan kualitas individu untuk menempatkan individu sebagai otoritas simbolik yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat, dan citra kharisma itu muncul ketika individu diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok sosial.
[10] Kunjungan ke masjid untuk memberi bantuan, dan mereproduksi identitas Islam. Identitas itu untuk: (1) menilai kegagalan negara kolonial, (2) memperluas jejaring sosial dan politik guna mempertebal rasa kebersamaan, (3) memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kehidupan sosial maupun politik. Yang menggelitik adalah mengapa pengganti PB X tidak mampu meneruskan pemikiran politiknya?.
B. Memudarnya Kewibawaan Elit Kasunanan
Gejala-gejala kemunduran atau disorientasi pemikiran politik di lingkungan istana sudah tampak sejak kesehatan Sunan merosot. Sejak berusia 32 tahun Sunan sudah mengidap penyakit ginjal, dan tidak berusaha menekuni hidup sehat, sehingga penyakit yang diidap makin menggerogoti organ tubuhnya.
[11] Pada usia 70 tahun Sunan tidak mampu melakukan perlawatan politik. Dua bulan sebelum wafat penyakit Sunan makin parah.
[12] Dokter keraton, Dr. R. Moehammad Saleh, serta dokter Belanda, Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom dan Dr. Block, menunggui Sunan di pesanggrahan Paras, Boyolali, hingga wafat pada tanggal 20 Februari 1939, jam 07.30.
[13] Pada dasarnya, disorientasi pemikiran politik yang melanda putera-putera Sunan seiring dengan makin kuat tekanan politik kolonial yang diwujudkan dalam sistem politik
beamtenstaat[14]antaratahun 1920-an hingga 1930-an. Ruth McVey memandang bahwa
beamtenstaat sebagai ‘the state as efficient bureaucratic machine’. Maksudnya, birokrasi negara kolonial diurusi pegawai pemerintah kolonial, baik pada birokrasi
Binnenlandsbestuur maupun Inlandschbestuur, yang didukung oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda yang berfungsi memapankan birokrasi serta mengisolasi pergerakan politik. Sistem ini memandulkan politik elit istana, dan berakibat PB XI dan PB XII tidak piawai bermain politik seperti halnya PB X.
[15]
Ada tiga persoalan yang mendorong disorientasi politik di lingkungan istana, yakni:
(1) Sejak tahun 1936 kesehatan PB X makin menurun. Usia 70 tahun terlalu berat untuk melakukan kegiatan politik, baik menghadapi kekuatan kolonial yang menggerogoti otoritas kekuasaan maupun nasionalis garis keras yang menyangsikan visi politik. Secara simbolik PB X berkehendak menyatukan kekuatan Islam dan nasionalis. Sinergi dua kekuatan politik itu mengikuti gaya politik Sultan Agung (SA) dalam menghimpun legitimasi politik dan menggalang kekuatan massa. Sinergi dua kekuatan politik dipandang dapat mengatasi persoalan sosio-budaya, sosio-ekonomi, dan sosio-politik yang dihadapi masyarakat.
[16] PB X mentransformasikan dalam perlawatan politik yang secara simbolik menyuarakan sinergi Islam, Jawa, dan nasionalis. Perlawatan politik terakhir adalah mengunjungi Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan Lampung, pada bulan Januari hingga awal bulan Februari 1935.
[17]
(2) Putera mahkota, P. Hangabehi, tidak memiliki visi politik. Kegiatannya dalam dunia politik didorong oleh P. Hadiwidjojo dan RMA. Woerjaningrat. Residen A.J.W. Harloff (1918-1922) memandang putera mahkota sebagai sosok yang tidak memiliki visi politik. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Hoesein Djajadiningrat bahwa hampir semua pangeran [putera raja] tidak punya visi politik, hanya Koesoemojoedo dan Soerjohamidjojo yang mampu memahami politik lokal. Keterlibatan dua pureta Sunan dalam politik lokal bersama Woerjaningrat [menantu Sunan] mengakibatkan provokasi-provokasi politik yang dilakukan Residen Harloff bahwa Koesoemojoedo dan Woerjaningrat menghasut Sunan untuk melawan terhadap Belanda di Surakarta. Kegiatan politik praktis yang dilakukan sebagian besar putera Sunan mendorong pemerintah memilih Hangabehi sebagai putera mahkota. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Hangabehi tidak memiliki visi politik, patuh dan tunduk, serta ‘berserah diri’ kepada pemerintah Belanda.
[18] PB X sejak semula kurang setuju pengangkatan Hangabehi sebagai putera mahkota, dan lebih memilih Koesoemojoedo. Dalam pandangan Van Wijk dan Sollewijn Gelpke bahwa Koesoemojoedo berkepribadian yang sulit dipahami, dan pemikiran politiknya cenderung ke kiri, yakni sosialisme.
[19]
Kepiawaian Koesoemojoedo berpolitik, dan simpati Sunan kepadanya menimbulkan persaingan internal yang tidak menguntungkan, memicu kemandulan politik, dan munculnya friksi dalam istana yang berpengaruh terhadap politik lokal Surakarta.
[20]
Ikatan dan sinergi politik yang dirintis PB X melalui ‘perlawatan politik’ menjadi tidak berarti, karena persaingan memacu faksi politik yang melemahkan politik Kasunanan. Munculnya faksi politik merupakan kendala serius terhadap politik sipil yang diproyeksikan untuk meraih ‘kesepadanan’ antara pribumi dan penguasa kolonial.
[21]
Jalan terbaik untuk mempercepat ‘kesepadanan’ adalah mewujudkan ‘revolusi integratif’ yang berperan menjembatani pemikiran ‘lama’ yang berpijak pada primordialisme, serta mengganti dengan pemikiran ‘baru’ yang berpijak pada persatuan dan kesatuan.
[22]
(3) Pada tahun 1915, Residen F.P. Sollewijn Gelpke menetapkan keputusan bahwa RA. Djojonagoro ditunjuk sebagai patih RAA. Sosrodiningrat (1889-1915). Sebelum menduduki jabatan patih, RA. Djojonagoro adalah bupati nayoko, dan Djojonagoro putera patih RAA. Sosrodiningrat. Penunjukkan secara sepihak menimbulkan ketidakpuasan kerabat keraton, mengingat peran Djojonagoro tidak sepadan dengan Woerjaningrat.
[23] Woerjaningrat, Koesoemojoedo, dan Soerjohamidjojo adalah elit keraton yang paling aktif dalam politik pergerakan, meskipun pejabat Belanda memandang ketiga elit itu sosok yang paling licik dan berambisi.
[24] Penunjukkan RA. Djojonagoro memungkinkan pemerintah kolonial Belanda melanjutkan praktek politik yang menempatkan birokrasi kepatihan dalam bayang-bayang kolonial, dan praktek politik ini mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap aktivis-aktivis politik pergerakan. Menurut Larson pejabat kepatihan yang dipilih pemerintah adalah pejabat yang berkepribadian lemah, mengabaikan kepentingan Kasunanan dan masyarakat.
[25]
Setelah PB X wafat digantikan putera mahkota, bergelar PB XI (1939-1944). Perubahan kekuasaan justru mengendurkan peran politik Kasunanan dalam pergerakan kebangsaan, karena PB XI ‘menjauhkan diri’ dari percaturan politik lokal. Ketika masih berstatus sebagai putera mahkota, PB XI aktif dalam organisasi pergerakan, dan menjabat sebagai ketua [kehormatan] SI. Sebaliknya setelah naik tahta, PB XI tidak mampu meletakkan kekuasaan pada spektrum sosial [kemasyarakatan]. Secara simbolik tidak dapat mencari titik temu penampilan politik istana dalam pergerakan kebangsaan. Sikap ini bertolak belakang dengan visi politik PB X. Sunan mampu mendirikan berbagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, di antaranya adalah lembaga pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, sosial, hiburan, dan mendukung organisasi politik SI dan BO di Surakarta. Interaksi PB X dengan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik dapat diamati pada bagan di bawah ini:
Bagan 3:
Struktur Interaksi Paku Buwana X, Pendidikan, dan Pergerakan Kebangsaan
Bagan di atas menunjukkan bahwa PB X merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menoreh sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada konteks kolaborasi dengan kolonial dalam mempertahankan kekuasaan, tetapi merekonstruksi ‘batin’ kemanusiaan untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi mendirikan lembaga pendidikan Islam dan umum (Madrasah Mamba’ul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok Islam pinggiran. Pendirian lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum, yang mendapat dukungan elit politik keraton ditafsirkan sebagai tindakan politis untuk mendekonstruksi politik, yakni dari paradigma politik tradisional menuju paradigma politik partisipasimassa. Konsekuensi perubahan tersebut adalah keharusan memberikan dukungan simbolik terhadap organisasi ekonomi (SDI) dan organisasi politik (SI dan BO) yang tumbuh diSurakarta. Pada sisi lain, tindakan itu memperkuat akses ekonomi rakyat turut pula memperkuat politik partisipasimassa. Akses ekonomi rakyat meliputi pembangunan ruang publik (Taman Sriwedari), jembatan Jurug, Bacem, dan Mojo, mendirikan bank, rumah sakit dan apotik, serta membangun Pasar Gedhe Hardjonagoro.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam yang diakui pemerintah Belanda justru memacu kelompok politik pinggiran memperkuat nilai-nilai keislaman untuk dijadikan landasan orientasi politik.
[26] Dengan demikian rakyat terdorong melakukan gerakan politik perlawanan, dan menarik legitimasi yang [kemungkinan] pernah disalurkan kepada pemerintah kolonial.
[27] Pemberdayaan kelas sosial menengah-bawah dalam bidang pendidikan dan ekonomi, berimbas pada pemberian legitimasi politik terhadap elit istana [Sunan dan kerabat istana]. Pendirian madrasah yang ‘diskenario’ oleh Pengulu Tapsiranom dan Kiai Idris (Pesantren Jamsaren) memacu persinggungan wacana politik, karena kebijakan politik etis dan Undang-Undang Desentralisasi 1903 yang diberlakukan merupakan struktur yuridis terbukanya peluang politik. Dengan demikian pendidikan, struktur ekonomi, peluang politik, dan persinggungan wacana politik menghadirkan tuntutan ‘kesepadanan politik’, yang membangkitkan perlawanan.
Perubahan tragis terjadi setelah PB X wafat, mengingat para penggantinya tidak mampu melanjutkan struktur peluang politik. Struktur peluang politik dan wacana politik pergerakan adalah simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda. PB XI yang hanya berkuasa sekitar 5 tahun lebih suka menahan diri, dan tunduk kepada Pemerintah Pendudukan Jepang di Surakarta. Sementara itu, PB XII (1944-2005) terperosok pada kesalahan diplomasi sepanjang masa revolusi kemerdekaan.
[28]
Kedua raja tidak mampu melakukan sinergi asosiasif dengan kekuatan sosial maupun politik, sehingga muncul kemacetan kesinambungan politik antara istana dan kaum nasionalis. Visi politik PB XII semu dan sesaat, serta tidak berusaha menciptakan keselarasan politik.
[29] Dalam sejarah Kasunanan hanya beberapa raja yang mampu memperjuangkan substansi Islam, khususnya memberdayakan bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
[30]
Pada sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, supra sistem berada di tangan
Binnenlandsbestuur, sedangkan pada tingkat lokal berada di tangan Inlandschbestuur. Sistem ketatanegaraan itu jelas memandulkan otoritas kekuasaan kerajaan tradisional. Dengan struktur itu, kebijakan apapun yang ditempuh kerajaan-kerajaan tradisional tidak berpengaruh terhadap kehidupan rakyat,
[31] meski kebijakan yang ditempuh menciderai hati rakyat. Berpijak pada struktur semacam ini rakyat tidak dapat menarik legitimasi politik atau menjatuhkan kekuasaan raja-raja tradisional, sebaliknya rakyat harus menarik legitimasi politik yang pernah disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda, karena pemerintah itu yang mengelola sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.
[32]
Dalam perspektif politik Islam, penarikan legitimasi politik yang disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda merupakan kewajiban Muslim guna menegakkan kehormatan dan harga diri, mendorong kemandirian lingkungan sosial (
self-reliance), berswasembada (
self-sufficiency), serta mempertahankan diri (self-defence).[33]
Tindakan politik PB XI dan PB XII justru menimbulkan sinergi negatif dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berda di dalam istana maupun di luar istana. Keterlibatan putera dan menantu PB X [Koesoemojoedo, Soerjomihardjo, dan Woerjaningrat] dalam politik pergerakan diasumsikan PB XI dan PB XII merupakan kegiatan pribadi. Tiga aristokrat itu sangat aktif dalam organisasi politik, baik di SI, BO, Politiek Econimische Bond (PEB), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Jong Java, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), maupun Partai Indonesia Raya (Parindra).
[34]
Dalam pandangan sejarah, kegiatan politik tiga aristokrat itu justru mewakili institusi Kasunanan. Dengan demikian pandangan negatif PB XI dan PB XII terhadap tiga aristokrat itu mengindikasikan kemunduran kepemimpinan raja tersebut, karena: (1) perubahan kekuasaan tidak sinergis dengan paradigma politik partisipasi massa. Penguasa baru bertahan pada paradigma politik tradisional, menerima eksistensi kolonial untuk keberlangsungan kekuasaannya, dan bukan untuk kepentingan politik bangsa; (2) perubahan paradigma berakibat kekuasaan raja bersifat semu dan sesaat, serta tidak menciptakan keselarasan politik;
[35] (3) kegiatan politik Koesoemojoedo, Soerjomihadjo, dan Woerjaningrat dipandangnya mewakili diri sendiri, bukan institusi Kasunanan; (4) meski ketiga aristokrat berperan aktif dalam organisasi politik pergerakan, dalam kenyataannya tidak dapat merubah orientasi politik PB XI dan PB XII.
Pemikiran politik PB XI dan PB XII berbanding terbalik dengan pemikiran Hamengku Buwana (HB) IX. Ketika dinobatkan sebagai Sultan, dia berucap:
Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Weterse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot en harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen.
Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werk op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartingen naar mijn beste weten en kunnen.
[36]
Pernyataan itu tidak dapat dipandang primordialisme, tetapi sebuah pandangan ‘revolusioner’, karena: (1) kata ‘Jawa’ merujuk pada dirinya seorang pribumi, yang dalam konteks politik pergerakan akan berhadapan dengan kekuasaan kolonial; (2) meski Sultan berpendidikan Barat, tetapi pemikiran politik yang disumbangkan adalah untuk kepentingan bangsa [Indonesia], dan berusaha menghindari kolaborasi politik dengan pemerintah kolonial; (3) Sultan menyampaikan isyarat dirinya mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesiayang diucapkan Soekarno-Hatta disambut Sultan dengan pernyataan bahwa Kasultanan berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia (RI). Pada sisi lain, PB XII dan Mangkunegoro VIII merasa bimbang dalam memberikan keputusan. Dalam pemikiran kedua elit politik,
Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial, karena itu proklamasi 17 Agustus 1945 sepantasnya menetapkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah swapraja. Keinginan PB XII menghidupkan kembali simbol pemerintahan kerajaan mendapat reaksi keras dari golongan intelektual, pemuda, dan elit politikSurakarta. Mereka kemudian membangun ikatan politik yang berpijak pada ideologi nasional dan memobilisasi kelompok-kelompok sosial-politik, sehingga gerakan mereka memacu gerakan anti-swapraja.
