Minggu, 29 Agustus 2010

The History of Java

Orang Inggris dan Singapura menyebutnya dengan panggilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia Belanda ini tidak lahir dari lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feodal yang berhak menyandang gelar “Tuan”. Bayi yang diberi nama Thomas Raffles ini lahir nun jauh di lepas pantai Jamaika, dekat Port Morant, di atas geladak Kapal Ann, pada 6 Juli 1781.

Ayahnya, Benjamin Raffles (1739-1812), pada awalnya hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal hingga akhirnya menjadi kapten. Ibunya adalah Anne Lyde Linderman (1752-1824), putri pasangan William Linderman (1721-1791) dan Susannah Leigh (1725-1754). Krisis ekonomi yang melanda Inggris pada masa itu menyebabkan keluarga Kapten Benjamin Raffles menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup berat. Situasi ekonomi yang tidak menentu ini memaksa Thomas Raffles muda untuk mencari pekerjaan guna menyokong ekonomi keluarganya. Ditunjang pendidikan formal seadaya, Thomas Raffles beruntung tatkala ayah dari seorang sahabatnya memberinya pekerjaan pertama sebagai juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur (1795). Raffles dikenal sebagai pemuda yang tekun dan rajin belajar. Berkat keuletan dan kemauannya yang keras, ia kemudian dipromosikan menjadi Asisten Sekretaris di perusahaan yang sama untuk wilayah Kepulauan Melayu.

Thomas Raffles baru mencantumkan nama “Stamford” di tengah namanya di kemudian hari, yakni ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan Laut Cina Selatan. Sejarah hidupnya dimulai, ketika anak seorang pelaut ini dikirim ke Pulau Penang, Malaysia (1804).

Pada 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond (1751-1814) atau yang lebih dikenal dengan nama Lord Minto, hingga 1817. Lord Minto menyukai Raffles karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya dalam berbahasa Melayu sehingga ia dikirim ke Malaka. Tidak lama setelah tiba di Tanah Jawa—pasca-Perancis menguasai Kerajaan Belanda, Raffles mengatur ekspedisi militer melawan Belanda di Jawa. Penyerbuan militer itu dipimpin oleh Admiral Robert Stopford, Jenderal Wetherhall, dan Kolonel Gillespie.

Thomas Stamford Raffles mengadakan negosiasi dengan pihak Belanda untuk mencapai perdamaian dan mengatur berbagai ekspedisi kecil untuk menaklukkan sejumlah pangeran lokal, sekaligus mengambilalih Pulau Bangka untuk menjamin kekuasaan Inggris di daerah itu bila Jawa kembali ke dalam kekuasaan Belanda pasca-Perang Koalisi Keenam di Eropa. Setelah Jawa dikembalikan kepada kolonial Belanda sebagai akibat Perang Napoleon, yang diatur oleh Perjanjian Anglo-Belanda (1814); Raffles kembali ke London (1815) karena mengidap penyakit tropis yang cukup parah, serta kesedihannya yang sangat dalam atas meninggalnya istri pertama yang dinikahinya pada 14 Maret 1805, Olive Marianne Devenish, di Jawa pada 26 November 1814 karena penyakit malaria.

Thomas Stamford Raffles pernah menjadi Gubernur Jenderal pada masa yang sangat singkat di Jawa. Selama kepemimpinannya (1811-1816), dia mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda, dengan sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh tulisan awal Dirk van Hogendorp (1761-1822). Dia pun menerapkan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasarkan hukum adat di Jawa. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan bahwa semua tanah adalah milik negara dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) tanah wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi sistem berkendara seperti di Inggris, yaitu di jalur kiri yang dipakai hingga sekarang.

Selain menerapkan kebijakan landrente, Thomas Stamford Raffles membagi Tanah Jawa ke dalam 16 karesidenan serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750-1828) yang adalah Raja Kesultanan Yogyakarta karena bertentangan pendapat dengan Raffles, diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh—julukan Sri Sultan Hamengkubuwono II—adalah Sri Sultan Hamengkubuwono III (1769-1814), ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro (1785-1855).