Perjuangan Sultan tidak terbatas pada keinginannya berada di bawah kekuasaan RI, tetapi juga meminta kepada Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kepemimpinan republik untuk ‘hijrah’ ke Yogyakarta. Dalam pemikirannya Jakarta dan sekitarnya maupun Bandung dan sekitarnya sudah dikuasai tentara NICA (
Netherlands Indies Civil Administration
).[37] NICA adalah pasukan sekutu yang diberi tugas untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia setelah pengakuan kekalahan Jepang, pada tanggal, 14 Agustus 1945. Tindakan ini ditujukan untuk menghindari adu-domba pejabat NICA, dan mencegah pencideraan nasionalis terhadap revolusi kemerdekaan yang sedang berjalan. Dalam konteks pemikiran politik Islam, bergabung Sultan di bawah kekuasaan RI dan meminta pemimpin republik ‘hijrah’ ke Yogyakarta merupakan cermin pemikiran
jihad, yang mengutamakan kesucian tindakan politik. Rupanya, motif pemikiran tersebut adalah keinginan membebaskan diri [bangsa] melalui jalan revolusi.
C. Elit Kasunanan Tersudut Gerakan Revolusi
Kaum nasionalis mempertahankan proklamasi kemerdekaan melalui dua cara, yakni diplomasi politik dan gerakan revolusi.
[38] Gerakan revolusi makin kuat setelah terbentuknya ikatan ideologi, dan mobilisasi kekuatan sosial dan politik.
[39] Ikatan ideologi maupun mobilisasi kekuatan sosial dan politik merupakan konsekuensi makin meluasnya ketidakpuasan kelompok sosial dan politik terhadap jalannya diplomasi. Gejala ini justru memacu perubahan struktur politik masyarakat, dan perubahan tersebut tidak sekedar perubahan partisipasi massa atau mobilisasi massa, tetapi meluasnya konflik politik dan kekerasan dalam masyarakat, bahkan timbul revolusi sosial di beberapa daerah.
[40] Sejak proklamasi hingga bulan Desember 1945, massa revolusioner telah diorganisir dalam kelompok-kelompok politik, bertugas menjaga keamanan kota, pertahanan, bahkan merupakan kesatuan pasukan tempur. Gerakan kelompok politik itu sangat intensif di kota-kota besar, misalnya Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Melihat kondisi ini disimpulkan bahwa proklamasi kemerdekaan mendorong proses politisasi rakyat, yakni pembentukan ikatan ideologi politik nasional dan mobilisasi kekuatan massa untuk menumbangkan kelompok politik yang mempertahankan kemapanan [pangreh praja maupun aristokrat tradisional].
Perbenturan politik antara kelompok politik yang berpegang pada ideologi politik nasional dan kelompok politik kemapanan [pangreh praja dan aristokrat tradisional] memacu revolusi sosial di beberapa daerah. Daerah-daerah yang dilanda revolusi sosial meliputi Aceh, Sumatera Utara, Pekalongan, Tegal, Pemalang, Salatiga, dan Surakarta.
[41] Sejak proklamasi kemerdekaan tumbuh pula pemimpin-pemimpin yang memusatkan perjuangan tidak hanya fokus pada ideologi politik nasional, tetapi juga ideologi agama [Islam] dan marxisme. Para pemimpin membentuk badan perjuangan sendiri, bahkan melakukan infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya. Gejala politik ini makin memperkuat polarisasi politik dalam masyarakat yang berpijak pada garis ideologi politik pemimpin mereka, dan meluasnya kekerasan politik apabila infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya mengalami kegagalan. Kesemrawutan politik pada masa revolusi tidak dapat diatasi oleh pemimpin republik, karena belum berjalannya sanksi hukum yang melembaga.
Meletusnya revolusi sosial di Surakarta adalah akibat perbenturan perbedaan orientasi politik yang terprovokasi, terutama eksistensi keraton pasca proklamasi. Pemberian status swapraja terhadap Surakarta ditafsirkan PB XII memungkinkan kembali menghidupkan pemerintahan kerajaan. Pemikiran tersebut ditolak elit istana yang malang-melintang dalam politik pergerakan dan elit politik di luar tembok istana. Rupanya, Sunan tidak mampu menganalisis situasi politik nasional maupun situasi politik lokal yang sudah dikuasai badan perjuangan, bahkan slogan ‘merdeka seratus persen’ dan ‘kedaulatan rakyat’ tidak dimaknainya secara jernih.
[42] Dalam konteks badan perjuangan diSurakarta, Sartono Kartodirdjo mengemukakan:
Pada awal tahun 1946 di Sala telah diselenggarakan konggres di mana Persatuan Perjuangan didirikan dan program minimum Tan Malaka diterima. Yang dituntut 100 persen kemerdekaan, penyitaan modal Belanda, pembentukan Pemerintahan Rakyat, dan Tentara Rakyat. Program itu merupakan tantangan langsung terhadap Pemerintah RI pada waktu itu. Dalam pertentangan itu Soekarno-Hatta didukung juga oleh BPRI [Barisan Pemberontak Republik Indonesia, suatu badan perjuangan yang didirikan dr. Sutomo, dan memiliki cabang di seluruh Jawa] dan Pesindo [Pemuda Sosialis Indonesia], sedangkan Barisan Banteng dan Laskar Rakyat memihak Tan Malaka.
[43]
Gambaran tersebu menunjukkan bahwa Surakarta diselimuti kekuatan-kekuatan politik yang memacu revolusi sosial, yaitu kekuatan politik yang berada dibelakang Soekarno-Hatta, kekuatan politik komunisme/marxisme yang ingin menjatuhkan Soekarno-Hatta, dan kekuatan politik kemapanan (pangreh praja dan aristokrat tradisional) yang berkehendak membentuk pemerintahan kerajaan. Tipologi kekuatan politik masa revolusi itu identik dengan tipologi kekuatan politik tahun 1920-an yang diwakili oleh kekuatan Islam (SI), priyayi intelektual (BO), sosialisme, marxisme (ISDV dan SI-Merah), dan golongan pangreh praja yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebaliknya, tipologi kekuatan politik pasca proklamasi dikuasai badan perjuangan dan partai politik yang beraliran nasionalisme, Islamisme, sosialisme, dan marxisme.
[44] Bulan September hingga Desember 1945 adalah masa pembentukan badan dan laskar perjuangan di Surakarta. Peran badan keamanan rakyat (BKR) sangat besar dalam proses pembentukan kelaskaran. Organisasi kelaskaran yang terkenal adalah Barisan Laskar Banteng (BLB) yang dipimpin dr. Moewardi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan Laskar Rakyat.
[45] Pada tahun 1946 pembentukan laskar makin intensif, dan anggotanya adalah pelajar dari segala strata sosial yang tersebar dalam berbagai organisasi kelaskaran, seperti Laskar Tentara Pelajar, Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, Barisan Pemuda Jelata, dan BPRI.
[46]
Sejak tahun 1946 kondisi politik di Surakarta sudah matang untuk membuat alasan meletusnya revolusi sosial, karena organisasi kelaskaran sudah terbentuk hingga pedesaan, dan para anggotanya adalah pemuda desa, tokoh politik, dan pemimpin agama [Islam]. Nama laskar beraneka ragam, misalnya, Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.
[47] Organisasi kelaskaran timbul secara spontan, dan memilih pemimpinnya sendiri, serta terjun ke medan gerilya melawan kolonialisme Belanda.
[48] Kondisi politik di Surakarta mencekam, karena masih diwarnai ketegangan-ketegangan antara Keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan laskar-laskar perjuangan.
Gambaran ini menunjukkan situasi Surakarta tersekat dalam badan perjuangan dan kelaskaran yang terbelah dalam tiga kekuatan politik, yakni pro Soekarno-Hatta, pro Tan Malaka (komunis), dan pro kemapanan (pangreh praja dan aristokrat). Kaum nasionalis meragukan pemikiran PB XII dan Mangkunegoro VIII. Dalam hubungannya dengan pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa pematangan ideologi nasional akan melalui episode yang meliputi interaksi, saling mempengaruhi, dan jalinan ikatan politik.
[49] Namun, pada tiap episode menumbuhkan konflik atau kekerasan.[50]
Pemikiran politik Eberhard dan Carniero ditransformasikan pada revolusi di Surakarta adalah:
Bagan 4:
Struktur Interaksi PB XII, Badan Perjuangan dan Kelaskaran
terhadap Pematangan Ideologi Politik Nasional 1945-1950
Mengutip pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa konflik, kekerasan, bahkan peperangan tidak dimaksudkan melemahkan ideologi nasional yang sudah terbentuk, tetapi justru menjadi alat untuk menaklukkan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan arus ideologi nasional.
[51] Banyak kelompok politik dan masyarakat yang telah lama berkenalan dengan ideologi modern, dan digunakan dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan muncul episode baru, yaitu pematangan ideologi nasional. Dalam proses pematangan itu sering kali muncul konflik dan kekerasan antar kelompok politik dengan basis ideologi yang telah mereka diyakini, baik tradisionalisme Jawa, Islamisme, nasionalisme radikal, sosialisme-demokrat, maupun komunisme.
[52]
Konflik antar kelompok politik sepanjang revolusi nasional 1945-1950, pada satu sisi, telah membelah kekuatan politik nasional dalam aliran-aliran politik, namun pada sisi lain, revolusi nasional 1945-1950 justru merupakan episode yang memperkokoh kedaulatan RI sebuah negara-bangsa modern yang mencitrakan pemikiran sosialis,
[53] Sementara itu George McTurnan Kahin melihat faktor penting dari revolusi nasional adalah hasil psikologis yang membawa perubahan yang berarti dan sangat luas dalam membentuk karakter bangsa Indonesia, baik berkaitan dengan martabat bangsa, harga diri, dan percaya diri yang tumbuh secara cepat selama masa perjuangan kemerdekaan.
[54] Ketiga kekuatan politik muncul bersamaan setelah dikumandangkan proklamasi, bahkan ketiga kekuatan politik berkembang cepat di daerah. Di Surakarta, setelah Komite Nasional Daerah (KND) terbentuk pada tanggal 1 Oktober 1945, pemerintah pusat menunjuk R. Pandji Soeroso sebagai Komisaris Tinggi Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, R. Pandji Soeroso membentuk pemerintah kolektif yang diketuai sembilan orang, yaitu lima orang dari KND, dan empat orang dari Kasunanan dan Mangkunegaran.
[55] Rupanya, pemerintahan kolektif tidak mencapai kata sepakat, karena Kasunanan dan Mangkunegaran tidak mengirimkan wakilnya, serta beranggapan bahwa wewenang pembentukan pemerintah daerah berada di tangan pemerintah pusat. Sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII menimbulkan friksi antar elit politik, baik di dalam maupun di luar istana. Kekhawatiran mendalam kelompok politik kemapanan adalah bila proklamasi memicu munculnya reformasi sosial.
[56] Lebih lanjut George McTurnan Kahin mengemukakan:
…most of the aristocratic element became alarmed over the tendency toward social reform displayed by many of these same members. With only twenty representatives in the Parliament, and even a few of these inclined to advocate progressive social legislation, most aristocrats felt their positions and their prerogatives insecure. Moreover their Dutch advisers and Dutch civil servants had implanted in the minds of most of them the firm conviction that the Republic stood for immediate abolishment of their power and wealth. Most of them, particularly those who had replaced the actively pro-Republican rajahs and karaengs in 1946, felt that the security of their positions demanded the retention of ultimate Dutch authority in East Indonesia. Thus they were easily convince of the necessity of building up a state as completely dicorved from the Republican areas of Indonesia as possible and possessed of a
constitutional structure that would insure them an unassailably dominant position therein
.[57]
Peristiwa di atas dapat ditarik pengertian bahwa PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak bersikap toleran terhadap kemerdekaan maupun ideologi nasional. Keangkuhan itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai rasa persaudaraan sebangsa (
ukhuwah wathoniyah
), sesama manusia (ukhuwah basyariyah), dan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah
). Nilai persaudaraan itu merupakan nilai solidaritas (ashabiyyah) yang sudah terbentuk, bahkan
ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi pijakan Muslim menghadapi kolonialisme Belanda. Simpulan bahwa sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII dapat memicu gejolak sosial di Surakarta. Kedua elit melakukan kesalahan diplomasi pada masa revolusi kemerdekaan, dan kesalahan itu bermuara pada tiadanya kematangan berpikir, serta tiadanya upaya mendalami perubahan perpolitikan nasional dan lokal.
[58]
Mobilisasi kekuatan politik pasca proklamasi melalui badan perjuangan dan kelaskaran adalah embrio tentara nasional yang sengaja tidak diformalkan oleh negara. Hal ini untuk menghindari tekanan politik dari militer sekutu. Ketika konflik antar elit politik sudah merebak di Surakarta, badan perjuangan dan kelaskaran bersatu-padu dan melakukan gerakan politik anti-swapraja.
[59] Rasa tidak puas masyarakat disertai dengan kemacetan pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan hal ini memperuncing konflik sosial di Surakarta. Pada 14 April 1946, pemerintah pusat menghapus pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan menyerahkan pembentukan pemerintah daerah kepada Kasunanan dan Mangkunegaran.
[60] Tindakan ini makin memperuncing konflik sosial. Untuk meredakan konflik sosial, Menteri Dalam Negeri Sudarsono memerintahkan penangkapan Kolonel Sutarto dan dr. Moewardi.
Kerumitan politik di Surakarta memaksa pemerintah pusat mengambil keputusan Surakarta menjadi pemerintah kota dan karesidenan, pada 15 Juli 1946. Pembentukan ini dipandang mewakili keinginan pemuda, pelajar dan elit politik. Meski sudah terbentuk pemerintahan kota dan karesidenan pergolakan kelompok politik tetap berlangsung. Fenomena politik ini dilatarbelakangi tindakan sepihak Kasunanan dan Mangkunegaran membentuk pemerintahan sendiri secara illegal dengan dukungan tentara Belanda. Keberadaan tentara Belanda di Surakarta merupakan perluasan politik setelah ibu kota RI berkedudukan di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda, pada 19 Desember 1948.
D. Kesimpulan
Perubahan paradigma politik partisipasi massa yang berlangsung di Kasunanan adalah desakralisasi kekuasaan yang ditempatkan pada keinginan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai landasan politik. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang interaksi dan komunikasi antara kerabat keraton dengan kelompok sosial di luar tembok istana, sehingga tercipta kohesi dan solidaritas (
ashabiyyah). Sepeninggal PB X, desakralisasi kekuasaan mengalami kemacetan, karena PB XII dan Mangkunegoro VIII berkeinginan membentuk pemerintahan swapraja yang didukung pasukan Belanda. Pemikiran politik ini sama sekali tidak memiliki nuansa kemanusiaan, dan dalam waktu cepat muncul kekerasan politik antara kelompok kemapanan dan badan perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict & Audrey Kahin (ed.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62,Ithaca,New York: Cornell ModernIndonesia Project,CornellUniversity, 1982.
Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
,Jakarta: Gramedia, 1982.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam,Jakarta: Paramadina, 2000.
Buwana X, Paku, Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981);
Coleman, James S., Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowati & Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2008.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas, 2004.
Feith, Herbert, & Lance Castle (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Min Yubhaar,Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture,London:Hutchinson, 1975.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan: Pedati, 2004.
Hadisiswaja, Asnawi, Soerakarta Adiningrat,Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia,Ithaca,New York:CornellUniversity Press, 1952.
Kamdani (peny.), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, Yogyakarta: Pustaka relajar, 2007.
Kartodirdjo, Sartono, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Larson, George D., Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942
, a.b. A.B. Lapian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press & KITLV, 1990.
Leege, David C. & Lyman A. Kellstedt (eds.), Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, Jakarta: YOI, 2006.
Leksana, Wangsa, Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939).
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
McVey, Ruth T. (ed.), Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory
,New Haven:YaleUniversity Press, 1978.
Miert, Hans van, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003.
Nursam, M., Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, a.b. M. Imam Aziz,Yogyakarta: LKiS, 2005.
& Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, a.b. Bernard Hidayat,Jakarta: YOI, 2007.
, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
Pemberton, John, Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo,Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Reid, Anthony, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Ricklefs, M.C., “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, Archipel, Vol. I, No. 56, 1998.
, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
,Honolulu: Allen & Unwin, andUniversity ofHawai’i Press, 1998.
Saleh, Mohammad, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta,Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, a.b. Hilmar Farid,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abraham Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta
,Surakarta: LPTP, 1999.
Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Yayasan untukIndonesia, 2000.
Sontoprodjo, Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939
,Surakarta: tanpa penerbit, 1990.
Suryo, Djoko, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1980.
Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978.
Toer, Pramoedya Ananta, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
, Malang: Bayumedia, 2005.
* Staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret.
[1]Isi Verklaring 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau
enclave; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman,
Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah
lungguh
direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan (surambi masjid dan
surambi kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,
Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson,
Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942
, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,
Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926
, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
[2]Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba’ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga
Rijksstudiefond, dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu
sentana, abdi dan kawula dalem yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana,
Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja,
Soerakarta Adiningrat, (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X,
Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X
[sic.] 1893-1939, (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).
[3]Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),
Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer,
Sang Pemula, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.
[4]Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar
Pembrita Betawi, dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu tentangnya. Lihat Pramoedya Ananta Toer,
op. cit., pp. 48-54.
[5]Ibid., pp. 159-172.
[6]George D. Larson, op. cit., p. 41.
[7]Ibid., pp. 66-69.
[8]Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abrahan Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta, LPTP, 1999), p. 23; Cf. Rosihan Anwar,
Semua Berawal Dengan Keteladanan: Catatan Kritis
, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), p. 121.
[9]Masjid yang dikunjungi PB X meliputi: (1) masjid-masjid di sekitar Kota Surakarta yang menjadi wilayah Kasunanan; (2) masjid di kawasan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo; (3) masjid di kawasan Kalioso, Karanganyar; dan (4) masjid di kawasan Banyudono, Boyolali. Pada umumnya, Sunan mengunjungi masjid-masjid di kawasan pedesaan. Hal ini merupakan upaya membangun komunitas epistemik di pedesaan. Basismassa ini penting artinya, karena kemapanan pamor dan kebesarannya akan terjaga di kawasan itu. Bahkan ketika kereta api yang membawanya keYogyakarta, dan berhenti sejenak di Stasiun Klaten, masyarakat sekitar berdesak-desakan untuk menyaksikan dan memberi penghormatan.
[10]Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 10.
[11]Karno Sontoprodjo, op. cit., pp. 113-114.
[12]Asnawi Hadisiswaja, op. cit., pp. 3-4.
[13]Ibid, pp. 4-5.
[14]Lihat Ruth McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, in Benedict Anderson & Audrey Kahin (ed.),
Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62, (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1982), pp. 84-91; Cf. Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Mien Yubhaar, , (Jakarta: LP3ES, 1988), pp. 8-9; Cf. Zuly Qodir,
Islam Syariat vis a vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 71-75.
[15]Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004), p. 19.
[16]Merle C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, dalam
Archipel, Vol. I, No. 56, 1998, pp. 469-482; lihat pula M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
, (Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai’i Press, 1998), pp. xvii-xix; Cf. Abdurrahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi
, (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 55-58.
[17]George D. Larson, op. cit., p. 223.
[18]PB XI berkuasa pada 1939-1944 menyerah secara nista kepada pejabat-pejabat pendudukan Jepang di Surakarta. Sikap politik ini bertolak belakang dengan sikap ayahandanya. Lihat John Pemberton,
Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), p. 155.
[19]George D. Larson, op. cit., pp. 292-293.
[20]Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, “Pendahuluan”, dalam Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.),
Politik Lokal di Indonesia, a.b. YOI, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp. 1-15.
[21]Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (London: Hutchinson, 1975), pp. 259-269.
[22]Ibid., pp. 277-285.
[23]Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), pp. 255-322, 349-396, 416-529.
[24]George D. Larson, op. cit., pp. 126-130.
[25]Ibid., pp. 36-39.
[26]James L. Guth & John C. Green, “Arti Penting Agama: Konsep Inti ?”, dalam David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (eds.),
Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: YOI, 2006), pp. 253-266.
[27]James S. Coleman mengemukakan bahwa meluasnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dapat memacu mereka merenungkan kembali keburukan dan kelemahan kebijakan kolonial, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi. Lihat James S. Coleman,
Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie & Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2008), pp. 565-570.
[28]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[29]Yang dimaksud dengan keselarasan politik adalah berinisiatif memberi dukungan simbolik terhadap organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Lihat Ahmad Fuad Fanani,
Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), pp. 139-140.
[30]Ibid., p. 140.
[31]James S. Coleman, loc. cit.
[32]Ibid.
[33]Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, Sebuah Pendekatan Islam”, dalam Kamdani (peny.),
Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 15-17.
[34]George D. Larson, op. cit., pp. 113-288; lihat pula Hans van Miert, op. cit., pp. 186-460.
[35]Ahmad Fuad Fanani, loc. cit.
[36]Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
, (Jakarta: Gramedia, 1982), p. 53.
[37]Ibid.
[38]Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 5.
[39]Ibid.
[40]Ibid, pp. 4-5.
[41]Ibid., pp. 6-7.
[42]Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 35.
[43]Sartono Kartodirdjo, op. cit., p. 12.
[44]Djoko Suryo, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1985, p. 23.
[45]Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978, pp. 16-24; lihat pula M. Nursam,
Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa
, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), p. 89.
[46]Ibid.
[47]Ibid., pp. 89-90.
[48]Ibid., p. 90.
[49]Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial
, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan:Pedati, 2004), pp. 311-318.
[50]Ibid., pp. 316-318.
[51]Ibid., p. 316.
[52]Lihat Herber Feith, “Pengantar”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.), op. cit., pp. liii-lix.
[53]Adrian Vickers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
[54]George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1963), p. 470.
[55]Mohammad Saleh, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta, (Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956), p. 1.
[56]George McTurnan Kahin, op. cit., pp. 364-365.
[57]Ibid.
[58]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[59]Ibid., p. 571. Partai politik dan badan perjuangan yang terlibat gerakan anti-swapraja adalah PKI, PNI, Murba, PSI, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Barisan Banteng yang dipimpin dokter Moewardi. Partai dan badan-badan perjuangan itu menyatukan diri, dan membentuk gerakan anti-swapraja.
[60]Ibid.
Awal abad XX, gerakan perubahan-perubahan telah berlangsung di Kasunanan, terutama perubahan paradigma politik dari perspektif tradisional menuju perspektif partisipasi massa. Sunan Paku Buwana (PB) X menyadari bahwa perubahan paradigma politik amat penting untuk mempertahankan eksistensi politik Kasunanan.
Verklaring-verklaring yang ditandatangani raja-raja sebelumnya, termasuk verklaring
1893 yang dia tandatangani mempersempit ruang gerak politik, bahkan Undang-Undang Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja.[1] Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol politik yang sifatnya recollection (eling lan waspada) dan reawakening (membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, sosial, maupun politik.[2] Sementara itu dalam bidang politik Sunan membangun komunikasi dan jejaring dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan
incognito atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.
Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk menyampaikan pesan dan cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,
Bromartani, yang sedang menghadapi kesulitan manajemen.
[3] Bromartani terbit pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak menggugah dan mengungkapkan kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoerjo. Tawaran mengelola
Bromartani
dimaksudkan bersedia menuangkan pemikiran politik pada mingguan tersebut untuk membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial.
[4]
Komunikasi simbolik antara Sunan dan Tirtoadhisoerjo menuai hasil berdirinya SDI Surakarta yang secara yuridis cabang SDI Bogor.
[5] Organisasi ini didirikan Tirto dan Samanhudi, dan dalam perkembangannya SDI berubah menjadi SI. A.P.E. Korver berpendapat bahwa berdirinya SI merupakan sikap antipati pengusaha muslim terhadap kaum bangsawan.
[6] Kelemahan A.P.E Korver tidak melihat adanya perbedaan antara bangsawan
protagonis (pendukung pergerakan kebangsaan) dan
status quo (pendukung Belanda). Pemikiran antipati pengusaha Muslim perlu ditempatkan kepada priyayi pangreh praja yang mempertahankan
status quo. Dukungan PB X terhadap organisasi pergerakan dapat dilihat diizinkannya P. Hangabehi dan RMA. Woerjaningrat (putera dan menantu) menjadi anggota kehormatan dan pelindung SI.
[7] Dalam perlawatan Sunan dipandang pendiri SI. Persepsi ini menguntung SI,
[8] sehingga dikatakan sinergi priyayi protagonis dan Muslim telah memacu masyarakat memasuki dunia politik.
Selain dukungan terhadap organisasi politik, Sunan menembus basis massaakar rumput melalui bantuan ke masjid-masjid.
[9] Dua hal yang hendak dicitrakan, yakni citra kharisma dan citra agama. Perlawatan politik ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Sumbawa merupakan strategi membangun citra kharisma. Kharisma adalah tampilan kualitas individu untuk menempatkan individu sebagai otoritas simbolik yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat, dan citra kharisma itu muncul ketika individu diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok sosial.
[10] Kunjungan ke masjid untuk memberi bantuan, dan mereproduksi identitas Islam. Identitas itu untuk: (1) menilai kegagalan negara kolonial, (2) memperluas jejaring sosial dan politik guna mempertebal rasa kebersamaan, (3) memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kehidupan sosial maupun politik. Yang menggelitik adalah mengapa pengganti PB X tidak mampu meneruskan pemikiran politiknya?.
B. Memudarnya Kewibawaan Elit Kasunanan
Gejala-gejala kemunduran atau disorientasi pemikiran politik di lingkungan istana sudah tampak sejak kesehatan Sunan merosot. Sejak berusia 32 tahun Sunan sudah mengidap penyakit ginjal, dan tidak berusaha menekuni hidup sehat, sehingga penyakit yang diidap makin menggerogoti organ tubuhnya.
[11] Pada usia 70 tahun Sunan tidak mampu melakukan perlawatan politik. Dua bulan sebelum wafat penyakit Sunan makin parah.
[12] Dokter keraton, Dr. R. Moehammad Saleh, serta dokter Belanda, Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom dan Dr. Block, menunggui Sunan di pesanggrahan Paras, Boyolali, hingga wafat pada tanggal 20 Februari 1939, jam 07.30.
[13] Pada dasarnya, disorientasi pemikiran politik yang melanda putera-putera Sunan seiring dengan makin kuat tekanan politik kolonial yang diwujudkan dalam sistem politik
beamtenstaat[14]antaratahun 1920-an hingga 1930-an. Ruth McVey memandang bahwa
beamtenstaat sebagai ‘the state as efficient bureaucratic machine’. Maksudnya, birokrasi negara kolonial diurusi pegawai pemerintah kolonial, baik pada birokrasi
Binnenlandsbestuur maupun Inlandschbestuur, yang didukung oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda yang berfungsi memapankan birokrasi serta mengisolasi pergerakan politik. Sistem ini memandulkan politik elit istana, dan berakibat PB XI dan PB XII tidak piawai bermain politik seperti halnya PB X.
[15]
Ada tiga persoalan yang mendorong disorientasi politik di lingkungan istana, yakni:
(1) Sejak tahun 1936 kesehatan PB X makin menurun. Usia 70 tahun terlalu berat untuk melakukan kegiatan politik, baik menghadapi kekuatan kolonial yang menggerogoti otoritas kekuasaan maupun nasionalis garis keras yang menyangsikan visi politik. Secara simbolik PB X berkehendak menyatukan kekuatan Islam dan nasionalis. Sinergi dua kekuatan politik itu mengikuti gaya politik Sultan Agung (SA) dalam menghimpun legitimasi politik dan menggalang kekuatan massa. Sinergi dua kekuatan politik dipandang dapat mengatasi persoalan sosio-budaya, sosio-ekonomi, dan sosio-politik yang dihadapi masyarakat.
[16] PB X mentransformasikan dalam perlawatan politik yang secara simbolik menyuarakan sinergi Islam, Jawa, dan nasionalis. Perlawatan politik terakhir adalah mengunjungi Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan Lampung, pada bulan Januari hingga awal bulan Februari 1935.
[17]
(2) Putera mahkota, P. Hangabehi, tidak memiliki visi politik. Kegiatannya dalam dunia politik didorong oleh P. Hadiwidjojo dan RMA. Woerjaningrat. Residen A.J.W. Harloff (1918-1922) memandang putera mahkota sebagai sosok yang tidak memiliki visi politik. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Hoesein Djajadiningrat bahwa hampir semua pangeran [putera raja] tidak punya visi politik, hanya Koesoemojoedo dan Soerjohamidjojo yang mampu memahami politik lokal. Keterlibatan dua pureta Sunan dalam politik lokal bersama Woerjaningrat [menantu Sunan] mengakibatkan provokasi-provokasi politik yang dilakukan Residen Harloff bahwa Koesoemojoedo dan Woerjaningrat menghasut Sunan untuk melawan terhadap Belanda di Surakarta. Kegiatan politik praktis yang dilakukan sebagian besar putera Sunan mendorong pemerintah memilih Hangabehi sebagai putera mahkota. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Hangabehi tidak memiliki visi politik, patuh dan tunduk, serta ‘berserah diri’ kepada pemerintah Belanda.
[18] PB X sejak semula kurang setuju pengangkatan Hangabehi sebagai putera mahkota, dan lebih memilih Koesoemojoedo. Dalam pandangan Van Wijk dan Sollewijn Gelpke bahwa Koesoemojoedo berkepribadian yang sulit dipahami, dan pemikiran politiknya cenderung ke kiri, yakni sosialisme.
[19]
Kepiawaian Koesoemojoedo berpolitik, dan simpati Sunan kepadanya menimbulkan persaingan internal yang tidak menguntungkan, memicu kemandulan politik, dan munculnya friksi dalam istana yang berpengaruh terhadap politik lokal Surakarta.
[20]
Ikatan dan sinergi politik yang dirintis PB X melalui ‘perlawatan politik’ menjadi tidak berarti, karena persaingan memacu faksi politik yang melemahkan politik Kasunanan. Munculnya faksi politik merupakan kendala serius terhadap politik sipil yang diproyeksikan untuk meraih ‘kesepadanan’ antara pribumi dan penguasa kolonial.
[21]
Jalan terbaik untuk mempercepat ‘kesepadanan’ adalah mewujudkan ‘revolusi integratif’ yang berperan menjembatani pemikiran ‘lama’ yang berpijak pada primordialisme, serta mengganti dengan pemikiran ‘baru’ yang berpijak pada persatuan dan kesatuan.