Dengan diberlakukannya Konvensi London (13 Agustus 1814), bahwa semua wilayah yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan oleh pihak Inggris. Kecuali Bangka, Belitung, dan Bengkulu yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin (Palembang). Raffles menerima konvensi itu, yang sebenarnya tidak disetujuinya karena mengetahui kekayaan alam Hindia Belanda yang akan sangat menguntungkan pihak kolonial Inggris. Raffles pun kemudian ditarik kembali ke Inggris dan digantikan oleh John Fendall (1762-1825) yang melaksanakan keputusan konvensi ini sekaligus melakukan serah terima antara Inggris dan Belanda. Penyerahan itu diterima oleh tiga komisaris jenderal dari Belanda pada 19 Agustus 1816, yakni Kolonel G.P.J. Elout, Buyskes, dan G.A.G. Ph. Baron van der Capellan.

Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu (Bencoolen) yang kemudian dikenal sekarang sebagai Pulau Sumatera. Pada masa pemerintahannya di pesisir pantai barat Sumatera itu, Raffles melakukan banyak kegiatan penelitian flora dan fauna, yang baginya sangat menakjubkan. Dia menelusuri hutan di pedalaman Sumatera serta sebagian Pulau Jawa bersama para ahli binatang dan botani yang dipekerjakannya di luar misi imperialisme dagang yang ditugaskan Kerajaan Inggris. Eksotisme flora dan fauna di Tanah Jawa dan Sumatera, telah membuat hatinya tertambat.

Setahun masa pendudukannya di bagian barat Sumatera, Raffles kemudian menggagas proyek bernama “Singapore”. Proyek mercusuar ini adalah pelampiasan dari rasa kecewanya karena penyerahan Tanah Jawa kepada Belanda. Beberapa proyek botani dan arkeologinya di sana terputus. Pada 19 Januari 1819, dia menggagas penguasaan Pulau Singapura yang mengapung di Selat Malaka lewat perjanjian antara Temenggong Sri Maharaja dan Thomas Stamford Raffles mewakili Perusahaan Hindia Timur. Dalam perjanjian itu, Inggris diizinkan mendirikan pusat perdagangan di Singapura. Sebagai imbalannya, Temenggong Sri Maharaja akan dilindungi dari ancaman serangan Belanda dan orang Bugis. Raffles bersumpah menciptakan koloni baru yang meskipun kecil, akan jauh lebih maju daripada Tanah Jawa.

Sumpah Thomas Stamford Raffles ini kemudian terbukti. Pulau Sungapura melesat menjadi koloni perdagangan paling strategis dalam sejarah kolonialisme Inggris di Hindia Timur. Obsesi Raffles menghentikan laju Belanda dalam menguasai kepentingan Inggris di Hindia Timur berjalan baik. Komoditas perdagangan yang mengalir dari pesisir timur Sumatera tetap dapat mereka tampung tanpa harus menguasai pesisir tersebut secara teritorial.

Belakangan, Belanda yang lebih agresif dengan orientasi penguasaan teritorial, akhirnya berhasil mengendalikan Sumatera Timur yang kemudian berkembang menjadi sentra perkebunan terpenting di Asia Tenggara. Perdagangan di Selat Malaka pun menjadi panas. Inggris dan Belanda saling tuding tentang pelanggaran Traktat London yang mereka sepakati bersama pada 1824. Kedua imperialis Eropa itu saling berseteru memperebutkan “kue” perdagangan di Pulau Sumatera, yang disebut-sebut sebagai “tanah harapan”.

Dari Calcutta (India), Gubernur Jenderal Lord Hastings mengakui pendapat Raffles bahwa jalur laut yang paling penting, Selat Malaka, harus dilindungi jika ingin menjamin keamanan perdagangan Inggris di kawasan Laut Cina Selatan. Singapura yang terpilih sebagai frontliner di rute itu akhirnya berhasil menjadi pemimpin perdagangan di jalur tersibuk itu.

Di Bengkulu, Thomas Stamford Raffles mendirikan benteng Inggris paling besar kedua di Asia Pasifik setelah benteng utamanya di India. Dari pendirian benteng yang demikian kokoh, permanen dan multifungsi itu, dapat dipastikan Raffles memiliki cita-cita tinggi di kawasan ini. Sayang karena gejolak politik di Eropa, pada 1823 ia terpaksa meninggalkan Sumatera. Namun demikian, Raffles sempat mewujudkan obsesinya di Singapura dalam proyek botani dan satwa Hindia Timur, terutama di Pulau Sumatera. Tonggak imperialis Inggris ini menggagas pendirian Raffles Museum di Singapura. Misinya ialah mencatat dan mendokumentasikan binatang dan tanaman khas yang terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera.

Berdasarkan catatan dalam buku biografi Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles (1830), yang ditulis oleh istri kedua Thomas Stamford Raffles, Sophia Hull (1786-1858)—menikah dengan Raffles di Gereja St. Marylebone, London (22 Februari 1817), koleksi spesimen binatang yang dimiliki Raffles sangat banyak dan bervariasi. Di antaranya: badak, tapir, dan rusa Sumatera. Semua koleksi spesimen binatang ini dikirim ke London. Mirip cerita Nabi Nuh ketika banjir besar melanda Kota Ur, Erech, Shuruppak, dan Kish di kawasan antara Baghdad (Irak) dan Iran sekarang.

Thomas Stamford Raffles dikenal sebagai pecinta lingkungan yang penuh gairah di bidang biologi. Sekembalinya ke London, dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London yang terkenal hingga kini di Inggris. Raffles menjadi presiden pertama lembaga ilmiah ini. Dan ia pun memberi nama sejumlah binatang dengan memakai nama Sumatera, di antaranya: Rhizomys sumatrensis (tikus bambu besar), Ardea sumatrana (Great-billed Heron), Sterna sumatrana (Black-naped Tern), Phaenicophaeus sumatranus (Chestnut-bellied Malkoha), Bubo sumatranus (Barred Eagle Owl), dan Corydon sumatranus (Dusky Broadbill).

Karena kerja kerasnya di bidang biologi, sederatan jenis tumbuhan dan binatang telah dinamai dengan menggunakan namanya (rafflesi). Di antaranya: Megalaima rafflesi (Red-crowned Barbet), Dinopium rafflesi (Olive-backed Woodpecker), dan Chaetodon rafflesi (Latticed Butterflyfish). Barangkali tumbuhan paling terkenal yang juga menggunakan namanya adalah Rafflesia arnoldii, sejenis tumbuhan parasit di pohon palem yang ditemukan Thomas Stamford Raffles di sekitar Bengkulu (Sumatera). Tanaman ini merupakan endemik di Asia Tenggara dan memiliki kelopak bunga terbesar dan paling spektakuler di dunia.

Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 (5 Juli 1826), atau hanya dua tahun sekembalinya dari Hindia Timur karena apoplexy atau stroke. Menurut catatan Sophia Malkasian, mahasiswa pascasarjana pada Southeast Asia Studies Program, Ohio University, Amerika Serikat, sebagaimana dimuat dalam artikel “Determined to Die? European Accounts of Violence in the Pre-Colonial Indonesian Archipelago” (2002), Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut dan sebagai titik awal pengkajian wilayah Timur.

Menurut sahabatnya, Thomas Otho Travers, Raffles memulai proyek penulisan The History of Java di kawasan sejuk Cisarua, Bogor. Mengapa Raffles meninggalkan begitu banyak jejak sejarah di Tanah Jawa yang ia kunjungi selama masa tugasnya di wilayah koloni Belanda ini? Mengapa kiprah dan jejak sejarahnya di Jawa menjadi objek penelitian para akademisi di kampus terkemuka seperti Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat? Mengapa ia menangis saat meninggalkan Tanah Jawa dan Sumatera? Mengapa kita justru tak pernah tergugah untuk meratapi kehilangan demi kehilangan sumber daya alamnya, terutama hutan, flora, dan fauna yang dialami dua pulau besar di Indonesia ini?

Pertanyaan bernuansa historis ini dapat terjawab lewat penyelaman maknawi, dengan membaca ulang catatan sejarah yang pernah digoreskan Thomas Stamford Raffles semasa ia menjalani tugas pengabdiannya di kawasan subur yang dahulu dinamakan Hindia Belanda. Raffles memiliki keterkaitan terhadap setiap aspek kehidupan masyarakatnya dan mendedikasikan sejumlah bab dalam The History of Java untuk etika Jawa, sastra, puisi, musik dan alat-alat musik, drama, permainan keterampilan dan metode berburu, di samping populasi, sejarah alam, agama, peninggalan kuno, dan sistem militer di Jawa.

Begitu besar perhatiannya pada budaya dan sastra Jawa, mendorong Thomas Stamford Raffles mengembangkan Museum Ethnografi Batavia, yang hingga kini masih berdiri megah. Padahal, sebelumnya kolonial Belanda telah mendirikan lembaga kebudayaan yang diberi nama Koninklijk Bataviaasch Genootschap atau Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga inilah yang memelopori pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1778) dan Museum Gajah (1862), yang semuanya berada di Jakarta.