[22]
(3) Pada tahun 1915, Residen F.P. Sollewijn Gelpke menetapkan keputusan bahwa RA. Djojonagoro ditunjuk sebagai patih RAA. Sosrodiningrat (1889-1915). Sebelum menduduki jabatan patih, RA. Djojonagoro adalah bupati nayoko, dan Djojonagoro putera patih RAA. Sosrodiningrat. Penunjukkan secara sepihak menimbulkan ketidakpuasan kerabat keraton, mengingat peran Djojonagoro tidak sepadan dengan Woerjaningrat.
[23] Woerjaningrat, Koesoemojoedo, dan Soerjohamidjojo adalah elit keraton yang paling aktif dalam politik pergerakan, meskipun pejabat Belanda memandang ketiga elit itu sosok yang paling licik dan berambisi.
[24] Penunjukkan RA. Djojonagoro memungkinkan pemerintah kolonial Belanda melanjutkan praktek politik yang menempatkan birokrasi kepatihan dalam bayang-bayang kolonial, dan praktek politik ini mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap aktivis-aktivis politik pergerakan. Menurut Larson pejabat kepatihan yang dipilih pemerintah adalah pejabat yang berkepribadian lemah, mengabaikan kepentingan Kasunanan dan masyarakat.
[25]
Setelah PB X wafat digantikan putera mahkota, bergelar PB XI (1939-1944). Perubahan kekuasaan justru mengendurkan peran politik Kasunanan dalam pergerakan kebangsaan, karena PB XI ‘menjauhkan diri’ dari percaturan politik lokal. Ketika masih berstatus sebagai putera mahkota, PB XI aktif dalam organisasi pergerakan, dan menjabat sebagai ketua [kehormatan] SI. Sebaliknya setelah naik tahta, PB XI tidak mampu meletakkan kekuasaan pada spektrum sosial [kemasyarakatan]. Secara simbolik tidak dapat mencari titik temu penampilan politik istana dalam pergerakan kebangsaan. Sikap ini bertolak belakang dengan visi politik PB X. Sunan mampu mendirikan berbagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, di antaranya adalah lembaga pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, sosial, hiburan, dan mendukung organisasi politik SI dan BO di Surakarta. Interaksi PB X dengan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik dapat diamati pada bagan di bawah ini:
Bagan 3:
Struktur Interaksi Paku Buwana X, Pendidikan, dan Pergerakan Kebangsaan
Bagan di atas menunjukkan bahwa PB X merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menoreh sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada konteks kolaborasi dengan kolonial dalam mempertahankan kekuasaan, tetapi merekonstruksi ‘batin’ kemanusiaan untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi mendirikan lembaga pendidikan Islam dan umum (Madrasah Mamba’ul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok Islam pinggiran. Pendirian lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum, yang mendapat dukungan elit politik keraton ditafsirkan sebagai tindakan politis untuk mendekonstruksi politik, yakni dari paradigma politik tradisional menuju paradigma politik partisipasimassa. Konsekuensi perubahan tersebut adalah keharusan memberikan dukungan simbolik terhadap organisasi ekonomi (SDI) dan organisasi politik (SI dan BO) yang tumbuh diSurakarta. Pada sisi lain, tindakan itu memperkuat akses ekonomi rakyat turut pula memperkuat politik partisipasimassa. Akses ekonomi rakyat meliputi pembangunan ruang publik (Taman Sriwedari), jembatan Jurug, Bacem, dan Mojo, mendirikan bank, rumah sakit dan apotik, serta membangun Pasar Gedhe Hardjonagoro.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam yang diakui pemerintah Belanda justru memacu kelompok politik pinggiran memperkuat nilai-nilai keislaman untuk dijadikan landasan orientasi politik.
[26] Dengan demikian rakyat terdorong melakukan gerakan politik perlawanan, dan menarik legitimasi yang [kemungkinan] pernah disalurkan kepada pemerintah kolonial.
[27] Pemberdayaan kelas sosial menengah-bawah dalam bidang pendidikan dan ekonomi, berimbas pada pemberian legitimasi politik terhadap elit istana [Sunan dan kerabat istana]. Pendirian madrasah yang ‘diskenario’ oleh Pengulu Tapsiranom dan Kiai Idris (Pesantren Jamsaren) memacu persinggungan wacana politik, karena kebijakan politik etis dan Undang-Undang Desentralisasi 1903 yang diberlakukan merupakan struktur yuridis terbukanya peluang politik. Dengan demikian pendidikan, struktur ekonomi, peluang politik, dan persinggungan wacana politik menghadirkan tuntutan ‘kesepadanan politik’, yang membangkitkan perlawanan.
Perubahan tragis terjadi setelah PB X wafat, mengingat para penggantinya tidak mampu melanjutkan struktur peluang politik. Struktur peluang politik dan wacana politik pergerakan adalah simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda. PB XI yang hanya berkuasa sekitar 5 tahun lebih suka menahan diri, dan tunduk kepada Pemerintah Pendudukan Jepang di Surakarta. Sementara itu, PB XII (1944-2005) terperosok pada kesalahan diplomasi sepanjang masa revolusi kemerdekaan.
[28]
Kedua raja tidak mampu melakukan sinergi asosiasif dengan kekuatan sosial maupun politik, sehingga muncul kemacetan kesinambungan politik antara istana dan kaum nasionalis. Visi politik PB XII semu dan sesaat, serta tidak berusaha menciptakan keselarasan politik.
[29] Dalam sejarah Kasunanan hanya beberapa raja yang mampu memperjuangkan substansi Islam, khususnya memberdayakan bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
[30]
Pada sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, supra sistem berada di tangan
Binnenlandsbestuur, sedangkan pada tingkat lokal berada di tangan Inlandschbestuur. Sistem ketatanegaraan itu jelas memandulkan otoritas kekuasaan kerajaan tradisional. Dengan struktur itu, kebijakan apapun yang ditempuh kerajaan-kerajaan tradisional tidak berpengaruh terhadap kehidupan rakyat,
[31] meski kebijakan yang ditempuh menciderai hati rakyat. Berpijak pada struktur semacam ini rakyat tidak dapat menarik legitimasi politik atau menjatuhkan kekuasaan raja-raja tradisional, sebaliknya rakyat harus menarik legitimasi politik yang pernah disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda, karena pemerintah itu yang mengelola sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.
[32]
Dalam perspektif politik Islam, penarikan legitimasi politik yang disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda merupakan kewajiban Muslim guna menegakkan kehormatan dan harga diri, mendorong kemandirian lingkungan sosial (
self-reliance), berswasembada (
self-sufficiency), serta mempertahankan diri (self-defence).[33]
Tindakan politik PB XI dan PB XII justru menimbulkan sinergi negatif dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berda di dalam istana maupun di luar istana. Keterlibatan putera dan menantu PB X [Koesoemojoedo, Soerjomihardjo, dan Woerjaningrat] dalam politik pergerakan diasumsikan PB XI dan PB XII merupakan kegiatan pribadi. Tiga aristokrat itu sangat aktif dalam organisasi politik, baik di SI, BO, Politiek Econimische Bond (PEB), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Jong Java, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), maupun Partai Indonesia Raya (Parindra).
[34]
Dalam pandangan sejarah, kegiatan politik tiga aristokrat itu justru mewakili institusi Kasunanan. Dengan demikian pandangan negatif PB XI dan PB XII terhadap tiga aristokrat itu mengindikasikan kemunduran kepemimpinan raja tersebut, karena: (1) perubahan kekuasaan tidak sinergis dengan paradigma politik partisipasi massa. Penguasa baru bertahan pada paradigma politik tradisional, menerima eksistensi kolonial untuk keberlangsungan kekuasaannya, dan bukan untuk kepentingan politik bangsa; (2) perubahan paradigma berakibat kekuasaan raja bersifat semu dan sesaat, serta tidak menciptakan keselarasan politik;
[35] (3) kegiatan politik Koesoemojoedo, Soerjomihadjo, dan Woerjaningrat dipandangnya mewakili diri sendiri, bukan institusi Kasunanan; (4) meski ketiga aristokrat berperan aktif dalam organisasi politik pergerakan, dalam kenyataannya tidak dapat merubah orientasi politik PB XI dan PB XII.
Pemikiran politik PB XI dan PB XII berbanding terbalik dengan pemikiran Hamengku Buwana (HB) IX. Ketika dinobatkan sebagai Sultan, dia berucap:
Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Weterse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot en harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen.
Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werk op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartingen naar mijn beste weten en kunnen.
[36]
Pernyataan itu tidak dapat dipandang primordialisme, tetapi sebuah pandangan ‘revolusioner’, karena: (1) kata ‘Jawa’ merujuk pada dirinya seorang pribumi, yang dalam konteks politik pergerakan akan berhadapan dengan kekuasaan kolonial; (2) meski Sultan berpendidikan Barat, tetapi pemikiran politik yang disumbangkan adalah untuk kepentingan bangsa [Indonesia], dan berusaha menghindari kolaborasi politik dengan pemerintah kolonial; (3) Sultan menyampaikan isyarat dirinya mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesiayang diucapkan Soekarno-Hatta disambut Sultan dengan pernyataan bahwa Kasultanan berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia (RI). Pada sisi lain, PB XII dan Mangkunegoro VIII merasa bimbang dalam memberikan keputusan. Dalam pemikiran kedua elit politik,
Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial, karena itu proklamasi 17 Agustus 1945 sepantasnya menetapkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah swapraja. Keinginan PB XII menghidupkan kembali simbol pemerintahan kerajaan mendapat reaksi keras dari golongan intelektual, pemuda, dan elit politikSurakarta. Mereka kemudian membangun ikatan politik yang berpijak pada ideologi nasional dan memobilisasi kelompok-kelompok sosial-politik, sehingga gerakan mereka memacu gerakan anti-swapraja.
Perjuangan Sultan tidak terbatas pada keinginannya berada di bawah kekuasaan RI, tetapi juga meminta kepada Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kepemimpinan republik untuk ‘hijrah’ ke Yogyakarta. Dalam pemikirannya Jakarta dan sekitarnya maupun Bandung dan sekitarnya sudah dikuasai tentara NICA (
Netherlands Indies Civil Administration
).[37] NICA adalah pasukan sekutu yang diberi tugas untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia setelah pengakuan kekalahan Jepang, pada tanggal, 14 Agustus 1945. Tindakan ini ditujukan untuk menghindari adu-domba pejabat NICA, dan mencegah pencideraan nasionalis terhadap revolusi kemerdekaan yang sedang berjalan. Dalam konteks pemikiran politik Islam, bergabung Sultan di bawah kekuasaan RI dan meminta pemimpin republik ‘hijrah’ ke Yogyakarta merupakan cermin pemikiran
jihad, yang mengutamakan kesucian tindakan politik. Rupanya, motif pemikiran tersebut adalah keinginan membebaskan diri [bangsa] melalui jalan revolusi.
C. Elit Kasunanan Tersudut Gerakan Revolusi
Kaum nasionalis mempertahankan proklamasi kemerdekaan melalui dua cara, yakni diplomasi politik dan gerakan revolusi.
[38] Gerakan revolusi makin kuat setelah terbentuknya ikatan ideologi, dan mobilisasi kekuatan sosial dan politik.
[39] Ikatan ideologi maupun mobilisasi kekuatan sosial dan politik merupakan konsekuensi makin meluasnya ketidakpuasan kelompok sosial dan politik terhadap jalannya diplomasi. Gejala ini justru memacu perubahan struktur politik masyarakat, dan perubahan tersebut tidak sekedar perubahan partisipasi massa atau mobilisasi massa, tetapi meluasnya konflik politik dan kekerasan dalam masyarakat, bahkan timbul revolusi sosial di beberapa daerah.
[40] Sejak proklamasi hingga bulan Desember 1945, massa revolusioner telah diorganisir dalam kelompok-kelompok politik, bertugas menjaga keamanan kota, pertahanan, bahkan merupakan kesatuan pasukan tempur. Gerakan kelompok politik itu sangat intensif di kota-kota besar, misalnya Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Melihat kondisi ini disimpulkan bahwa proklamasi kemerdekaan mendorong proses politisasi rakyat, yakni pembentukan ikatan ideologi politik nasional dan mobilisasi kekuatan massa untuk menumbangkan kelompok politik yang mempertahankan kemapanan [pangreh praja maupun aristokrat tradisional].
Perbenturan politik antara kelompok politik yang berpegang pada ideologi politik nasional dan kelompok politik kemapanan [pangreh praja dan aristokrat tradisional] memacu revolusi sosial di beberapa daerah. Daerah-daerah yang dilanda revolusi sosial meliputi Aceh, Sumatera Utara, Pekalongan, Tegal, Pemalang, Salatiga, dan Surakarta.
[41] Sejak proklamasi kemerdekaan tumbuh pula pemimpin-pemimpin yang memusatkan perjuangan tidak hanya fokus pada ideologi politik nasional, tetapi juga ideologi agama [Islam] dan marxisme. Para pemimpin membentuk badan perjuangan sendiri, bahkan melakukan infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya. Gejala politik ini makin memperkuat polarisasi politik dalam masyarakat yang berpijak pada garis ideologi politik pemimpin mereka, dan meluasnya kekerasan politik apabila infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya mengalami kegagalan. Kesemrawutan politik pada masa revolusi tidak dapat diatasi oleh pemimpin republik, karena belum berjalannya sanksi hukum yang melembaga.
Meletusnya revolusi sosial di Surakarta adalah akibat perbenturan perbedaan orientasi politik yang terprovokasi, terutama eksistensi keraton pasca proklamasi. Pemberian status swapraja terhadap Surakarta ditafsirkan PB XII memungkinkan kembali menghidupkan pemerintahan kerajaan. Pemikiran tersebut ditolak elit istana yang malang-melintang dalam politik pergerakan dan elit politik di luar tembok istana. Rupanya, Sunan tidak mampu menganalisis situasi politik nasional maupun situasi politik lokal yang sudah dikuasai badan perjuangan, bahkan slogan ‘merdeka seratus persen’ dan ‘kedaulatan rakyat’ tidak dimaknainya secara jernih.
[42] Dalam konteks badan perjuangan diSurakarta, Sartono Kartodirdjo mengemukakan:
Pada awal tahun 1946 di Sala telah diselenggarakan konggres di mana Persatuan Perjuangan didirikan dan program minimum Tan Malaka diterima. Yang dituntut 100 persen kemerdekaan, penyitaan modal Belanda, pembentukan Pemerintahan Rakyat, dan Tentara Rakyat. Program itu merupakan tantangan langsung terhadap Pemerintah RI pada waktu itu. Dalam pertentangan itu Soekarno-Hatta didukung juga oleh BPRI [Barisan Pemberontak Republik Indonesia, suatu badan perjuangan yang didirikan dr. Sutomo, dan memiliki cabang di seluruh Jawa] dan Pesindo [Pemuda Sosialis Indonesia], sedangkan Barisan Banteng dan Laskar Rakyat memihak Tan Malaka.