Mereka yang belum membaca buku besar The History of Jawa mengira karya monumental bernilai tinggi ini sekadar “rekam jejak” perjalanan Thomas Stamford Raffles di wilayah kolonial Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Sesungguhnya Raffles telah mengusahakan banyak hal seperti mengintroduksi otonomi terbatas (yang kini kembali diberlakukan di beberapa wilayah di Indonesia), menghentikan perdagangan budak, mereformasi sistem pertanahan yang pernah diberlakukan pemerintah kolonial Belanda, melakukan penelitian mendalam atas sastra kuno Jawa, serta mendokumentasikan peninggalan arsitektur kuno seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan.

Sejak dibangun pada abad ke-8 (antara 750 dan 850 M), sejarah Candi Borobudur timbul tenggelam. Kemegahan candi Buddha di Jawa Tengah ini tidak berlangsung lama. Seiring dengan merosotnya agama Buddha Mahayana di Tanah Jawa, Candi Borobudur dilupakan begitu saja. Setelah Dinasti Syailendra runtuh, Candi Borobudur ikut tenggelam. Selama berabad-abad, candi raksasa yang dibangun oleh raja dari Dinasti Syailendra, Raja Samaratungga sekitar tahun 824 M dan baru diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramodhawardhani, yang konon memakan waktu sekitar 50 tahun; tertutup kegelapan.

Seiring dengan perpindahan pusat kerajaan Jawa ke wilayah Jawa bagian timur, praktis Candi Borobudur menjadi tidak terurus dan dilupakan sama sekali. Bekas debu letusan Gunung Merapi yang menyelimuti Candi Borobudur menjadi media tumbuh suburnya berbagai jenis alang-alang, rumput, dan semak belukar. Pohon-pohon kecil tumbuh subur, menjadikan Candi Borobudur seperti gundukan batu yang tertutup semak belukar.

Pada 1814 Thomas Stamford Raffles mendengar berita adanya penemuan benda purbakala di sekitar Magelang, Jawa Tengah. Raffles kemudian mengutus H.C. Cornelius untuk menyelidiki lokasi penemuan berupa bukit yang dipenuhi semak belukar itu. Raffles memerintahkan “bukit ilalang” itu dibersihkan sehingga tampak sebuah candi raksasa yang dipenuhi patung Buddha Mahayana. Sejak itu, Candi Borobudur banyak dikunjungi orang.

Sebagaimana terekam dalam buku The History of Java, Thomas Stamford Raffles juga bercerita tentang keberadaan Candi Panataran yang berlokasi di sebelah utara Blitar (Jawa Timur). Raffles menemukan candi ini pada 1815 bersama seorang naturalis dan ahli kedokteran berkebangsaan Amerika, Thomas Walker Horsfield (1773-1859).

Thomas Stamford Raffles belajar bahasa Melayu dan meneliti dokumen klasik sejarah Melayu, yang mengilhami pencariannya akan Candi Borobudur dan Candi Prambanan di Jawa Tengah. Bersama dua asistennya, James Crawfurd dan Colin Mackenzie, Raffles telah mendokumentasikan situasi dan kondisi masyarakat di Pulau Jawa pada masa itu, terutama keadaan geografinya, kepadatan penduduknya, sistem pertanian, sistem perdagangan, adat-istiadat dan budaya, serta denyut kehidupan soisal-politik masyarakat di Tanah Jawa. Pada 1815, gejala kelebihan penduduk (over population) yang bakal terjadi di Pulau Jawa telah disinggung secara spesifik oleh Raffles dalam buku The History of Java (vol. I, p.68-72).

Thomas Stamford Raffles mulai menjelajahi pulau-pulau lain di wilayah cakupan Hindia Belanda yang langka penduduknya. Dikatakannya, tanah yang subur, perkawinan usia muda, poligami, usia lanjut, daerah pertanian yang sehat, dan lebih menyukai perdamaian daripada perang merupakan unsur pendorong pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa. Dia mencatat, populasi penduduk di Pulau Jawa pada 1815 sekitar 4.615.270 jiwa (Raffles, op.cit., p.63).

Pada salah satu bab buku The History of Java, Raffles mendokumentasikan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Pulau Jawa pada masa itu seperti upacara perkawinan, ritual dalam prosesi kematian (pemakaman jenazah), dan ritual penyambutan kelahiran bayi. Dia juga mencatat berbagai kegiatan tradisi perayaan (selamatan) yang juga menampilkan tarian tradisional dan pertunjukan wayang di abad ke-19 dan sebelumnya.

Perihal pewayangan, Raffles mengidentifikasi nama-nama kerajaan dalam pewayangan, yang menurutnya berlokasi di Tanah Jawa, terutama di Jawa Tengah. Dalam catatannya, Mandura terletak di Pulau Madura sebelah barat; Dwarawati terletak di Pati; Mandraka berlokasi di sekitar Tegal dan Pekalongan (Jawa Tengah); Banjarjunut berada di sekitar Kebumen (Jawa Barat); Talkanda terletak di Banjarnegara; Indrakila berada di sekitar Jepara (Jawa Tengah); Pringgadani berada di utara Pegunungan Dieng; Amarta terletak di kawasan tanah tinggi Dieng; dan Astina berlokasi di sebelah barat-laut Kota Yogyakarta sekarang.

Dalam buku The History of Java, Thomas Stamford Raffles juga bercerita tentang asal mula Kota Gresik (Jawa Timur) serta kiprah Walisongo dalam menyiarkan ajaran agama Islam di pesisir Tanah Jawa. Menurut catatan Raffles, Sunan Gresik atau yang lebih dikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419) yang dimakamkan di Desa Liran dekat Kota Gresik, adalah keturunan Arab, dari Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali.

Tidak banyak dibicarakan dalam kajian sejarah dan kebudayaan Jawa kontemporer, bahwa Thomas Stamford Raffles adalah orang pertama yang menulis eksistensi koin gobog wayang. Sebagai kolektor mata uang kuno, Raffles secara khusus menelusuri peredaran koin gobog wayang yang berlaku di Jawa saat dia menduduki jabatannya selaku Gubernur Jenderal di Tanah Jawa (1811-1816)—sebelum Jawa diserahkan kembali kepada pemerintah kolonial Belanda. Dia pun dikenal sebagai orang pertama yang membawa gamelan ke Inggris (1816), berupa dua perangkat gamelan Jawa pelog-slendro, yang kini tersimpan dengan baik di Claydon House dan Museum of Mankind, London (Inggris).

Ketika Thomas Stamford Raffles kembali ke Inggris, dia membawa serta 106 koin gobog wayang yang dikumpulkannya selama berada di Tanah Jawa. Alat pembayaran kuno yang berlaku di Jawa ini kemudian bertambah lima keping dari kiriman sahabatnya, penulis buku History of Sumatra (1783), William Marsden (1754-1836). Ia dikenal sebagai orientalis Inggris yang pernah dikirim ke Bengkulu, Sumatera pada 1771. Hingga kini, koin gobog wayang koleksi Raffles masih tersimpan dengan baik di British Museum, London.
Perihal koin gobog wayang ini, Raffles mendapat referensi dan penjelasan dari Adipati Demak, yang juga dikenal sebagai Sura Adimenggala (Bupati Semarang). Walaupun penjelasan Adipati Demak ini tidak bersifat ilmiah, tetapi bisa mengidentifikasi koin gobog wayang semacam temple medals yang mirip dengan koin dari daratan Cina atau Jepang.

Koin gobog wayang menjadi diskusi di kalangan ilmuwan Belanda dan Inggris, ketika Raffles menyinggungnya dalam buku The History of Java. Setelah ini, bermunculan aneka tulisan dan kajian tentang eksistensi koin gobog wayang seperti ditulis oleh Baron S. de Chaudoir dalam buku yang diterbitkan di St. Petersburg (1842); W.R. van Hoevell, ketua The Bataviaasch Genootschap, pada jurnal tahunannya (1847); Netscher dan Van der Chijs (1863); Prof. H.C. Millies dari Universitas Utrecht (1871); dan Joe Cribb, kurator The British Museum, dalam bukunya Magic Coins of Java, Bali and the Malay Peninsula (1999).