[43]
Gambaran tersebu menunjukkan bahwa Surakarta diselimuti kekuatan-kekuatan politik yang memacu revolusi sosial, yaitu kekuatan politik yang berada dibelakang Soekarno-Hatta, kekuatan politik komunisme/marxisme yang ingin menjatuhkan Soekarno-Hatta, dan kekuatan politik kemapanan (pangreh praja dan aristokrat tradisional) yang berkehendak membentuk pemerintahan kerajaan. Tipologi kekuatan politik masa revolusi itu identik dengan tipologi kekuatan politik tahun 1920-an yang diwakili oleh kekuatan Islam (SI), priyayi intelektual (BO), sosialisme, marxisme (ISDV dan SI-Merah), dan golongan pangreh praja yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebaliknya, tipologi kekuatan politik pasca proklamasi dikuasai badan perjuangan dan partai politik yang beraliran nasionalisme, Islamisme, sosialisme, dan marxisme.
[44] Bulan September hingga Desember 1945 adalah masa pembentukan badan dan laskar perjuangan di Surakarta. Peran badan keamanan rakyat (BKR) sangat besar dalam proses pembentukan kelaskaran. Organisasi kelaskaran yang terkenal adalah Barisan Laskar Banteng (BLB) yang dipimpin dr. Moewardi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan Laskar Rakyat.
[45] Pada tahun 1946 pembentukan laskar makin intensif, dan anggotanya adalah pelajar dari segala strata sosial yang tersebar dalam berbagai organisasi kelaskaran, seperti Laskar Tentara Pelajar, Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, Barisan Pemuda Jelata, dan BPRI.
[46]
Sejak tahun 1946 kondisi politik di Surakarta sudah matang untuk membuat alasan meletusnya revolusi sosial, karena organisasi kelaskaran sudah terbentuk hingga pedesaan, dan para anggotanya adalah pemuda desa, tokoh politik, dan pemimpin agama [Islam]. Nama laskar beraneka ragam, misalnya, Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.
[47] Organisasi kelaskaran timbul secara spontan, dan memilih pemimpinnya sendiri, serta terjun ke medan gerilya melawan kolonialisme Belanda.
[48] Kondisi politik di Surakarta mencekam, karena masih diwarnai ketegangan-ketegangan antara Keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan laskar-laskar perjuangan.
Gambaran ini menunjukkan situasi Surakarta tersekat dalam badan perjuangan dan kelaskaran yang terbelah dalam tiga kekuatan politik, yakni pro Soekarno-Hatta, pro Tan Malaka (komunis), dan pro kemapanan (pangreh praja dan aristokrat). Kaum nasionalis meragukan pemikiran PB XII dan Mangkunegoro VIII. Dalam hubungannya dengan pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa pematangan ideologi nasional akan melalui episode yang meliputi interaksi, saling mempengaruhi, dan jalinan ikatan politik.
[49] Namun, pada tiap episode menumbuhkan konflik atau kekerasan.[50]
Pemikiran politik Eberhard dan Carniero ditransformasikan pada revolusi di Surakarta adalah:
Bagan 4:
Struktur Interaksi PB XII, Badan Perjuangan dan Kelaskaran
terhadap Pematangan Ideologi Politik Nasional 1945-1950
Mengutip pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa konflik, kekerasan, bahkan peperangan tidak dimaksudkan melemahkan ideologi nasional yang sudah terbentuk, tetapi justru menjadi alat untuk menaklukkan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan arus ideologi nasional.
[51] Banyak kelompok politik dan masyarakat yang telah lama berkenalan dengan ideologi modern, dan digunakan dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan muncul episode baru, yaitu pematangan ideologi nasional. Dalam proses pematangan itu sering kali muncul konflik dan kekerasan antar kelompok politik dengan basis ideologi yang telah mereka diyakini, baik tradisionalisme Jawa, Islamisme, nasionalisme radikal, sosialisme-demokrat, maupun komunisme.
[52]
Konflik antar kelompok politik sepanjang revolusi nasional 1945-1950, pada satu sisi, telah membelah kekuatan politik nasional dalam aliran-aliran politik, namun pada sisi lain, revolusi nasional 1945-1950 justru merupakan episode yang memperkokoh kedaulatan RI sebuah negara-bangsa modern yang mencitrakan pemikiran sosialis,
[53] Sementara itu George McTurnan Kahin melihat faktor penting dari revolusi nasional adalah hasil psikologis yang membawa perubahan yang berarti dan sangat luas dalam membentuk karakter bangsa Indonesia, baik berkaitan dengan martabat bangsa, harga diri, dan percaya diri yang tumbuh secara cepat selama masa perjuangan kemerdekaan.
[54] Ketiga kekuatan politik muncul bersamaan setelah dikumandangkan proklamasi, bahkan ketiga kekuatan politik berkembang cepat di daerah. Di Surakarta, setelah Komite Nasional Daerah (KND) terbentuk pada tanggal 1 Oktober 1945, pemerintah pusat menunjuk R. Pandji Soeroso sebagai Komisaris Tinggi Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, R. Pandji Soeroso membentuk pemerintah kolektif yang diketuai sembilan orang, yaitu lima orang dari KND, dan empat orang dari Kasunanan dan Mangkunegaran.
[55] Rupanya, pemerintahan kolektif tidak mencapai kata sepakat, karena Kasunanan dan Mangkunegaran tidak mengirimkan wakilnya, serta beranggapan bahwa wewenang pembentukan pemerintah daerah berada di tangan pemerintah pusat. Sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII menimbulkan friksi antar elit politik, baik di dalam maupun di luar istana. Kekhawatiran mendalam kelompok politik kemapanan adalah bila proklamasi memicu munculnya reformasi sosial.
[56] Lebih lanjut George McTurnan Kahin mengemukakan:
…most of the aristocratic element became alarmed over the tendency toward social reform displayed by many of these same members. With only twenty representatives in the Parliament, and even a few of these inclined to advocate progressive social legislation, most aristocrats felt their positions and their prerogatives insecure. Moreover their Dutch advisers and Dutch civil servants had implanted in the minds of most of them the firm conviction that the Republic stood for immediate abolishment of their power and wealth. Most of them, particularly those who had replaced the actively pro-Republican rajahs and karaengs in 1946, felt that the security of their positions demanded the retention of ultimate Dutch authority in East Indonesia. Thus they were easily convince of the necessity of building up a state as completely dicorved from the Republican areas of Indonesia as possible and possessed of a
constitutional structure that would insure them an unassailably dominant position therein
.[57]
Peristiwa di atas dapat ditarik pengertian bahwa PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak bersikap toleran terhadap kemerdekaan maupun ideologi nasional. Keangkuhan itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai rasa persaudaraan sebangsa (
ukhuwah wathoniyah
), sesama manusia (ukhuwah basyariyah), dan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah
). Nilai persaudaraan itu merupakan nilai solidaritas (ashabiyyah) yang sudah terbentuk, bahkan
ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi pijakan Muslim menghadapi kolonialisme Belanda. Simpulan bahwa sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII dapat memicu gejolak sosial di Surakarta. Kedua elit melakukan kesalahan diplomasi pada masa revolusi kemerdekaan, dan kesalahan itu bermuara pada tiadanya kematangan berpikir, serta tiadanya upaya mendalami perubahan perpolitikan nasional dan lokal.
[58]
Mobilisasi kekuatan politik pasca proklamasi melalui badan perjuangan dan kelaskaran adalah embrio tentara nasional yang sengaja tidak diformalkan oleh negara. Hal ini untuk menghindari tekanan politik dari militer sekutu. Ketika konflik antar elit politik sudah merebak di Surakarta, badan perjuangan dan kelaskaran bersatu-padu dan melakukan gerakan politik anti-swapraja.
[59] Rasa tidak puas masyarakat disertai dengan kemacetan pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan hal ini memperuncing konflik sosial di Surakarta. Pada 14 April 1946, pemerintah pusat menghapus pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan menyerahkan pembentukan pemerintah daerah kepada Kasunanan dan Mangkunegaran.
[60] Tindakan ini makin memperuncing konflik sosial. Untuk meredakan konflik sosial, Menteri Dalam Negeri Sudarsono memerintahkan penangkapan Kolonel Sutarto dan dr. Moewardi.
Kerumitan politik di Surakarta memaksa pemerintah pusat mengambil keputusan Surakarta menjadi pemerintah kota dan karesidenan, pada 15 Juli 1946. Pembentukan ini dipandang mewakili keinginan pemuda, pelajar dan elit politik. Meski sudah terbentuk pemerintahan kota dan karesidenan pergolakan kelompok politik tetap berlangsung. Fenomena politik ini dilatarbelakangi tindakan sepihak Kasunanan dan Mangkunegaran membentuk pemerintahan sendiri secara illegal dengan dukungan tentara Belanda. Keberadaan tentara Belanda di Surakarta merupakan perluasan politik setelah ibu kota RI berkedudukan di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda, pada 19 Desember 1948.
D. Kesimpulan
Perubahan paradigma politik partisipasi massa yang berlangsung di Kasunanan adalah desakralisasi kekuasaan yang ditempatkan pada keinginan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai landasan politik. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang interaksi dan komunikasi antara kerabat keraton dengan kelompok sosial di luar tembok istana, sehingga tercipta kohesi dan solidaritas (
ashabiyyah). Sepeninggal PB X, desakralisasi kekuasaan mengalami kemacetan, karena PB XII dan Mangkunegoro VIII berkeinginan membentuk pemerintahan swapraja yang didukung pasukan Belanda. Pemikiran politik ini sama sekali tidak memiliki nuansa kemanusiaan, dan dalam waktu cepat muncul kekerasan politik antara kelompok kemapanan dan badan perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict & Audrey Kahin (ed.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62,Ithaca,New York: Cornell ModernIndonesia Project,CornellUniversity, 1982.
Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
,Jakarta: Gramedia, 1982.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam,Jakarta: Paramadina, 2000.
Buwana X, Paku, Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981);
Coleman, James S., Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowati & Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2008.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas, 2004.
Feith, Herbert, & Lance Castle (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Min Yubhaar,Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture,London:Hutchinson, 1975.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan: Pedati, 2004.
Hadisiswaja, Asnawi, Soerakarta Adiningrat,Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia,Ithaca,New York:CornellUniversity Press, 1952.
Kamdani (peny.), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, Yogyakarta: Pustaka relajar, 2007.
Kartodirdjo, Sartono, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Larson, George D., Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942
, a.b. A.B. Lapian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press & KITLV, 1990.
Leege, David C. & Lyman A. Kellstedt (eds.), Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, Jakarta: YOI, 2006.
Leksana, Wangsa, Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939).
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
McVey, Ruth T. (ed.), Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory
,New Haven:YaleUniversity Press, 1978.
Miert, Hans van, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003.
Nursam, M., Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, a.b. M. Imam Aziz,Yogyakarta: LKiS, 2005.
& Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, a.b. Bernard Hidayat,Jakarta: YOI, 2007.
, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
Pemberton, John, Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo,Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Reid, Anthony, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Ricklefs, M.C., “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, Archipel, Vol. I, No. 56, 1998.
, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
,Honolulu: Allen & Unwin, andUniversity ofHawai’i Press, 1998.
Saleh, Mohammad, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta,Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, a.b. Hilmar Farid,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abraham Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta
,Surakarta: LPTP, 1999.
Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Yayasan untukIndonesia, 2000.
Sontoprodjo, Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939
,Surakarta: tanpa penerbit, 1990.
Suryo, Djoko, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1980.
Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978.
Toer, Pramoedya Ananta, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
, Malang: Bayumedia, 2005.
* Staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret.
[1]Isi Verklaring 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau
enclave; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman,
Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah
lungguh
direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan (surambi masjid dan
surambi kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,
Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson,
Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942
, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,
Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926
, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
[2]Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba’ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga
Rijksstudiefond, dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu
sentana, abdi dan kawula dalem yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana,
Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja,
Soerakarta Adiningrat, (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X,
Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X
[sic.] 1893-1939, (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).
[3]Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),
Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer,
Sang Pemula, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.
[4]Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar
Pembrita Betawi, dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu tentangnya. Lihat Pramoedya Ananta Toer,
op. cit., pp. 48-54.
[5]Ibid., pp. 159-172.
[6]George D. Larson, op. cit., p. 41.
[7]Ibid., pp. 66-69.
[8]Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abrahan Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta, LPTP, 1999), p. 23; Cf. Rosihan Anwar,
Semua Berawal Dengan Keteladanan: Catatan Kritis
, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), p. 121.
[9]Masjid yang dikunjungi PB X meliputi: (1) masjid-masjid di sekitar Kota Surakarta yang menjadi wilayah Kasunanan; (2) masjid di kawasan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo; (3) masjid di kawasan Kalioso, Karanganyar; dan (4) masjid di kawasan Banyudono, Boyolali. Pada umumnya, Sunan mengunjungi masjid-masjid di kawasan pedesaan. Hal ini merupakan upaya membangun komunitas epistemik di pedesaan. Basismassa ini penting artinya, karena kemapanan pamor dan kebesarannya akan terjaga di kawasan itu. Bahkan ketika kereta api yang membawanya keYogyakarta, dan berhenti sejenak di Stasiun Klaten, masyarakat sekitar berdesak-desakan untuk menyaksikan dan memberi penghormatan.
[10]Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 10.
[11]Karno Sontoprodjo, op. cit., pp. 113-114.
[12]Asnawi Hadisiswaja, op. cit., pp. 3-4.
[13]Ibid, pp. 4-5.
[14]Lihat Ruth McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, in Benedict Anderson & Audrey Kahin (ed.),
Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62, (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1982), pp. 84-91; Cf. Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Mien Yubhaar, , (Jakarta: LP3ES, 1988), pp. 8-9; Cf. Zuly Qodir,
Islam Syariat vis a vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 71-75.
[15]Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004), p. 19.
[16]Merle C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, dalam
Archipel, Vol. I, No. 56, 1998, pp. 469-482; lihat pula M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
, (Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai’i Press, 1998), pp. xvii-xix; Cf. Abdurrahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi
, (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 55-58.
[17]George D. Larson, op. cit., p. 223.
[18]PB XI berkuasa pada 1939-1944 menyerah secara nista kepada pejabat-pejabat pendudukan Jepang di Surakarta. Sikap politik ini bertolak belakang dengan sikap ayahandanya. Lihat John Pemberton,
Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), p. 155.
[19]George D. Larson, op. cit., pp. 292-293.
[20]Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, “Pendahuluan”, dalam Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.),
Politik Lokal di Indonesia, a.b. YOI, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp. 1-15.
[21]Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (London: Hutchinson, 1975), pp. 259-269.
[22]Ibid., pp. 277-285.
[23]Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), pp. 255-322, 349-396, 416-529.
[24]George D. Larson, op. cit., pp. 126-130.
[25]Ibid., pp. 36-39.
[26]James L. Guth & John C. Green, “Arti Penting Agama: Konsep Inti ?”, dalam David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (eds.),
Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: YOI, 2006), pp. 253-266.
[27]James S. Coleman mengemukakan bahwa meluasnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dapat memacu mereka merenungkan kembali keburukan dan kelemahan kebijakan kolonial, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi. Lihat James S. Coleman,
Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie & Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2008), pp. 565-570.
[28]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[29]Yang dimaksud dengan keselarasan politik adalah berinisiatif memberi dukungan simbolik terhadap organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Lihat Ahmad Fuad Fanani,
Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), pp. 139-140.
[30]Ibid., p. 140.
[31]James S. Coleman, loc. cit.
[32]Ibid.
[33]Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, Sebuah Pendekatan Islam”, dalam Kamdani (peny.),
Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 15-17.
[34]George D. Larson, op. cit., pp. 113-288; lihat pula Hans van Miert, op. cit., pp. 186-460.
[35]Ahmad Fuad Fanani, loc. cit.
[36]Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
, (Jakarta: Gramedia, 1982), p. 53.
[37]Ibid.
[38]Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 5.
[39]Ibid.
[40]Ibid, pp. 4-5.
[41]Ibid., pp. 6-7.
[42]Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 35.
[43]Sartono Kartodirdjo, op. cit., p. 12.
[44]Djoko Suryo, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1985, p. 23.
[45]Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978, pp. 16-24; lihat pula M. Nursam,
Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa
, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), p. 89.
[46]Ibid.
[47]Ibid., pp. 89-90.
[48]Ibid., p. 90.
[49]Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial
, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan:Pedati, 2004), pp. 311-318.
[50]Ibid., pp. 316-318.
[51]Ibid., p. 316.
[52]Lihat Herber Feith, “Pengantar”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.), op. cit., pp. liii-lix.
[53]Adrian Vickers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
[54]George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1963), p. 470.
[55]Mohammad Saleh, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta, (Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956), p. 1.
[56]George McTurnan Kahin, op. cit., pp. 364-365.
[57]Ibid.
[58]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[59]Ibid., p. 571. Partai politik dan badan perjuangan yang terlibat gerakan anti-swapraja adalah PKI, PNI, Murba, PSI, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Barisan Banteng yang dipimpin dokter Moewardi. Partai dan badan-badan perjuangan itu menyatukan diri, dan membentuk gerakan anti-swapraja.
[60]Ibid.
Topics: Uncategorized | No Comments »
Comments
Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Website
Verklaring-verklaring yang ditandatangani raja-raja sebelumnya, termasuk verklaring
1893 yang dia tandatangani mempersempit ruang gerak politik, bahkan Undang-Undang Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja.[1] Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol politik yang sifatnya recollection (eling lan waspada) dan reawakening (membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, baik dalam segi pendidikan, perekonomian, sosial, maupun politik.[2] Sementara itu dalam bidang politik Sunan membangun komunikasi dan jejaring dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan
incognito atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.
Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk menyampaikan pesan dan cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,
Bromartani, yang sedang menghadapi kesulitan manajemen.
[3] Bromartani terbit pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak menggugah dan mengungkapkan kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoerjo. Tawaran mengelola
Bromartani
dimaksudkan bersedia menuangkan pemikiran politik pada mingguan tersebut untuk membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial.
[4]
Komunikasi simbolik antara Sunan dan Tirtoadhisoerjo menuai hasil berdirinya SDI Surakarta yang secara yuridis cabang SDI Bogor.
[5] Organisasi ini didirikan Tirto dan Samanhudi, dan dalam perkembangannya SDI berubah menjadi SI. A.P.E. Korver berpendapat bahwa berdirinya SI merupakan sikap antipati pengusaha muslim terhadap kaum bangsawan.
[6] Kelemahan A.P.E Korver tidak melihat adanya perbedaan antara bangsawan
protagonis (pendukung pergerakan kebangsaan) dan
status quo (pendukung Belanda). Pemikiran antipati pengusaha Muslim perlu ditempatkan kepada priyayi pangreh praja yang mempertahankan
status quo. Dukungan PB X terhadap organisasi pergerakan dapat dilihat diizinkannya P. Hangabehi dan RMA. Woerjaningrat (putera dan menantu) menjadi anggota kehormatan dan pelindung SI.
[7] Dalam perlawatan Sunan dipandang pendiri SI. Persepsi ini menguntung SI,
[8] sehingga dikatakan sinergi priyayi protagonis dan Muslim telah memacu masyarakat memasuki dunia politik.
Selain dukungan terhadap organisasi politik, Sunan menembus basis massaakar rumput melalui bantuan ke masjid-masjid.
[9] Dua hal yang hendak dicitrakan, yakni citra kharisma dan citra agama. Perlawatan politik ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera Selatan, Bali, dan Sumbawa merupakan strategi membangun citra kharisma. Kharisma adalah tampilan kualitas individu untuk menempatkan individu sebagai otoritas simbolik yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat, dan citra kharisma itu muncul ketika individu diakui keberadaannya oleh kelompok-kelompok sosial.
[10] Kunjungan ke masjid untuk memberi bantuan, dan mereproduksi identitas Islam. Identitas itu untuk: (1) menilai kegagalan negara kolonial, (2) memperluas jejaring sosial dan politik guna mempertebal rasa kebersamaan, (3) memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kehidupan sosial maupun politik. Yang menggelitik adalah mengapa pengganti PB X tidak mampu meneruskan pemikiran politiknya?.
B. Memudarnya Kewibawaan Elit Kasunanan
Gejala-gejala kemunduran atau disorientasi pemikiran politik di lingkungan istana sudah tampak sejak kesehatan Sunan merosot. Sejak berusia 32 tahun Sunan sudah mengidap penyakit ginjal, dan tidak berusaha menekuni hidup sehat, sehingga penyakit yang diidap makin menggerogoti organ tubuhnya.
[11] Pada usia 70 tahun Sunan tidak mampu melakukan perlawatan politik. Dua bulan sebelum wafat penyakit Sunan makin parah.
[12] Dokter keraton, Dr. R. Moehammad Saleh, serta dokter Belanda, Prof. Dr. Siegenbeek van Heukelom dan Dr. Block, menunggui Sunan di pesanggrahan Paras, Boyolali, hingga wafat pada tanggal 20 Februari 1939, jam 07.30.
[13] Pada dasarnya, disorientasi pemikiran politik yang melanda putera-putera Sunan seiring dengan makin kuat tekanan politik kolonial yang diwujudkan dalam sistem politik
beamtenstaat[14]antaratahun 1920-an hingga 1930-an. Ruth McVey memandang bahwa
beamtenstaat sebagai ‘the state as efficient bureaucratic machine’. Maksudnya, birokrasi negara kolonial diurusi pegawai pemerintah kolonial, baik pada birokrasi
Binnenlandsbestuur maupun Inlandschbestuur, yang didukung oleh Dinas Polisi Rahasia Belanda yang berfungsi memapankan birokrasi serta mengisolasi pergerakan politik. Sistem ini memandulkan politik elit istana, dan berakibat PB XI dan PB XII tidak piawai bermain politik seperti halnya PB X.
[15]
Ada tiga persoalan yang mendorong disorientasi politik di lingkungan istana, yakni:
(1) Sejak tahun 1936 kesehatan PB X makin menurun. Usia 70 tahun terlalu berat untuk melakukan kegiatan politik, baik menghadapi kekuatan kolonial yang menggerogoti otoritas kekuasaan maupun nasionalis garis keras yang menyangsikan visi politik. Secara simbolik PB X berkehendak menyatukan kekuatan Islam dan nasionalis. Sinergi dua kekuatan politik itu mengikuti gaya politik Sultan Agung (SA) dalam menghimpun legitimasi politik dan menggalang kekuatan massa. Sinergi dua kekuatan politik dipandang dapat mengatasi persoalan sosio-budaya, sosio-ekonomi, dan sosio-politik yang dihadapi masyarakat.
[16] PB X mentransformasikan dalam perlawatan politik yang secara simbolik menyuarakan sinergi Islam, Jawa, dan nasionalis. Perlawatan politik terakhir adalah mengunjungi Buitenzorg (Bogor), Batavia, dan Lampung, pada bulan Januari hingga awal bulan Februari 1935.
[17]
(2) Putera mahkota, P. Hangabehi, tidak memiliki visi politik. Kegiatannya dalam dunia politik didorong oleh P. Hadiwidjojo dan RMA. Woerjaningrat. Residen A.J.W. Harloff (1918-1922) memandang putera mahkota sebagai sosok yang tidak memiliki visi politik. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Hoesein Djajadiningrat bahwa hampir semua pangeran [putera raja] tidak punya visi politik, hanya Koesoemojoedo dan Soerjohamidjojo yang mampu memahami politik lokal. Keterlibatan dua pureta Sunan dalam politik lokal bersama Woerjaningrat [menantu Sunan] mengakibatkan provokasi-provokasi politik yang dilakukan Residen Harloff bahwa Koesoemojoedo dan Woerjaningrat menghasut Sunan untuk melawan terhadap Belanda di Surakarta. Kegiatan politik praktis yang dilakukan sebagian besar putera Sunan mendorong pemerintah memilih Hangabehi sebagai putera mahkota. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Hangabehi tidak memiliki visi politik, patuh dan tunduk, serta ‘berserah diri’ kepada pemerintah Belanda.
[18] PB X sejak semula kurang setuju pengangkatan Hangabehi sebagai putera mahkota, dan lebih memilih Koesoemojoedo. Dalam pandangan Van Wijk dan Sollewijn Gelpke bahwa Koesoemojoedo berkepribadian yang sulit dipahami, dan pemikiran politiknya cenderung ke kiri, yakni sosialisme.
[19]
Kepiawaian Koesoemojoedo berpolitik, dan simpati Sunan kepadanya menimbulkan persaingan internal yang tidak menguntungkan, memicu kemandulan politik, dan munculnya friksi dalam istana yang berpengaruh terhadap politik lokal Surakarta.
[20]
Ikatan dan sinergi politik yang dirintis PB X melalui ‘perlawatan politik’ menjadi tidak berarti, karena persaingan memacu faksi politik yang melemahkan politik Kasunanan. Munculnya faksi politik merupakan kendala serius terhadap politik sipil yang diproyeksikan untuk meraih ‘kesepadanan’ antara pribumi dan penguasa kolonial.
[21]
Jalan terbaik untuk mempercepat ‘kesepadanan’ adalah mewujudkan ‘revolusi integratif’ yang berperan menjembatani pemikiran ‘lama’ yang berpijak pada primordialisme, serta mengganti dengan pemikiran ‘baru’ yang berpijak pada persatuan dan kesatuan.
[22]
(3) Pada tahun 1915, Residen F.P. Sollewijn Gelpke menetapkan keputusan bahwa RA. Djojonagoro ditunjuk sebagai patih RAA. Sosrodiningrat (1889-1915). Sebelum menduduki jabatan patih, RA. Djojonagoro adalah bupati nayoko, dan Djojonagoro putera patih RAA. Sosrodiningrat. Penunjukkan secara sepihak menimbulkan ketidakpuasan kerabat keraton, mengingat peran Djojonagoro tidak sepadan dengan Woerjaningrat.
[23] Woerjaningrat, Koesoemojoedo, dan Soerjohamidjojo adalah elit keraton yang paling aktif dalam politik pergerakan, meskipun pejabat Belanda memandang ketiga elit itu sosok yang paling licik dan berambisi.
[24] Penunjukkan RA. Djojonagoro memungkinkan pemerintah kolonial Belanda melanjutkan praktek politik yang menempatkan birokrasi kepatihan dalam bayang-bayang kolonial, dan praktek politik ini mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap aktivis-aktivis politik pergerakan. Menurut Larson pejabat kepatihan yang dipilih pemerintah adalah pejabat yang berkepribadian lemah, mengabaikan kepentingan Kasunanan dan masyarakat.
[25]
Setelah PB X wafat digantikan putera mahkota, bergelar PB XI (1939-1944). Perubahan kekuasaan justru mengendurkan peran politik Kasunanan dalam pergerakan kebangsaan, karena PB XI ‘menjauhkan diri’ dari percaturan politik lokal. Ketika masih berstatus sebagai putera mahkota, PB XI aktif dalam organisasi pergerakan, dan menjabat sebagai ketua [kehormatan] SI. Sebaliknya setelah naik tahta, PB XI tidak mampu meletakkan kekuasaan pada spektrum sosial [kemasyarakatan]. Secara simbolik tidak dapat mencari titik temu penampilan politik istana dalam pergerakan kebangsaan. Sikap ini bertolak belakang dengan visi politik PB X. Sunan mampu mendirikan berbagai sarana untuk memberdayakan masyarakat, di antaranya adalah lembaga pendidikan, ekonomi, pelayanan kesehatan, sosial, hiburan, dan mendukung organisasi politik SI dan BO di Surakarta. Interaksi PB X dengan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik dapat diamati pada bagan di bawah ini:
Bagan 3:
Struktur Interaksi Paku Buwana X, Pendidikan, dan Pergerakan Kebangsaan
Bagan di atas menunjukkan bahwa PB X merupakan tokoh yang memiliki ruang politik dan berpeluang menoreh sejarah. Torehan sejarah tidak diletakkan pada konteks kolaborasi dengan kolonial dalam mempertahankan kekuasaan, tetapi merekonstruksi ‘batin’ kemanusiaan untuk mendorong mobilitas vertikal kelompok Islam pinggiran. Diberlakukan politik etis pada 1902, membumbuhkan inspirasi mendirikan lembaga pendidikan Islam dan umum (Madrasah Mamba’ul Ulum, HIS Kasatryan, dan HIS Pamardi Putri) yang secara struktural membuka peluang politik bagi kelompok Islam pinggiran. Pendirian lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum, yang mendapat dukungan elit politik keraton ditafsirkan sebagai tindakan politis untuk mendekonstruksi politik, yakni dari paradigma politik tradisional menuju paradigma politik partisipasimassa. Konsekuensi perubahan tersebut adalah keharusan memberikan dukungan simbolik terhadap organisasi ekonomi (SDI) dan organisasi politik (SI dan BO) yang tumbuh diSurakarta. Pada sisi lain, tindakan itu memperkuat akses ekonomi rakyat turut pula memperkuat politik partisipasimassa. Akses ekonomi rakyat meliputi pembangunan ruang publik (Taman Sriwedari), jembatan Jurug, Bacem, dan Mojo, mendirikan bank, rumah sakit dan apotik, serta membangun Pasar Gedhe Hardjonagoro.
Berdirinya lembaga pendidikan Islam yang diakui pemerintah Belanda justru memacu kelompok politik pinggiran memperkuat nilai-nilai keislaman untuk dijadikan landasan orientasi politik.
[26] Dengan demikian rakyat terdorong melakukan gerakan politik perlawanan, dan menarik legitimasi yang [kemungkinan] pernah disalurkan kepada pemerintah kolonial.
[27] Pemberdayaan kelas sosial menengah-bawah dalam bidang pendidikan dan ekonomi, berimbas pada pemberian legitimasi politik terhadap elit istana [Sunan dan kerabat istana]. Pendirian madrasah yang ‘diskenario’ oleh Pengulu Tapsiranom dan Kiai Idris (Pesantren Jamsaren) memacu persinggungan wacana politik, karena kebijakan politik etis dan Undang-Undang Desentralisasi 1903 yang diberlakukan merupakan struktur yuridis terbukanya peluang politik. Dengan demikian pendidikan, struktur ekonomi, peluang politik, dan persinggungan wacana politik menghadirkan tuntutan ‘kesepadanan politik’, yang membangkitkan perlawanan.
Perubahan tragis terjadi setelah PB X wafat, mengingat para penggantinya tidak mampu melanjutkan struktur peluang politik. Struktur peluang politik dan wacana politik pergerakan adalah simbol perlawanan terhadap kolonial Belanda. PB XI yang hanya berkuasa sekitar 5 tahun lebih suka menahan diri, dan tunduk kepada Pemerintah Pendudukan Jepang di Surakarta. Sementara itu, PB XII (1944-2005) terperosok pada kesalahan diplomasi sepanjang masa revolusi kemerdekaan.
[28]
Kedua raja tidak mampu melakukan sinergi asosiasif dengan kekuatan sosial maupun politik, sehingga muncul kemacetan kesinambungan politik antara istana dan kaum nasionalis. Visi politik PB XII semu dan sesaat, serta tidak berusaha menciptakan keselarasan politik.