Thomas Stamford Raffles secara khusus membahas karakter orang Jawa dalam satu bab penuh buku The History of Java. Dia menggambarkan orang Jawa—yang sangat dipujinya—sebagai “orang pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, cenderung tidak melakukan usaha ke luar daerahnya, dan tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan atau pertumpahan darah.” Raffles juga berupaya membedakan persepsi Inggris dan Belanda terhadap masyarakat Jawa, dengan mengutip seorang Belanda yang bermukim di Jawa. Ia mengatakan bahwa sifat utama orang Jawa adalah “pendendam, bengis, tidak taat pada atasan, meremehkan dan despotik terhadap orang di bawahnya, ...cenderung merampok dan membunuh ketimbang bekerja, serta licik dalam melakukan perbuatan tak terpuji.” Penggambaran yang buruk terhadap karakter orang Jawa ini menurut Raffles, menyiratkan bahwa Belanda telah menganggap hal-hal seram terhadap orang Jawa, sedangkan Inggris melihat sebaliknya.

Raffles memiliki asumsi sendiri untuk menggambarkan orang Jawa sebagai orang yang tidak akan menimbulkan kesulitan besar bagi penguasa kolonial yang baru, Inggris. Dengan pencitraan seperti ini, Raffles tampak lebih simpatik bagi orang Jawa ketimbang Belanda yang telah “menimbulkan begitu banyak penderitaan dan perusakan pada masyarakat Jawa”. Lebih lanjut Raffles menyatakan bahwa orang Jawa tidak memiliki sifat “amuk” (chaos). Adapun kekerasan yang terjadi adalah akibat dari “kehidupan di bawah pemerintahan, di mana keadilan jarang ditegakkan dengan sebenarnya dan tanpa pandang bulu”.

Dalam masterpiece-nya, Thomas Stamford Raffles mengakui bahwa “amuk” memang terjadi di Jawa, tetapi “hal itu hanya dilakukan secara terbatas dan sporadis oleh kelas budak”. Dia menulis, “This phrenzy, as a crime against society, seems, if not to have originated under the Dutch, certainly at least to have been increased during their administration by the great severity of their punishments. For the slightest fault, a slave was punished with a severity which he dreaded as much as death. He often prefered to rush on death and vengeance.” (The History of Java, vol. I; London: Oxford University Press, 1965; p.250)

Buku The History of Java diterbitkan pertama kali pada 1817 dalam dua jilid besar (jilid I: 479 halaman, dan jilid II: 291 halaman), yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar berwarna yang cukup mewah dan menarik pada masanya. Pada 1965, buku karya Thomas Stamford Raffles ini telah dicetak ulang oleh Oxford University Press, London (Inggris).

Buku ini merupakan referensi utama tentang Tanah Jawa yang eksotik dan bersifat komprehensif. John Bastin dan Bea Brommer dalam Nineteenth Century Prints and Illustrated Books of Indonesia (Antwerp: Het Spectrum Utrecht, 1979; p.6-7), memuji The History of Java sebagai sebuah mahakarya. “Penggambaran kostum dan topografi Jawa di dalamnya menjadikan buku ini benar-benar penting… Kombinasi antara teks yang secara ilmiah begitu orisinal dengan sejumlah ilustrasi yang indah, karya seniman aquatint berbakat menghasilkan buku tentang Indonesia yang berkualitas tinggi; sebuah mahakarya”. “Karya yang sangat berharga karena dihasilkan oleh pengamatan langsung penulisnya terhadap tradisi dan lingkungan Jawa ketika memerintah sebagai Gubernur Jenderal selama pendudukan Inggris di Hindia Belanda (1811-1815)”. (Kaffe von Hünersdorff, 1213).

Karena itu, upaya penerjemahan The History of Java oleh Penerbit Narasi ini merupakan aksi cerdas dan mencerahkan sebagai bentuk nyata dalam memperkaya khazanah literatur utama yang bernilai tinggi, dalam rangka ikut serta mencerdaskan nalar bangsa.

Jakarta, 25 April 2008

Drs. Syafruddin Azhar

sumber : http://dinazhar.multiply.com/reviews/item/57

1 komentar:

  1. Galeri Antik Indonesia, klasik menarik apik dan cantik juga asyik menggelitik. Cocok untuk design interior bernuansa lama, kuno tetapi lux eksklusif serta terkesan mewah dan glamour bangsawan tua yg trendy. Bagai Old Master (Seniman Senior) Pujangga sastra yang kaya tetapi hidup sederhana. Alamat utama jalan padi raya 1A Semarang dan karya kedua jalan pemuda 52 Jepara, Central Java. http://www.old-amsterdam-antiques.co.id

    BalasHapus