[29] Dalam sejarah Kasunanan hanya beberapa raja yang mampu memperjuangkan substansi Islam, khususnya memberdayakan bidang pendidikan, ekonomi, dan politik.
[30]
Pada sistem ketatanegaraan Hindia Belanda, supra sistem berada di tangan
Binnenlandsbestuur, sedangkan pada tingkat lokal berada di tangan Inlandschbestuur. Sistem ketatanegaraan itu jelas memandulkan otoritas kekuasaan kerajaan tradisional. Dengan struktur itu, kebijakan apapun yang ditempuh kerajaan-kerajaan tradisional tidak berpengaruh terhadap kehidupan rakyat,
[31] meski kebijakan yang ditempuh menciderai hati rakyat. Berpijak pada struktur semacam ini rakyat tidak dapat menarik legitimasi politik atau menjatuhkan kekuasaan raja-raja tradisional, sebaliknya rakyat harus menarik legitimasi politik yang pernah disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda, karena pemerintah itu yang mengelola sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.
[32]
Dalam perspektif politik Islam, penarikan legitimasi politik yang disalurkan kepada pemerintah Hindia Belanda merupakan kewajiban Muslim guna menegakkan kehormatan dan harga diri, mendorong kemandirian lingkungan sosial (
self-reliance), berswasembada (
self-sufficiency), serta mempertahankan diri (self-defence).[33]
Tindakan politik PB XI dan PB XII justru menimbulkan sinergi negatif dengan tokoh-tokoh pergerakan, baik yang berda di dalam istana maupun di luar istana. Keterlibatan putera dan menantu PB X [Koesoemojoedo, Soerjomihardjo, dan Woerjaningrat] dalam politik pergerakan diasumsikan PB XI dan PB XII merupakan kegiatan pribadi. Tiga aristokrat itu sangat aktif dalam organisasi politik, baik di SI, BO, Politiek Econimische Bond (PEB), Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), Jong Java, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), maupun Partai Indonesia Raya (Parindra).
[34]
Dalam pandangan sejarah, kegiatan politik tiga aristokrat itu justru mewakili institusi Kasunanan. Dengan demikian pandangan negatif PB XI dan PB XII terhadap tiga aristokrat itu mengindikasikan kemunduran kepemimpinan raja tersebut, karena: (1) perubahan kekuasaan tidak sinergis dengan paradigma politik partisipasi massa. Penguasa baru bertahan pada paradigma politik tradisional, menerima eksistensi kolonial untuk keberlangsungan kekuasaannya, dan bukan untuk kepentingan politik bangsa; (2) perubahan paradigma berakibat kekuasaan raja bersifat semu dan sesaat, serta tidak menciptakan keselarasan politik;
[35] (3) kegiatan politik Koesoemojoedo, Soerjomihadjo, dan Woerjaningrat dipandangnya mewakili diri sendiri, bukan institusi Kasunanan; (4) meski ketiga aristokrat berperan aktif dalam organisasi politik pergerakan, dalam kenyataannya tidak dapat merubah orientasi politik PB XI dan PB XII.
Pemikiran politik PB XI dan PB XII berbanding terbalik dengan pemikiran Hamengku Buwana (HB) IX. Ketika dinobatkan sebagai Sultan, dia berucap:
Dat de taak die op mij rust, moeilijk en zwaar is, daar ben ik mij tenvolle van bewust, vooral waar het hier gaat de Weterse en de Oosterse geest tot elkaar te brengen, deze beide tot en harmonische samenwerking te doen overgaan zonder de laatste haar karakter doen verliezen.
Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik in de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo deze niet remmend werk op de ontwikkeling, een voorname plaats blijven innemen in de traditierijke Keraton. Moge ik eindigen met de belofte dat ik de belangen van Land en Volk zal behartingen naar mijn beste weten en kunnen.
[36]
Pernyataan itu tidak dapat dipandang primordialisme, tetapi sebuah pandangan ‘revolusioner’, karena: (1) kata ‘Jawa’ merujuk pada dirinya seorang pribumi, yang dalam konteks politik pergerakan akan berhadapan dengan kekuasaan kolonial; (2) meski Sultan berpendidikan Barat, tetapi pemikiran politik yang disumbangkan adalah untuk kepentingan bangsa [Indonesia], dan berusaha menghindari kolaborasi politik dengan pemerintah kolonial; (3) Sultan menyampaikan isyarat dirinya mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.
Proklamasi kemerdekaan Indonesiayang diucapkan Soekarno-Hatta disambut Sultan dengan pernyataan bahwa Kasultanan berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia (RI). Pada sisi lain, PB XII dan Mangkunegoro VIII merasa bimbang dalam memberikan keputusan. Dalam pemikiran kedua elit politik,
Vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah kolonial, karena itu proklamasi 17 Agustus 1945 sepantasnya menetapkan Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah swapraja. Keinginan PB XII menghidupkan kembali simbol pemerintahan kerajaan mendapat reaksi keras dari golongan intelektual, pemuda, dan elit politikSurakarta. Mereka kemudian membangun ikatan politik yang berpijak pada ideologi nasional dan memobilisasi kelompok-kelompok sosial-politik, sehingga gerakan mereka memacu gerakan anti-swapraja.
Perjuangan Sultan tidak terbatas pada keinginannya berada di bawah kekuasaan RI, tetapi juga meminta kepada Soekarno-Hatta beserta seluruh jajaran kepemimpinan republik untuk ‘hijrah’ ke Yogyakarta. Dalam pemikirannya Jakarta dan sekitarnya maupun Bandung dan sekitarnya sudah dikuasai tentara NICA (
Netherlands Indies Civil Administration
).[37] NICA adalah pasukan sekutu yang diberi tugas untuk mengawasi seluruh wilayah Indonesia setelah pengakuan kekalahan Jepang, pada tanggal, 14 Agustus 1945. Tindakan ini ditujukan untuk menghindari adu-domba pejabat NICA, dan mencegah pencideraan nasionalis terhadap revolusi kemerdekaan yang sedang berjalan. Dalam konteks pemikiran politik Islam, bergabung Sultan di bawah kekuasaan RI dan meminta pemimpin republik ‘hijrah’ ke Yogyakarta merupakan cermin pemikiran
jihad, yang mengutamakan kesucian tindakan politik. Rupanya, motif pemikiran tersebut adalah keinginan membebaskan diri [bangsa] melalui jalan revolusi.
C. Elit Kasunanan Tersudut Gerakan Revolusi
Kaum nasionalis mempertahankan proklamasi kemerdekaan melalui dua cara, yakni diplomasi politik dan gerakan revolusi.
[38] Gerakan revolusi makin kuat setelah terbentuknya ikatan ideologi, dan mobilisasi kekuatan sosial dan politik.
[39] Ikatan ideologi maupun mobilisasi kekuatan sosial dan politik merupakan konsekuensi makin meluasnya ketidakpuasan kelompok sosial dan politik terhadap jalannya diplomasi. Gejala ini justru memacu perubahan struktur politik masyarakat, dan perubahan tersebut tidak sekedar perubahan partisipasi massa atau mobilisasi massa, tetapi meluasnya konflik politik dan kekerasan dalam masyarakat, bahkan timbul revolusi sosial di beberapa daerah.
[40] Sejak proklamasi hingga bulan Desember 1945, massa revolusioner telah diorganisir dalam kelompok-kelompok politik, bertugas menjaga keamanan kota, pertahanan, bahkan merupakan kesatuan pasukan tempur. Gerakan kelompok politik itu sangat intensif di kota-kota besar, misalnya Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Melihat kondisi ini disimpulkan bahwa proklamasi kemerdekaan mendorong proses politisasi rakyat, yakni pembentukan ikatan ideologi politik nasional dan mobilisasi kekuatan massa untuk menumbangkan kelompok politik yang mempertahankan kemapanan [pangreh praja maupun aristokrat tradisional].
Perbenturan politik antara kelompok politik yang berpegang pada ideologi politik nasional dan kelompok politik kemapanan [pangreh praja dan aristokrat tradisional] memacu revolusi sosial di beberapa daerah. Daerah-daerah yang dilanda revolusi sosial meliputi Aceh, Sumatera Utara, Pekalongan, Tegal, Pemalang, Salatiga, dan Surakarta.
[41] Sejak proklamasi kemerdekaan tumbuh pula pemimpin-pemimpin yang memusatkan perjuangan tidak hanya fokus pada ideologi politik nasional, tetapi juga ideologi agama [Islam] dan marxisme. Para pemimpin membentuk badan perjuangan sendiri, bahkan melakukan infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya. Gejala politik ini makin memperkuat polarisasi politik dalam masyarakat yang berpijak pada garis ideologi politik pemimpin mereka, dan meluasnya kekerasan politik apabila infiltrasi terhadap organisasi perjuangan lainnya mengalami kegagalan. Kesemrawutan politik pada masa revolusi tidak dapat diatasi oleh pemimpin republik, karena belum berjalannya sanksi hukum yang melembaga.
Meletusnya revolusi sosial di Surakarta adalah akibat perbenturan perbedaan orientasi politik yang terprovokasi, terutama eksistensi keraton pasca proklamasi. Pemberian status swapraja terhadap Surakarta ditafsirkan PB XII memungkinkan kembali menghidupkan pemerintahan kerajaan. Pemikiran tersebut ditolak elit istana yang malang-melintang dalam politik pergerakan dan elit politik di luar tembok istana. Rupanya, Sunan tidak mampu menganalisis situasi politik nasional maupun situasi politik lokal yang sudah dikuasai badan perjuangan, bahkan slogan ‘merdeka seratus persen’ dan ‘kedaulatan rakyat’ tidak dimaknainya secara jernih.
[42] Dalam konteks badan perjuangan diSurakarta, Sartono Kartodirdjo mengemukakan:
Pada awal tahun 1946 di Sala telah diselenggarakan konggres di mana Persatuan Perjuangan didirikan dan program minimum Tan Malaka diterima. Yang dituntut 100 persen kemerdekaan, penyitaan modal Belanda, pembentukan Pemerintahan Rakyat, dan Tentara Rakyat. Program itu merupakan tantangan langsung terhadap Pemerintah RI pada waktu itu. Dalam pertentangan itu Soekarno-Hatta didukung juga oleh BPRI [Barisan Pemberontak Republik Indonesia, suatu badan perjuangan yang didirikan dr. Sutomo, dan memiliki cabang di seluruh Jawa] dan Pesindo [Pemuda Sosialis Indonesia], sedangkan Barisan Banteng dan Laskar Rakyat memihak Tan Malaka.
[43]
Gambaran tersebu menunjukkan bahwa Surakarta diselimuti kekuatan-kekuatan politik yang memacu revolusi sosial, yaitu kekuatan politik yang berada dibelakang Soekarno-Hatta, kekuatan politik komunisme/marxisme yang ingin menjatuhkan Soekarno-Hatta, dan kekuatan politik kemapanan (pangreh praja dan aristokrat tradisional) yang berkehendak membentuk pemerintahan kerajaan. Tipologi kekuatan politik masa revolusi itu identik dengan tipologi kekuatan politik tahun 1920-an yang diwakili oleh kekuatan Islam (SI), priyayi intelektual (BO), sosialisme, marxisme (ISDV dan SI-Merah), dan golongan pangreh praja yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Sebaliknya, tipologi kekuatan politik pasca proklamasi dikuasai badan perjuangan dan partai politik yang beraliran nasionalisme, Islamisme, sosialisme, dan marxisme.
[44] Bulan September hingga Desember 1945 adalah masa pembentukan badan dan laskar perjuangan di Surakarta. Peran badan keamanan rakyat (BKR) sangat besar dalam proses pembentukan kelaskaran. Organisasi kelaskaran yang terkenal adalah Barisan Laskar Banteng (BLB) yang dipimpin dr. Moewardi, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dan Laskar Rakyat.
[45] Pada tahun 1946 pembentukan laskar makin intensif, dan anggotanya adalah pelajar dari segala strata sosial yang tersebar dalam berbagai organisasi kelaskaran, seperti Laskar Tentara Pelajar, Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, Barisan Pemuda Jelata, dan BPRI.
[46]
Sejak tahun 1946 kondisi politik di Surakarta sudah matang untuk membuat alasan meletusnya revolusi sosial, karena organisasi kelaskaran sudah terbentuk hingga pedesaan, dan para anggotanya adalah pemuda desa, tokoh politik, dan pemimpin agama [Islam]. Nama laskar beraneka ragam, misalnya, Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.
[47] Organisasi kelaskaran timbul secara spontan, dan memilih pemimpinnya sendiri, serta terjun ke medan gerilya melawan kolonialisme Belanda.
[48] Kondisi politik di Surakarta mencekam, karena masih diwarnai ketegangan-ketegangan antara Keraton Kasunanan, Mangkunegaran, dan laskar-laskar perjuangan.
Gambaran ini menunjukkan situasi Surakarta tersekat dalam badan perjuangan dan kelaskaran yang terbelah dalam tiga kekuatan politik, yakni pro Soekarno-Hatta, pro Tan Malaka (komunis), dan pro kemapanan (pangreh praja dan aristokrat). Kaum nasionalis meragukan pemikiran PB XII dan Mangkunegoro VIII. Dalam hubungannya dengan pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa pematangan ideologi nasional akan melalui episode yang meliputi interaksi, saling mempengaruhi, dan jalinan ikatan politik.
[49] Namun, pada tiap episode menumbuhkan konflik atau kekerasan.[50]
Pemikiran politik Eberhard dan Carniero ditransformasikan pada revolusi di Surakarta adalah:
Bagan 4:
Struktur Interaksi PB XII, Badan Perjuangan dan Kelaskaran
terhadap Pematangan Ideologi Politik Nasional 1945-1950
Mengutip pemikiran politik Eberhard dan Carniero bahwa konflik, kekerasan, bahkan peperangan tidak dimaksudkan melemahkan ideologi nasional yang sudah terbentuk, tetapi justru menjadi alat untuk menaklukkan kelompok-kelompok politik yang berseberangan dengan arus ideologi nasional.
[51] Banyak kelompok politik dan masyarakat yang telah lama berkenalan dengan ideologi modern, dan digunakan dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan muncul episode baru, yaitu pematangan ideologi nasional. Dalam proses pematangan itu sering kali muncul konflik dan kekerasan antar kelompok politik dengan basis ideologi yang telah mereka diyakini, baik tradisionalisme Jawa, Islamisme, nasionalisme radikal, sosialisme-demokrat, maupun komunisme.
[52]
Konflik antar kelompok politik sepanjang revolusi nasional 1945-1950, pada satu sisi, telah membelah kekuatan politik nasional dalam aliran-aliran politik, namun pada sisi lain, revolusi nasional 1945-1950 justru merupakan episode yang memperkokoh kedaulatan RI sebuah negara-bangsa modern yang mencitrakan pemikiran sosialis,
[53] Sementara itu George McTurnan Kahin melihat faktor penting dari revolusi nasional adalah hasil psikologis yang membawa perubahan yang berarti dan sangat luas dalam membentuk karakter bangsa Indonesia, baik berkaitan dengan martabat bangsa, harga diri, dan percaya diri yang tumbuh secara cepat selama masa perjuangan kemerdekaan.
[54] Ketiga kekuatan politik muncul bersamaan setelah dikumandangkan proklamasi, bahkan ketiga kekuatan politik berkembang cepat di daerah. Di Surakarta, setelah Komite Nasional Daerah (KND) terbentuk pada tanggal 1 Oktober 1945, pemerintah pusat menunjuk R. Pandji Soeroso sebagai Komisaris Tinggi Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta. Selanjutnya, R. Pandji Soeroso membentuk pemerintah kolektif yang diketuai sembilan orang, yaitu lima orang dari KND, dan empat orang dari Kasunanan dan Mangkunegaran.
[55] Rupanya, pemerintahan kolektif tidak mencapai kata sepakat, karena Kasunanan dan Mangkunegaran tidak mengirimkan wakilnya, serta beranggapan bahwa wewenang pembentukan pemerintah daerah berada di tangan pemerintah pusat. Sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII menimbulkan friksi antar elit politik, baik di dalam maupun di luar istana. Kekhawatiran mendalam kelompok politik kemapanan adalah bila proklamasi memicu munculnya reformasi sosial.
[56] Lebih lanjut George McTurnan Kahin mengemukakan:
…most of the aristocratic element became alarmed over the tendency toward social reform displayed by many of these same members. With only twenty representatives in the Parliament, and even a few of these inclined to advocate progressive social legislation, most aristocrats felt their positions and their prerogatives insecure. Moreover their Dutch advisers and Dutch civil servants had implanted in the minds of most of them the firm conviction that the Republic stood for immediate abolishment of their power and wealth. Most of them, particularly those who had replaced the actively pro-Republican rajahs and karaengs in 1946, felt that the security of their positions demanded the retention of ultimate Dutch authority in East Indonesia. Thus they were easily convince of the necessity of building up a state as completely dicorved from the Republican areas of Indonesia as possible and possessed of a
constitutional structure that would insure them an unassailably dominant position therein
.[57]
Peristiwa di atas dapat ditarik pengertian bahwa PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak bersikap toleran terhadap kemerdekaan maupun ideologi nasional. Keangkuhan itu menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai rasa persaudaraan sebangsa (
ukhuwah wathoniyah
), sesama manusia (ukhuwah basyariyah), dan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah
). Nilai persaudaraan itu merupakan nilai solidaritas (ashabiyyah) yang sudah terbentuk, bahkan
ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi pijakan Muslim menghadapi kolonialisme Belanda. Simpulan bahwa sikap politik PB XII dan Mangkunegoro VIII dapat memicu gejolak sosial di Surakarta. Kedua elit melakukan kesalahan diplomasi pada masa revolusi kemerdekaan, dan kesalahan itu bermuara pada tiadanya kematangan berpikir, serta tiadanya upaya mendalami perubahan perpolitikan nasional dan lokal.
[58]
Mobilisasi kekuatan politik pasca proklamasi melalui badan perjuangan dan kelaskaran adalah embrio tentara nasional yang sengaja tidak diformalkan oleh negara. Hal ini untuk menghindari tekanan politik dari militer sekutu. Ketika konflik antar elit politik sudah merebak di Surakarta, badan perjuangan dan kelaskaran bersatu-padu dan melakukan gerakan politik anti-swapraja.
[59] Rasa tidak puas masyarakat disertai dengan kemacetan pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan hal ini memperuncing konflik sosial di Surakarta. Pada 14 April 1946, pemerintah pusat menghapus pemerintah kolektif yang dibentuk KND, dan menyerahkan pembentukan pemerintah daerah kepada Kasunanan dan Mangkunegaran.
[60] Tindakan ini makin memperuncing konflik sosial. Untuk meredakan konflik sosial, Menteri Dalam Negeri Sudarsono memerintahkan penangkapan Kolonel Sutarto dan dr. Moewardi.
Kerumitan politik di Surakarta memaksa pemerintah pusat mengambil keputusan Surakarta menjadi pemerintah kota dan karesidenan, pada 15 Juli 1946. Pembentukan ini dipandang mewakili keinginan pemuda, pelajar dan elit politik. Meski sudah terbentuk pemerintahan kota dan karesidenan pergolakan kelompok politik tetap berlangsung. Fenomena politik ini dilatarbelakangi tindakan sepihak Kasunanan dan Mangkunegaran membentuk pemerintahan sendiri secara illegal dengan dukungan tentara Belanda. Keberadaan tentara Belanda di Surakarta merupakan perluasan politik setelah ibu kota RI berkedudukan di Yogyakarta diduduki pasukan Belanda, pada 19 Desember 1948.
D. Kesimpulan
Perubahan paradigma politik partisipasi massa yang berlangsung di Kasunanan adalah desakralisasi kekuasaan yang ditempatkan pada keinginan meletakkan nilai-nilai kemanusiaan universal sebagai landasan politik. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang interaksi dan komunikasi antara kerabat keraton dengan kelompok sosial di luar tembok istana, sehingga tercipta kohesi dan solidaritas (
ashabiyyah). Sepeninggal PB X, desakralisasi kekuasaan mengalami kemacetan, karena PB XII dan Mangkunegoro VIII berkeinginan membentuk pemerintahan swapraja yang didukung pasukan Belanda. Pemikiran politik ini sama sekali tidak memiliki nuansa kemanusiaan, dan dalam waktu cepat muncul kekerasan politik antara kelompok kemapanan dan badan perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict & Audrey Kahin (ed.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62,Ithaca,New York: Cornell ModernIndonesia Project,CornellUniversity, 1982.
Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
,Jakarta: Gramedia, 1982.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam,Jakarta: Paramadina, 2000.
Buwana X, Paku, Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981);
Coleman, James S., Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowati & Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2008.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, Jakarta: Buku Kompas, 2004.
Feith, Herbert, & Lance Castle (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Min Yubhaar,Jakarta: LP3ES, 1988.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture,London:Hutchinson, 1975.
Giddens, Anthony, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan: Pedati, 2004.
Hadisiswaja, Asnawi, Soerakarta Adiningrat,Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia,Ithaca,New York:CornellUniversity Press, 1952.
Kamdani (peny.), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, Yogyakarta: Pustaka relajar, 2007.
Kartodirdjo, Sartono, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Larson, George D., Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942
, a.b. A.B. Lapian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press & KITLV, 1990.
Leege, David C. & Lyman A. Kellstedt (eds.), Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, Jakarta: YOI, 2006.
Leksana, Wangsa, Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939).
Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004.
McVey, Ruth T. (ed.), Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory
,New Haven:YaleUniversity Press, 1978.
Miert, Hans van, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003.
Nursam, M., Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Nordholt, Henk Schulte (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, a.b. M. Imam Aziz,Yogyakarta: LKiS, 2005.
& Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di Indonesia, a.b. Bernard Hidayat,Jakarta: YOI, 2007.
, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
Pemberton, John, Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo,Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Reid, Anthony, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981.
Ricklefs, M.C., “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, Archipel, Vol. I, No. 56, 1998.
, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
,Honolulu: Allen & Unwin, andUniversity ofHawai’i Press, 1998.
Saleh, Mohammad, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta,Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, a.b. Hilmar Farid,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abraham Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta
,Surakarta: LPTP, 1999.
Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Yayasan untukIndonesia, 2000.
Sontoprodjo, Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono Ke-X 1893-1939
,Surakarta: tanpa penerbit, 1990.
Suryo, Djoko, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1980.
Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978.
Toer, Pramoedya Ananta, Sang Pemula, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
, Malang: Bayumedia, 2005.
* Staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret.
[1]Isi Verklaring 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau
enclave; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman,
Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah
lungguh
direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan (surambi masjid dan
surambi kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,
Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson,
Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942
, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,
Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926
, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
[2]Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba’ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga
Rijksstudiefond, dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu
sentana, abdi dan kawula dalem yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana,
Biwadha Nata, (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja,
Soerakarta Adiningrat, (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X,
Srikarongron, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,
Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X
[sic.] 1893-1939, (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).
[3]Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),
Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer,
Sang Pemula, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.
[4]Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar
Pembrita Betawi, dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu tentangnya. Lihat Pramoedya Ananta Toer,
op. cit., pp. 48-54.
[5]Ibid., pp. 159-172.
[6]George D. Larson, op. cit., p. 41.
[7]Ibid., pp. 66-69.
[8]Soedarmono, M. Hari Mulyadi & Abrahan Setiyadi, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit: Studi Radikalisasi Sosial ‘Wong Solo’ dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta, (Surakarta, LPTP, 1999), p. 23; Cf. Rosihan Anwar,
Semua Berawal Dengan Keteladanan: Catatan Kritis
, (Jakarta: Buku Kompas, 2007), p. 121.
[9]Masjid yang dikunjungi PB X meliputi: (1) masjid-masjid di sekitar Kota Surakarta yang menjadi wilayah Kasunanan; (2) masjid di kawasan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo; (3) masjid di kawasan Kalioso, Karanganyar; dan (4) masjid di kawasan Banyudono, Boyolali. Pada umumnya, Sunan mengunjungi masjid-masjid di kawasan pedesaan. Hal ini merupakan upaya membangun komunitas epistemik di pedesaan. Basismassa ini penting artinya, karena kemapanan pamor dan kebesarannya akan terjaga di kawasan itu. Bahkan ketika kereta api yang membawanya keYogyakarta, dan berhenti sejenak di Stasiun Klaten, masyarakat sekitar berdesak-desakan untuk menyaksikan dan memberi penghormatan.
[10]Robert N. Bellah, Beyond Belief: Menemukan Kembali Agama , a.b. Rudy Harisyah Alam, (Jakarta: Paramadina, 2000), p. 10.
[11]Karno Sontoprodjo, op. cit., pp. 113-114.
[12]Asnawi Hadisiswaja, op. cit., pp. 3-4.
[13]Ibid, pp. 4-5.
[14]Lihat Ruth McVey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, in Benedict Anderson & Audrey Kahin (ed.),
Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate
, Interim Report Publication No. 62, (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1982), pp. 84-91; Cf. Mohammad Hatta, “Masyarakat Kolonial dan Cita-Cita Demokrasi Sosial”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, a.b. Mien Yubhaar, , (Jakarta: LP3ES, 1988), pp. 8-9; Cf. Zuly Qodir,
Islam Syariat vis a vis Negara: Ideologi Gerakan Politik di Indonesia
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 71-75.
[15]Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004), p. 19.
[16]Merle C. Ricklefs, “Islamising Java: The Long Shadow of Sultan Agung”, dalam
Archipel, Vol. I, No. 56, 1998, pp. 469-482; lihat pula M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II
, (Honolulu: Allen & Unwin, and University of Hawai’i Press, 1998), pp. xvii-xix; Cf. Abdurrahman Mas’ud,
Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi
, (Yogyakarta: LKiS, 2004), pp. 55-58.
[17]George D. Larson, op. cit., p. 223.
[18]PB XI berkuasa pada 1939-1944 menyerah secara nista kepada pejabat-pejabat pendudukan Jepang di Surakarta. Sikap politik ini bertolak belakang dengan sikap ayahandanya. Lihat John Pemberton,
Jawa: On the Subject of Java, a.b. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), p. 155.
[19]George D. Larson, op. cit., pp. 292-293.
[20]Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, “Pendahuluan”, dalam Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken (ed.),
Politik Lokal di Indonesia, a.b. YOI, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp. 1-15.
[21]Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, (London: Hutchinson, 1975), pp. 259-269.
[22]Ibid., pp. 277-285.
[23]Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia 1918-1930
, a.b. Sudewo Satiman, (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), pp. 255-322, 349-396, 416-529.
[24]George D. Larson, op. cit., pp. 126-130.
[25]Ibid., pp. 36-39.
[26]James L. Guth & John C. Green, “Arti Penting Agama: Konsep Inti ?”, dalam David C. Leege & Lyman A. Kellstedt (eds.),
Agama dalam Politik Amerika, a.b. Debbie A. Lubis & A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: YOI, 2006), pp. 253-266.
[27]James S. Coleman mengemukakan bahwa meluasnya nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat dapat memacu mereka merenungkan kembali keburukan dan kelemahan kebijakan kolonial, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan kebebasan berekspresi. Lihat James S. Coleman,
Dasar-Dasar Teori Sosial, a.b. Imam Muttaqien, Derta Sri Widowatie & Siwi Purwandari, (Bandung: Nusa Media, 2008), pp. 565-570.
[28]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[29]Yang dimaksud dengan keselarasan politik adalah berinisiatif memberi dukungan simbolik terhadap organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan. Lihat Ahmad Fuad Fanani,
Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberatif, (Jakarta: Buku Kompas, 2004), pp. 139-140.
[30]Ibid., p. 140.
[31]James S. Coleman, loc. cit.
[32]Ibid.
[33]Hasan Hanafi, “Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, Sebuah Pendekatan Islam”, dalam Kamdani (peny.),
Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal
, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), pp. 15-17.
[34]George D. Larson, op. cit., pp. 113-288; lihat pula Hans van Miert, op. cit., pp. 186-460.
[35]Ahmad Fuad Fanani, loc. cit.
[36]Atmakusumah (peny.), Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengk Buwana IX
, (Jakarta: Gramedia, 1982), p. 53.
[37]Ibid.
[38]Sartono Kartodirdjo, “Wajah Revolusi Indonesia Dipandang dari Perspektivisme Struktrural”,
Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 5.
[39]Ibid.
[40]Ibid, pp. 4-5.
[41]Ibid., pp. 6-7.
[42]Anthony Reid, “Revolusi Sosial: Revolusi Nasional”, Prisma, No. 8, Agustus 1981, p. 35.
[43]Sartono Kartodirdjo, op. cit., p. 12.
[44]Djoko Suryo, “Gerakan Petani”, Prisma, No. 11, November 1985, p. 23.
[45]Suyatno, “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta 1945-1950”, Prisma, No. 7, Juli 1978, pp. 16-24; lihat pula M. Nursam,
Moh. Saleh Mangundiningrat: Potret Cendekiawan Jawa
, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), p. 89.
[46]Ibid.
[47]Ibid., pp. 89-90.
[48]Ibid., p. 90.
[49]Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial
, a.b. Adi Loka Sujono, (Pasuruan:Pedati, 2004), pp. 311-318.
[50]Ibid., pp. 316-318.
[51]Ibid., p. 316.
[52]Lihat Herber Feith, “Pengantar”, dalam Herbert Feith & Lance Castle (ed.), op. cit., pp. liii-lix.
[53]Adrian Vickers, “Mengapa Tahun 1950-an Penting Bagi Kajian Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.),
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
, (Jakarta: YOI & KITLV-Jakarta, 2008), p. 74.
[54]George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1963), p. 470.
[55]Mohammad Saleh, Riwayat Singkat Pemerintah Karesidenan Surakarta, (Surakarta: Tanpa Penerbit, 1956), p. 1.
[56]George McTurnan Kahin, op. cit., pp. 364-365.
[57]Ibid.
[58]John Pemberton, op. cit., pp. 155-156.
[59]Ibid., p. 571. Partai politik dan badan perjuangan yang terlibat gerakan anti-swapraja adalah PKI, PNI, Murba, PSI, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Barisan Banteng yang dipimpin dokter Moewardi. Partai dan badan-badan perjuangan itu menyatukan diri, dan membentuk gerakan anti-swapraja.
[60]Ibid.
Topics: Uncategorized | No Comments »
Comments
Name (required)
Mail (will not be published) (required)
Website
*) Dimuat Dalam Jurnal Mozaik UNAIR, Vol. 2, No. 1, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar